lembaga filantropi bloomberg
OPINI

Kita Berhak Mencurigai Lembaga Filantropi Masa Kini

The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits – Milton Friedman 1970

Praktik memberi atau dikenal sebagai filantropi, selama ini selalu melekat pada kegiatan agama. Terlepas dari itu, kegiatan memberi juga dikenal di dunia ekonomi sebagai wujud atau bentuk tanggung jawab sosial. Kutipan di atas merupakan suatu doktrin yang sangat terkenal dan menjadi rahasia umum di kalangan pebisnis serta akademisi sejak 1970–an.

Friedman mengawali tesisnya dengan argumen bahwa suatu bisnis tidak boleh hanya mempedulikan pengerukan keuntungan sebesar-besarnya saja, melainkan juga memiliki kesadaran sosial dengan bertanggung jawab dalam; menyediakan lapangan pekerjaan, menghindari polusi, dan dalih apapun terkait sosial serta lingkungan.

Hari ini masyarakat mengenalnya dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR). CSR pertama kali muncul di tahun 1950–an, sedangkan praktik filantropi telah muncul sejak 1800–an. Menurut Mauss praktik berbagi telah ada sejak masyarakat kuno, pemberian menurutnya didasarkan pada kegiatan; memberi, menerima, dan membalas. Jika meminjam konsep Mauss yang demikian, konteks CSR juga mirip dan bedanya terletak pada ‘siapa pemberinya’ dan ‘hendak mendapatkan balasan seperti apa setelah diberi’.

Dalam hal relasi ekonomi kapitalistik, pemberian kepada masyarakat tidak bisa dibebankan kepada pemilik modal, beban tersebut ada pada perusahaan yang dilekatkan dalam bentuk eksekutif perusahaan. Artinya setiap korporasi harus memiliki tanggung jawab sosial tersebut. 

Dalam upaya memberi yang dilakukan oleh kalangan pebisnis atau korporasi selalu terselip agenda untuk menciptakan reakumulasi kapital, dengan cara pemaksaan konsumsi komoditas di masyarakat. Hal itu berlaku bagi apapun komoditas yang diperdagangkan di pasar, karena masyarakat hanya objek dari korporasi tersebut. Tanggung jawab sosial ini dapat dilihat dari berbagai sisi, tergantung biaya yang dikeluarkan.

Menurut Friedman tanggung jawab sosial dapat melalui; pengurangan keuntungan pemegang saham, menaikkan harga komoditas kepada pelanggan, menurunkan gaji karyawan. Argumentasi Friedman melihatkan bahwasanya korporasi tidak sedang benar-benar bertanggung jawab atas ‘dosa besarnya’. Namun hanya melakukan perputaran uang dengan program memberi. Di samping itu masyarakat juga tidak benar-benar menerima. Sebab uang yang dikeluarkan untuk tanggung jawab sosial diperuntukkan kepada lembaga-lembaga sosial di masyarakat.

Hal itu sangat berbeda dengan konsep tanggung jawab sosial negara, di mana setiap warga negaranya wajib mendapatkan pelayanan sosial dari negara. Selain itu tanggung jawab sosial diperuntukkan sebagai pengendalian harga komoditas dan upah pekerja. Maka–sekali lagi–tanggung jawab sosial hanya program omong kosong dari korporasi.

Lembaga-lembaga sosial tersebut membutuhkan donor, tidak menutup kemungkinan lembaga-lembaga sosial di tingkat internasional. Unicef misalnya, selain dari partisipasi negara ada juga peran besar korporasi memberikan donor. Menurut laporan Unicef di tahun 2019 ada empat korporasi multinasional; Lego Foundation (US$ 28M), AstraZeneca (US$ 12,5M), Takeda (US$ 9M), Unilever. Ada tiga yayasan dari kapitalis internasional; The Bill & Melinda Gates Foundation, The Power of Nutrition (US$ 100M), dan The Rockefeller Foundation (US$ 30M). Terakhir ada dari rekanan filantropi sebanyak 3 pendonor; Rotary International (US$ 64.6M), Latter-day Saint Charities (US$ 15M), dan Zonta (US$ 2M). Mayoritas dana tersebut ditujukan kepada negara-negara dunia ketiga.

