kenaikan cukai
CUKAI

Membaca Kenaikan Cukai dengan Analisis SWOT

Dengan memakai SWOT dalam melakukan analisis isu kenaikan cukai, setidaknya akan membantu mendapatkan kesimpulan yang mendekati objektif. Potensi masalah yang akan timbul dikemudian hari dapat terdeteksi sejak dini.

Secara sederhana, negara bisa dianalogikan sebagai perusahaan besar, sedang aparatur negara sebagai komponen admin yang mengatur jalannya perusahaan bernama pemerintah. Dengan analisis SWOT terhadap isu kenaikan cukai yang akan ditetapkan pemerintah, menjadi gamblang dan terstruktur menarik kesimpulan berdasar fakta. 

Komponen analisis SWOT terbagi dua bagian, yaitu; internal dan eksternal. Internal terbagi dua faktor, meliputi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Sedang eksternal juga terbagi dua faktor, yaitu peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

Faktor Internal: Kekuatan Kenaikan Cukai

Pertama; naiknya pungutan pajak cukai sangat berpengaruh terhadap bertambahnya pemasukan atau kas negara. Selanjutnya berpengaruh semakin tinggi bagi hasil ke pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten. 

Sesuai UU Cukai, pungutan berupa pajak cukai dibagikan untuk Provinsi dan Kabupaten 2%, sedangkan 98% untuk masih di pemerintah pusat yang dikelola oleh Kementerian Keuangan. 

Kedua; kenaikan cukai berkontribusi dan penguat terhadap realisasi  anggaran belanja negara (APBN), yang tiap bulan harus dikeluarkan atau dibelanjakan. Apalagi selama pandemi, kas negara terkuras dengan menggelontorkan anggaran besar-besaran untuk penanggulangan covid 19.   

Ketiga; pemerintah dapat membiayai dengan kebutuhan dengan menggunakan uang atau anggaran yang bersifat fleksibel. Contoh, membayar defisit BPJS, yang terjadi tiap tahun, kemudian pemerintah membayarnya dengan uang cukai (DBHCHT). Di tingkat Provinsi atau Kabupaten pun demikian, talangan untuk mengatasi pandemi covid 19, banyak kabupaten menggunakan DBHCHT. Terkini Kabupaten Kudus, DBHCHT digunakan untuk pembiayaan pemulihan ekonomi dengan pembelian ternak yang kemudian diserahkan ke sebagian masyarakat.

Keempat; kenaikan cukai rokok secara tersirat salah satu nomenklaturnya melaksanakan kesepakatan pembangunan global atau disebut SDGs berisi dokumen setebal 35 halaman, yang di dalamnya banyak pasal usulan dari WHO (organisasi kesehatan dunia) tentang pengendalian peredaran tembakau di tiap negara. 

Sedangkan, satu-satunya jalan yang efektif untuk pengendalian tembakau di Indonesia tidak lain hanyalah menaikkan harga rokok setinggi-tingginya dengan jalan menaikkan cukai sebesar-besarnya.

Faktor Internal: Kelemahan Kenaikan Cukai

Pertama; negara hadir mengatur cukai, tidak dalam rangka penguatan sumber dana cukai yaitu industri rokok kretek, petani tembakau dan petani cengkeh. 

Karena tembakau masuk dalam komoditas strategis perkebunan. Pada pasal 52 UU N0. 39 tahun 2014 tentang perkebunan: yang dimaksud dengan komoditas perkebunan strategis adalah komoditas yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup antara lain kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, tebu dan tembakau. 

Sedangkan cengkeh adalah komoditas yang asli dari bumi pertiwi, yang kemudian semasa penjajahan menjadi salah satu primadona dan menjadi perebutan. Sehingga semasa itu, tanaman cengkeh di kembangbiakkan di negara lain. Namun sekarang telah kembali melalui proses yang berliku liku. Ada tokoh senior NGo yang terkenal dengan panggilan Pak Roem dan cerpenis Puthut EA mereka sependapat bahwa Indonesia tanpa tanaman cengkeh, sejarahnya pasti beda. Nyatanya sejarah di Indonesia Timur, penjajahan dilakukan, gara-gara keinginan menguasai tanaman cengkeh. 

Selain itu keberadaan industri rokok kretek, penemunya putra bangsa bernama Djamhari, kemudian menjadi industri besar semasa penjajahan yang dibangun oleh Nitisemito dengan menyerap tenaga kerja begitu besar di daerah Kudus dan sekitarnya sekitar abad 18. Menjadi satu-satunya industri yang kuat, disaat industri lain dikebiri dan dimatikan penjajah. Dalam perkembangannya, industri kretek menjadi industri tahan akan terpaan krisis moneter dunia hingga sekarang.   

Kedua; banyak legal formal aturan tentang cukai dan pertembakauan yang dikeluarkan pemerintah hasil titipan kepentingan asing, yang tentunya tidak bersahabat dengan sektor pertembakauan khususnya di Indonesia. 

Riil di lapangan perkebunan tembakau berada di 15 provinsi, perkebunan cengkeh berada di 30 provinsi, ada ratusan industri rokok kretek (asli Indonesia). 

Jika diakumulasi masyarakat dari hulu hingga hilir, masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari pendapatan pertembakauan berkisar 6.1 juta jiwa (lihat bahan presentasi Kementerian Pertanian tentang Kebijakan Pengembangan Tembakau Nasional, Jakarta, 16 Mei 2017).

