petani tembakau
OPINI

Tidak Hanya Pranata Mangsa, Petani Tembakau Terancam Kebijakan Menkeu

Kebijakan kenaikan cukai  adalah hama bagi petani tembakau serta industri hasil tembakau.

Awal Juni lalu, Bapak di kampung halaman mengabarkan tanaman tembakaunya tergenang air, setelah semalam suntuk dihantam hujan deras. Bapak memilih menganti tembakaunya yang baru berumur, kurang lebih, dua bulan itu dengan tanaman lain. Sebab, menurutnya, tembakau yang sudah terhantam hujan dan tergenang air, tidak akan lagi berkualitas.

Beberapa hari kemudian, saya mendapati video seorang petani tembakau salto di ladang tembakaunya yang hampir tenggelam oleh banjir. Saya paham betul situasi si bapak dalam video itu. Menjadi petani tembakau memang tidak mudah, tidak hanya cuaca tapi juga diserang hama orang-orang “berpendidikan”.

Tentu saja ini bukan kali pertama bapak saya atau bapak dalam video itu mengalami kegagalan panen seperti ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, Bapak dan petani tembakau di desa saya, termasuk juga di tempat lain, mengalami nasib yang tidak begitu beruntung. Selain sebab cuaca yang kian tidak menentu, keputusan barbar Menteri Keuangan dan segala kebijakan kenaikan cukainya sering menjadi penentu nasib panen petani kelak menuai senyum atau murung.

Fatalnya dan seperti, maaf, tidak ngotak, Sri Mulyani selalu mengumumkan kenaikan cukai rokok tepat beberapa pekan sebelum panen raya tembakau. Ini tentu saja kebodohan yang terus dipelihara dan hanya menyusahkan petani tembakau Indonesia. Sudah berbulan-bulan merawat tembakaunya di tengah situasi politik antirokok dan politik politisi tengik, petani tembakau di masa panen dihadapkan dengan “hama lain” berupa kebijakan yang tidak bijak sama sekali.  

Soal kebijaksanaan pemerintah kepada petani tembakau atau industri hasil tembakau pada umumnya, hanya bisa dilihat pada 2019. Tidak ada kenaikan cukai dan sepertinya mereka peduli sekali dengan nasib hampir 30 juta orang yang hidup dari sektor pertembakauan, baik langsung maupun tidak langsung. Kita patut apresiasi itu, meski kita sama-sama tau, bahwa pada tahun itu petani tembakau, buruh pabrik, dan orang-orang yang terkait dengan pertembakauan lainnya dijadikan komoditas untuk mendulang suara. Setelah jadi, ya tau sendirilah.

Saat ini, petani tembakau mungkin sedang berharap hasil panennya melimpah, atau setidaknya terbeli dengan harga yang baik. Tetapi selalu saja, di tengah harap-harap cemas itu, orang-orang terdidik yang tinggal di Jakarta sana dan sepertinya tak pernah “menapak” ladang tembakau para petani, melempar pendapat “sampah” di media. Bunyinya sama, “pemerintah perlu menaikkan cukai rokok” dengan alasan yang beragam. 

Misalnya saja yang dikatakan Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Pungkas Bajuri, bahwa sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kenaikan cukai rokok harus terjadi. Pasalnya, cukai rokok dianggap mampu untuk menurunkan prevalensi merokok anak-anak usia 10-18 tahun, yang harus turun dari 9,1% menjadi 8,7% di 2024 (cnbcindonesia.com)

Tetapi ada yang  menarik dari Direktur satu ini, ia mengutip “Arahan Presiden sudah sangat jelas, cukai (tembakau/rokok) harus naik, tapi arahnya harus disimplifikasi.”

Kata terakhir, “simplifikasi” adalah keyword kepada siapa ia berpihak. Kepada pengusa rokok asingkah atau kepada industri dalam negeri yang telah banyak menyumbang kas negara, mungkin juga termasuk gaji Direktur dan biaya iklan kesehatan kementeriannya.

Dan jika benar Presiden Jokowi mengatakan itu, berarti benar kata anak-anak mahasiswa yang menjulukinya “*@!#!#!@$@$@*”. Pas kampanye menjanjikan apa, pas jadi berbuat apa. Memang kita rakyat itu cuma menanggung sialnya. Tapi yakin, saya tidak percaya jika Presiden Jokowi mengatakan itu. Dia lahir dari desa dan dekat sekali dengan kesusahan masyarakat pedesaan, ia juga pasti tau bahwa di Boyolali, tempat yang dekat sekali dengan masa kecilnya, banyak orang yang menggantungkan hidup kepada tanaman emas hijau ini. Nurani Pak Jokowi pasti terpantik untuk sekuat tenaga memproteksi petani tembakau dan buruh dari segala marabahaya. Bismillah stafsus kolonial, eh milenial. 

Agenda setting kenaikan cukai hasil tembakau 2022 memang agak menarik, meski latar belakang kenaikannya juga dari barang usang. Menarik sebab kenaikan ini terjadi di tengah pandemi yang telah membikin banyak sektor lesu. Menarik sebab pemerintah sebenarnya membutuhkan dana cepat dan segar, maka menaikkan cukai hasil tembakau adalah salah satu pilihan yang tidak boleh tidak dipilih. Dan menarik karena Menteri Keuangan pelan dan pasti membangun opini kebijaksanaannya dari media ke media lainnya. 

Narasi yang dibangun dengan sebijak-bijaknya. Kenaikan cukai tahun depan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, terkait aspek sisi kesehatan yakni prevalensi merokok terutama pada anak-anak. Kedua, tenaga buruh yang bekerja langsung di industri rokok dan petani tembakau. Serta dari sisi penerimaan negara dan faktor rokok ilegal.

Faktor pertama, ya biasalah alasan klasik. Yang kedua, manis bibir berbuah sadis kebijakannya. Yang ketiga, Menteri Keuangan pasti sudah tau kalau meningkatnya rokok ilegal itu ya salah satunya dari kenaikan rokok yang yang barbar. 

Kita terkadang tidak perlu mendengar ocehan mereka. Sebab tidak ada gunanya. Jika mereka meminta pendapat, percayalah itu hanya gimmick belaka. Jika mereka sok-sok peduli terhadap industri hasil tembakau, percayalah pepatah ada udang di balik batu. Jika mereka tiba-tiba berbuat baik dan merasa dekat, waspadalah, mungkin kontestasi politik sedang berada di pelupuk mata.