Bukan tanpa sebab uang-uang yang jumlahnya triliunan rupiah tersebut diperuntukkan bagi negara-negara di dunia ketiga. Negara dunia ketiga berisikan keterbelakangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan pemerintahan yang bertangan besi. Selain berisikan aib di mata negara-negara dunia pertama dan kedua, negara dunia ketiga merupakan lumbungnya sumber daya alam dan pekerja murah.

Pemerintahan yang tangan besi ini disokong agar masuknya investasi serta pelepasan tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya, karena pemerintah masih butuh kesepakatan rakyat lewat perwakilannya di parlemen agar bisnis tetap berlangsung, sedangkan pencabutan-pencabutan tanggung jawab sosial negara diperlukan. Tujuannya korporasi-korporasi mendapatkan citra baik dari masyarakat atas kepeduliannya, dan menghilangkan antagonisme kelas. Friedman menyebutkan skema ini di dalam bukunya berjudul Capitalism and Freedom sebagai doktrin fundamental subversif.

“…hanya ada satu tanggung jawab sosial tanggung jawab sosial dalam bisnis, menggunakan sumber dayanya dan terlibat dalam aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keuntungannya selama ia tetap berada dalam aturan permainan–artinya–terlibat dalam persaingan terbuka dan bebas tanpa penipuan atau kecurangan” (Friedman, 1962)

Kondisi semacam itu menimbulkan ketergantungan di negara-negara dunia ketiga. Ketergantungan dapat dideskripsikan sebagai suatu kondisi ekonomi suatu negara dipengaruhi ekspansi dan perkembangan dari negara-negara maju, sehingga membutuhkan uluran bantuan dari pihak luar. Ketergantungan dapat mewujud dalam berbagai hal; modal, teknologi, dan tenaga ahli.

Salah satu penyebabnya, menurut Cardoso dalam Purwandari, terjadi karena efek organisasi internasional menjadi landasan perspektif sistem dunia. Unicef di tahun 2019 mendapatkan donor dari negara-negara maju; Amerika (US$ 743M), Inggris (US$ 494M), Jerman (US$ 464M), dan Uni Eropa (US$ 382M). Belum lagi kerja sama dengan para bankir; World Bank (US$ 400M) dan Islamic Development Bank.

Merujuk pada data tersebut, organisasi internasional operasionalisasinya didanai paling besar oleh negara-negara dunia pertama. Sistem semacam ini bukan membangkitkan perekonomian di negara-negara dunia ketiga. Melainkan proses pencaplokan suatu negara, komersialisasi agraria, industrialisasi, dan proletarianisasi jika merujuk pada teori sistem dunia Wallerstein. Maka CSR atau tanggung jawab sosial hanya siklus pengerukan kekayaan yang sebesar-besarnya. 

Memang tidak ada makan siang yang gratis di era modernisasi sekarang ini. Bantuan-bantuan dari lembaga manapun patut dicurigai memiliki kepentingan seperti apa. Bisa saja menciptakan ketergantungan meski dengan dalih pemberdayaan sekalipun. Sebab watak dari korporasi, bankir, dan juga lembaga-lembaga internasional tersebut bersifat kolonialisme modern. Salah satu hal yang tampak nyata adalah perebutan komoditas tembakau negara dunia pertama dengan ketiga.

Negara dunia ketiga adalah penghasil tembakau terbaik di dunia, salah satunya Indonesia. Kampanye-kampanye antirokok banyak didanai oleh kapitalis internasional; Bloomberg, World Bank, dan lain-lainnya. Tembakau dianggap sebagai biang keladi munculnya penyakit kanker dan kronis lainnya, penelitian Navarro dan kawan-kawan yang berjudul Industrial pollution and cancer in Spain; An important public health issue menyebutkan bahwa kanker dapat disebabkan oleh polusi industri karena mengandung; arsenik, kromium, dan kadmium. Sebaliknya nikotin dalam tembakau memiliki manfaat besar, setidaknya ada 9 manfaat menurut penelitian Jarvik dalam Beneficial effects of nicotine; penguatan positif, penguatan negatif, mengurangi berat badan, meningkatkan performa dan perlindungan tubuh, terhindar Parkinson, terhindar dari penyakit Tourette, terhindar dari Alzheimer’s, terhindar ulcerative colitis dan sleep apnea. Manfaat-manfaat nikotin ini tidak pernah dikampanyekan oleh antirokok. 

Padahal bagi negara-negara dunia ketiga tembakau dapat dapat berkontribusi sebagai pendapatan. Tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan yang dimiliki oleh Indonesia. