Smoker Travellers

Sepenggal Memoar Tentang Jakarta

Entah kenapa tiap air hujan jatuh dan membasahi tanah lalu aroma petrichor menyeruak ke udara, di momen itu pula saya mengingat Jakarta. Mengingat tentang hal-hal menyenangkan yang pernah saya lewati di kota itu. Mengenangnya dan merindukannya kembali. Seperti kenangan seorang anak rantau pada ibunya di kampung halaman.

Jakarta sebenarnya bukan kota yang sangat spesial bagi saya. Masih banyak kota lainnya yang pernah saya kunjungi dan tinggal di sana. Ibarat sebuah perjalanan, Jakarta ibarat sebuah tempat transit seperti bandara. Masalahnya, dengan waktu transit yang sangat lama.

Dibandingkan pesawat sebagai alat kendaraan, orang-orang nampaknya jauh lebih menyukai bandara. Tempatnya bersih, berhawa sejuk, orang-orang berpakaian rapih dan hilir mudik tanpa memerhatikan orang lain. Semuanya terasa bergerak begitu cepat di Jakarta dan semua orang berlalu dengan tujuannya masing-masing.

Itulah analogi Jakarta. Dari luar seperti tempat yang menyenangkan, namun jika terjebak terlalu lama di sana tanpa arah dan tujuan, anda akan hanya menjadi orang asing dalam putaran yang begitu cepat. Tapi, bukan berarti anda akan teralienasi, ini hanya tergantung pada dirimu untuk menyesuaikan diri.

Sudah 13 tahun saya tinggal dan tumbuh di Jakarta. Bermula pada 2007 dan diakhiri (sementara) pada 2020 lalu. Setelah itu saya memulai kehidupan di Yogyakarta dan belum memiliki masa depan pasti tentang kota mana lagi yang akan saya datangi dan tinggal.

Meski tidak begitu spesial, 13 tahun tinggal di Jakarta memberikan kenangan tersendiri. Seperti yang saya sebutkan di awal, kenangan itu selalu muncul saat hujan tiba. Entah mengapa, saya selalu menyukai suasana hujan di Batavia. Perputaran kota tiba-tiba menjadi sangat puitik dan seperti sedang diiringi oleh sebuah tembang instrumental klasik.

Ingatan saya tentang Jakarta soal hujan jauh melebihi ingatan-ingatan kota lain yang lebih spesial dalam kehidupan. Padahal di sisi lain Jakarta juga sangat menyebalkan di waktu-waktu yang anda semua sudah ketahui bersama. Bahkan, akibat memperhatikan berita yang muncul belakangan ini, kekesalan saya pada Jakarta bahkan saya juga rasakan ketika tak lagi tinggal di sana. Bangsat memang!

Saya takut Jakarta berubah begitu cepat tanpa saya sadari. Pernah suatu saat saya meninggalkan kota itu hanya dalam kurun waktu sebulan saja dan voila sudah ada pembangunan yang jadi di sana-sini. Bagaimana jika sudah dua tahun lebih meninggalkannya? Apakah memori yang saya simpan masih tersisa di sana?

Saya takut jika Jakarta harus berubah menjadi kota yang tidak menampakkan identitasnya sendiri. Berubah menjadi terlalu modern bak isi di dalam kotak pc gaming. Semuanya bergerak seperti mesin dan tak ada interaksi manusiawi yang terjadi.

Semoga itu tidak sungguh-sungguh terjadi…