kretek dalam gonjang ganjing abad 21
OPINI

Kretek dalam Gonjang-ganjing Abad 21

Saat ini sampailah kita pada masa yang sering disebut sebagai era globalisasi atau era neoliberalisme abad 21. Dimana kebebasan individu adalah kata kunci bagi zaman ini.

Setiap orang berhak untuk menumpuk kekayaan sebanyak mungkin melalui apa yang disebut sebagai ekonomi pembangunan yang butuh modal besar bagi pertumbuhan keuntungan. Kebersamaan semakin surut digantikan persaingan bebas.

Nasionalisme menyurut digantikan penanaman modal besar antar negara. Era intervensi pemerintah semakin menghilang. Dalam hal ini juga menghilangnya intervensi dalam proteksi pemerintah terhadap industri-industri domestik.

Proteksi yang dimaksud seperti kuota atau hambatan kuantitatif yang membatasi impor barang; pembatasan modal asing; kontrol devisa(exchange control) dan larangan impor untuk produk-produk termasuk bagi komoditi rokok.

Sejak tahun 2004 dengan meratifikasi “Agreement Establising the World Trade Organization”, Indonesia, Indonesia menjadi salah satu anggota World Trade Organization(WTO) yang memiliki sifat mengikat secara hukum atau legally bounded. Selanjutnya Indonesia haruslah mentaati kesepakatan-kesepakatan dari WTO yang berkaitan dengan perdagangan barang maupun modal. Hal ini sering disebut sebagai liberalisasi perdagangan dan liberalisasi modal.

Langkah nyata liberalisasi modal di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang Undang Penanaman Modal, Nomor 25 tahun 2007, dimana pada Pasal 6 yang berbunyi Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian perangkat hukum ini memungkinkan modal asing masuk dalam dunia perkretekan nasional.

Memang Indonesia adalah surga bagi produsen rokok kretek, dimana 92% perokok mengkonsumsi rokok kretek. Namun, dengan adanya perangkat hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan industri kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri ini.

Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%.

Di sisi lain dominasi modal asing semakin berkuasa sehingga sebagian besar keuntungan yang didapat dari tiap batang kretek yang dibakar warga Negara Indonesia harus dikirim kepada pemilik modal besar asing.

Pangsa rokok di Indonesia saat ini benar-benar dikuasai oleh perusahaan asing tidak hanya produk rokok putih namun juga rokok kretek. Selain produk rokok putih mereka yang sudah menguasai 50 persen pasar rokok putih di Indonesia, PT Philip Morris Indonesia perusahaan afiliasi dari Phillip Morris Inc. juga telah mengakuisisi kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna Tbk perusahaan rokok kretek milik keluarga Sampoerna atau Lim Seeng Tee dari Surabaya sebesar 98,18% pada bulan Mei 2005.

Pembelian termasuk jaringan distribusi, penyediaan bahan, penyediaan jasa, lisensi, dan pembiayaan. Mereka berani membeli saham seharga 45 triliun Rupiah dengan berbagai alasan yang menguntungkan seperti time to market yang lebih cepat dari pada apabila mereka melakukan kerja brand building. Selanjutnya mereka dapat menghindari entry barrier karena langsung mendapatkan segala perijinan regulasi dan brand equity

Sedangkan BAT masih menguasai saham Bentoel sebesar 85,55% meskipun setelah menjual sebagian sahamnya kepada UBS AG London Branch, perusahaan asing yang lain pada 25 Agustus 2011. Sebelumnya British American Tobacco menguasai 99,74% kepemilikan Bentoel setelah mengambil alih 85,13 persen saham Bentoel Internasional Investama dari PT Rajawali Corpora dan para pemegang saham lainnya senilai US$494 juta pada juni 2009.

Tidak hanya di tingkatan saham, bahkan dalam tingkatan struktur kunci direksi pun posisi strategis diisi oleh pihak asing. Direktur utama Bentoel Internasional Investama dijabat oleh Jeremy Pike, dan Chief Financial Officer(CFO) dijabat oleh Andre Joubert sebagai perwakilan dari BAT.

