Pabrikan

Inilah Tabiat Antirokok yang Perlu Kamu Kenal!

Tabiat antirokok dari dulu selalu sama. Mengambil data dari lembaga statistik manapun dengan cara mentah-mentah. Lalu memberi kesimpulan dari data itu secara serampangan dan diframing sedemikian rupa. Berulang-ulang kali dilakukan dan terus dijadikan pembenaran!

Pertama-tama kita memang harus jernih betul dalam melihat data. Misalnya, data perokok di Indonesia yang jumlahnya memang tidak sedikit. Ada data-data pula yang mengklasifikasikan perokok di lapisan kelompok masyarakat. Data itu murni karena mencerminkan realitas yang ada.

Tapi tidak berhenti sampai di situ. Dalam melihat sebuah realitas kita tidak boleh menggunakan kacamata kuda. Ada banyak sekali metodologi yang bisa membuat kita menjelaskan bagaimana realitas itu bisa terjadi. Tentu dibutuhkan penelitian yang dalam untuk menyibak fenomena dari sebuah realitas tersebut.

Brengseknya! Antirokok tanpa melakukan penelitian langsung memberikan pandangan yang mereka sebut secara ilmiah. Padahal yang mereka lakukan hanya mencabut data dan kemudian diberi sedikit bedak dan gicu demi memoles kebutuhan berdebat mereka!

Gaya memandang dengan perspektif worldview sains ini yang kemudian banyak dikritik oleh pemikir-pemikir Eropa di jamannya. Logika saintifik semacam ini bahkan pernah memberikan Eropa dalam titik nadir kemanusiaan ketika cara pandang tersebut digunakan oleh pemerintahan fasis Hitler untuk menguasai Jerman dan wilayah sekitarnya.

Maka tak heran pula jika gaya antirokok saat ini pun berwatak fasis! Dalam satu tulisan di bolehmerokok.com juga sudah sempat dijelaskan bahwa salah satu kebijakan antirokok tertua muncul dari Jerman di Kebijakan ini dipicu oleh hasil penelitian Franz H. Muller dari University of Cologne’s Pathological Institute pada 1939, yang dilanjutkan oleh penelitian Eberhard Schairer dan Erich Schoniger dari Jena Institute for Tobacco Hazzards Research pada 1943.

Tidak percaya? Coba refleksikan dengan apa yang terjadi di jagad sosial media saat ini. Antirokok selalu mengagung-agungkan data. Seolah-olah kami adalah kelompok yang common sense dan tidak ilmiah. Padahal, cara mereka menarik kesimpulan dari sebuah data patut mendapatkan kritikan tajam!Apa memang kami tak bisa memberikan data? Giliran kami memberikan data bahwa kenaikan cukai ternyata tak berpengaruh pada penurunan prevalensi perokok anak, antirokok tetap diam tak bergeming. Ketika kami memberikan data yang rijit dan detil tentang mahalnya harga rokok dan efeknya dari hulu hingga hilir, reaksi pun tetap sama!

Sebaliknya! Kami punya alasan jelas di balik mengapa masyarakat tetap mengkonsumsi rokok, terlebih kelompok masyarakat bawah yang termarjinalisasi dari sistem dan kehidupan. Bayangkan, mereka tidak bisa masuk mall secara rutin, tersisihkan dari sosial ketika ingin masuk ke taman-taman kota yang semakin tampak necis, hiburan-hiburan rakyat di tengah kota pun semakin sulit untuk diakses.

Pekerjaan dan rejeki pun makin tak memihak pada mereka. Dari segala aspek mereka sudah tersisihkan! Maka hiburan paling murah dan yang bisa mereka akses adalah rokok. Dihisap sendiri atau sambil berbicara dengan tetangga. Sederhana dan menyenangkan!

Asal anda tau saja! Ada antirokok yang makin memarjinalisasikan mereka dengan sebutan sudah miskin merokok dan malas! Ini sama saja dengan tudingan Lee McIntyre, seorang peneliti dari Boston University yang menyebut bahwa kemiskinan di dunia ketiga yakni karena rendahnya motivasi kerja. McIntyre dalam retorikanya memberikan penggiringan bahwa publik harus kembali pada otoritas sains untuk menyelesaikan masalah tersebut.

McIntyre pun mendapatkan kritikan tajam dari akademisi di Amerika Selatan yang menyebut bahwa problem kemiskinan bukan karena problem psikologis masyarakat dunia ketiga, melainkan karena problem struktural!

Realitas itu di Indonesia juga masih nampak hingga saat ini. Kacamata kemiskinan masih menggunakan sudut pandang barat dengan penelitian-penelitian yang didanai oleh World Bank, Bloomberg, serta teman-temannya! Sudut pandang itu juga digunakan oleh kelompok antirokok dalam melihat kondisi di Indonesia.

Sudah salah dalam cara menggunakan data, memandang segala sesuatu dari perspektif kapitalisme rakus barat, sok pinter pula! Begitulah tabiat antirokok yang selama ini kami kenal.