kedigdayaan kretek
PERTANIANREVIEW

Kedigdayaan Industri Kretek Indonesia

Kretek adalah buah kreativitas anak bangsa yang berkembang menjadi industri digdaya. Di era awal industri kretek harus berhadapan dengan peraturan perpajakan pemerintah kolonial yang tinggi, rumit, dan diskriminatif. Keadaan ini menumbuhkan pemikiran nasionalisme ekonomi para pelaku usaha kretek, sebuah upaya untuk mendorong terciptanya kemandirian dan demokrasi ekonomi yang memperjuangkan kesamaan perlakuan dalam usaha. Nasionalisme ekonomi dengan nasionalisme politik yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dari masa ke masa industri kretek tak luput dari hadangan krisis ekonomi yang memporak-porandakan perekonomian nasional namun ketangguhan industri kretek selalu teruji. Inilah warisan sejarah dan budaya yang bukan hanya berharga, tetapi juga menjaga martabat kita sebagai bangsa.

Bermula dari “Raja Kretek” Nitisemito

Seperempat abad sejak penemuan kretek oleh Haji Djamhari kretek akhirnya menjelma industri besar yang dirintis Nitisemito di Kudus pada awal 1900-an. Dia sempat berganti-ganti merek untuk produk kreteknya, dari Kodok Mangan Ulo, Soempil, Djeroek hingga selanjutnya mantap menggunakan merek Tjap Bal Tiga pada 1916. Saking terkenal nama Nitisemito yang mendapat julukan sebagai “Raja Kretek” ini, namanya disebut Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945.

Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Nitisemito, Liem Seng Tee mendirikan pabrik Dji Sam Soe dan Sampoerna di Surabaya. Setelahnya, pada dekade tahun 1930-an berdiri pabrik Nojorono yang didirikan oleh Ko Djee Song dan Tan Djing Thay. Pabrik Nojorono ini membuat inovasi rokok tahan air yang sangat populer bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut dan nelayan.

Ada pula H.A. Ma’roef mendirikan pabrik Djambu Bol dan Mc. Wartono mendirikan pabrik Sukun. Pada pertengahan 1950-an, ketika produksi kretek mulai berkembang pesat menjadi industri raksasa modern dengan munculnya beberapa pabrik baru, antara lain, oleh Oei Wie Gwan mendirikan pabrik Djarum di Kudus dan Tjoa Ing Hwie mendirikan pabrik Gudang Garam di Kediri. Di samping itu terdapat pabrik rokok yang berskala industri rumah tangga yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Nitisemito mendirikan pabrik Tjap Bal Tiga pada 1900-an. Liem Seng Tee mendirikan pabrik Sampoerna pada 1913. Ong Hok Liong mendirikan pabrik Bentoel pada 1930. Ko Djee Song & Tan Djing Thay mendirikan pabrik Nojorono pada 1932. H.A. Ma’roef Mendirikan pabrik Djambu Bol pada 1937. Mc. Wartono Mendirikan pabrik Sukun pada 1949. Oei Wie Gwan mendirikan pabrik Djarum pada 1950. Tjoa Ing Hwie mendirikan pabrik Gudang Garam pada 1958.

Tembakau, tanaman yang menguntungkan

Pengusahaan tembakau memerlukan kerjakeras dalam membaca iklim yang sesuai untuk masa tanam, mengolah tanah, menyediakan bibit, merawat, memberantas hama, dan penanganan pascapanen hingga menyetor ke pedagang atau pabrik rokok.

Budidaya tanaman tembakau tidaklah mudah, berbekal pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun selama ratusan tahun membuat tahap-tahap itu bisa dilalui dengan baik oleh para petani. Harga jual yang menguntungkan membuat makin terbukanya ruang perbaikan kesejahteraan dan keuntungan dari pertanian tembakau. Faktor itu yang mengikat tenaga kerja pertanian tembakau dari tarikan kesempatan kerja lain.

Salah satu daerah yang punya standar tinggi dalam penghasilan dari tembakau adalah Temanggung. Sekitar 50 persen dari luas daerah kabupaten ini merupakan dataran tinggi yang cocok untuk budidaya perkebunan tembakau. Menurut laporan terbaru Badan Pusat Statistik Kabupaten Temanggung terdapat 15.587,50 hektar lahan produksi yang menghasilkan 9.978,50 ton tembakau. Selain itu, ada 3.275 unit usaha industri pengolahan tembakau yang menyerap 24.175 orang tenaga kerja di kabupaten ini.

Cengkeh, keunggulan kompetitif bangsa Indonesia

Sejak penemuan kegunaan baru cengkeh sebagai bahan baku rokok kretek, komoditas cengkeh kembali bersinar. Beberapa pabrik rokok kretek berdiri pada pertengahan dekade 50-an menyebabkan permintaan cengkeh meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pertanian cengkeh tak hanya diusahakan di Kepulauan Maluku tetapi juga di Sulawesi, Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Papua dan beberapa tempat lain di Indonesia.

Pada 1970 luas lahan cengkeh telah mencapai 82.387 hektar, dua dekade kemudian luas lahan cengkeh mencapai 724.986 pada 1990. Swasembada cengkeh dinyatakan tercapai pada 1991. Namun sayang, pengaturan tataniaga cengkeh oleh pemerintah dengan pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) justru membuat komoditas ini terpuruk. Harga jatuh.

Petani kecewa, sebagian lahan ditumpas dan sebagian lagi dibiarkan tak terpanen. Ketika BPPC dibubarkan, pada akhir Juni 1998, lahan cengkeh yang tersisa tercatat hanya 428.000 hektar. Sekarang lahan cengkeh mencapai setengah juta hektar lahan, dan 96 persen dari total produksi nasional mengalir untuk menyokong kebutuhan industri kretek nasional.