Selain itu, perdagangan bebas saat ini benar-benar sudah disiapkan untuk kepentingan kekuatan modal besar dunia untuk menguasai pasar domestik dimanapun di penjuru bumi. Setelah perang dunia pertama berakhir, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) seolah menjadi regulator dunia bagi semua peri kehidupan umat manusia termasuk dalam hal kesehatan. Pada tahun 2005, WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau, konvensi internasional bagi kesehatan yang pertama.

Konvensi ini disinyalir adalah agenda global perusahaan raksasa Farmasi Bloomberg sayap usaha dari holding company, Bloomberg LP yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian penggunaan tembakau dan meningkatkan penjualan obat-obatan penyembuh gangguan kesehatan diakibatkan kegiatan merokok. Menurut majalah Forbes edisi Maret 2009, Michael Bloomber, sang pemilik memiliki kekayaan sebesar 16 milyar dollar, dan menjadi orang tersukses di amerika pada masa krisis moneter saat ini, kekayaan tersebut termasuk dari penjualan obat-obat penghenti merokok.

Sejak tahun 2002, Bloomberg Philanthropies telah mengeluarkan dana lebih dari US$600. juta atau sekitar Rp. 5,4 triliun kepada berbagai pihak di dalam dan di luar negeri Amerika termasuk di Indonesia untuk kampanye memerangi penggunaan tembakau. Di Indonesia dana tersebut dibagikan kepada Departemen Kesehatan, berbagai Lembaga swadaya Masyarakat(LSM), organisasi massa, perguruan tinggi, lebih jauh disinyalir juga telah diterima oleh oknum apparatus negara dari tingkat pusat hingga daerah. Salah satu bukti adalah lahirnya PP 109/2012, dan beberapa Perda Anti rokok di beberapa kabupaten seperti Dinas Kesehatan Kota Bogor, Dinas Kesehatan Propinsi Bali, dan Direktorat Pengendalian Penyakit Menular, Depkes.

Hal ini semakin meredupkan masa depan rokok kretek. Saat ini (3/2013), sudah 174 negara meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia, telah meratifikasi beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok serta pembuatan area khusus perokok, namun belum sepenuhnya meratifikasi semua poin dalam konvensi tersebut mengingat betapa besar dampak sosial ekonomi budaya bagi bangsa pengembang tradisi kretek ini.

Namun nampaknya melalui beberapa pihak di pemerintahan, tidak lama lagi Indonesia akan sepenuhnya tunduk terhadap konvensi usulan Negara amerika serikat tersebut. Seperti apa yang disampaikan oleh anggota legislatif, Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf pada sebuah media massa nasional: “Indonesia mesti segera menandatangani dan merevisi konvensi tersebut..” Sedangkan dari pihak eksekutif pemerintahan, Ibu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan hal yang serupa. Kelahiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif menunjukkan keseriusan pemerintah untuk cepat atau lambat akan meratifikasi seluruh poin konvensi FCTC.

Sedangkan banyak Negara besar dan maju justru berkebijakan melindungi industri tembakau dan pasar rokok dalam negerinya. Ambil contoh Negara Amerika Serikat sebagai promotor FCTC belum juga meratifikasinya. Negara ini telah mensubsidi industri tembakau dalam negerinya dari tahun 1995 hingga 2010 sebesar $US 1.138.558.705.

Bahkan dengan disahkannya Pasal 907 (a) (1) (A) “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act” atau Tobacco Control Act) oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, bermakna bahwa Amerika serikat melarang impor rokok beraroma dan perasa (flavored cigarettes) termasuk rokok kretek dari Indonesia, namun anehnya rokok beraroma menthol produk dalam negeri mereka masih dijial bebas.

Aksi diskriminatif sepihak pemerintah amerika serikat tersebut membuat Indonesia berhenti mengekspor rokok kretek ke negara tersebut sebanyak 267.308.800 batang atau US$ 6,451 juta. Perlindungan terhadap pertanian tembakau dan pasar domestik rokok dengan berbagai cara juga dilakukan oleh Negara China, India, Jepang dan Uni Eropa.