Ketiga; dominasi dinasti kesehatan sangat menonjol, menafikan dinas lain yang terkait dengan pertembakauan, seperti perindustrian, pertanian dan kebudayaan. Sehingga kenaikan cukai hanya mendengar suara rezim kesehatan yang kemudian dieksekusi Kementerian Keuangan melalui Dirjen Cukai. 

 Faktor Eksternal: Peluang Kenaikan Cukai

Pertama; kenaikan cukai menjadi peluang produk rokok luar akan masuk. Negara akan mendapat tambahan uang kas. Akan tetapi perlu diingat, bahwa aturan naiknya bea cukai hanya untuk rokok produksi di dalam negeri, sedangkan belum ada aturan rigid kenaikan untuk rokok import. Bahkan dalam perjanjian pasar bebas yang negara Indonesia ikut di dalamnya mengatur kebebasan dan keringanan biaya barang masuk. Sehingga hal ini sekaligus bisa menjadi ancaman industri nasional 

Kedua; dengan menaikkan cukai, Indonesia menjadi salah satu negara yang taat perintah WHO, yang kemudian menjadi peluang bagi Indonesia sebagai negara yang perlu diperhatikan untuk kerjasama dengan program lain. Karena target WHO adalah mengendalikan peredaran tembakau dengan  komponen menaikkan pungutan cukai. 

Ketiga; kedepan jangka panjang, kenaikan cukai menjadi peluang rezim kesehatan dalam hal ini Kementerian Kesehatan bagian dari pemerintah akan dijadikan agen nicotine replacement therapy (NRT). Yaitu satu produk dikeluarkan perusahaan farmasi multinasional sebagai pengganti asupan nikotin dari tembakau, terbuat dari produk rekayasa nikotin dan telah dipatenkan. NRT ini sangat menguntungkan bagi rezim kesehatan di Indonesia. 

Faktor Eksternal: Ancaman Kenaikan Cukai

Pertama; kenaikan cukai menjadi ancaman. Dipastikan akan merebak peredaran rokok ilegal atau rokok tanpa cukai, masyarakat biasa menyebutnya “rokok bodong”. Karena ketika cukai naik, industri skala kecil tidak mampu untuk membayar pungutan cukai. sedangkan pungutan cukai harus dibayar dan ditalangi industri di muka, tidak boleh dibayar dibelakang (setelah produknya terjual). 

Kedua; cukai naik menjadi harga rokok naik, pasar melemah, tembakau dan cengkeh tidak terserap dengan baik, dan harganya turun tidak lagi menjadi komoditas strategis. Sehingga menjadi ancaman serius bagi petani tembakau dan cengkeh, bahkan karyawan industri. Jadi sebagian besar dari 6.1 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada sektor tembakau terancam ekonominya. 

Ketiga; industri rokok kretek mati suri terlebih industri kecil. Karena kenaikan cukai akan memberatkan industri kecil tidak bisa membayar cukai. Sedangkan rerata industri kecil bermodal pas-pasan. Perlahan tapi pasti industri rokok kretek akan mengalami kebangkrutan. Yang kemudian berimbas terhadap sebagian besar karyawan akan kehilangan pekerjaan dan kehilangan pendapatan. 

Keempat; terkikisnya cermin kemandirian dan kedaulatan bangsa. Karena industri rokok kretek merupakan cerminan kedaulatan ekonomi bangsa. Lahir dari kreatifitas anak bangsa, kegiatan ekonominya bertumpu pada sumber daya alam dan sumber daya manusia pribumi, menciptakan peluang pekerjaan baik bersentuhan langsung dengan pertembakauan maupun tidak, keberadaan pertanian dan industri hampir merata di wilayah Indonesia, membantu pemerintah dalam program pemberantasan kemiskinan. Mandiri dalam pengelolaannya. 

Simpulan

Kalau dilihat dengan cermat dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman adanya kenaikan cukai, di atas kertas pemerintah mendapatkan keuntungan yang sangat besar, mulai dari bertambahnya uang kas negara, sampai hubungan kerjasama dengan negara lain terlebih terjalin kemesraan dengan rezim kesehatan dalam hal ini WHO. 

Akan tetapi keuntungan negara tersebut mengorbankan hak masyarakat, mengorbankan budaya masyarakat, mengorbankan siklus kedaulatan dan kemandirian bangsa. 

Dengan mengorbankan rakyat nya sendiri, di kemudian hari ongkos yang harus ditanggung pemerintah sangat besar dibanding keuntungan saat ini yang didapat. Kedepan jangka panjang, pemerintah menanggung beban dan hukumnya wajib memberikan solusi terhadap orang yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung akibat selalu menaikkan cukai yang girohnya mematikan sektor pertembakauan. Sesuai amanat UUD 45, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan. 

Memang hal ini dampak jangka panjang, akan tetapi negara harus memikirkan dan memperhitungkan hal tersebut. Karena negara sampai detik ini masih dipercaya masyarakat sebagai pengelola dan pengatur jalannya administrasi negara. Dan negara terbentuk dari individu, keluarga, masyarakat desa, masyarakat kabupaten hingga masyarakat provinsi. 

Jadi, pemerintah hadir harus bisa mengayomi semua lapisan masyarakat, baik yang sepaham maupun yang tidak sepaham. Kalaupun salah satu yang tidak sepaham dikalahkan, pemerintah wajib memberikan solusi konkret. Tidak boleh pemerintah semena-mena, dan berpikiran yang penting untung dan happy. Buat apa untung kalau mengorbankan dan menyengsarakan rakyat atau saudara setanah air?.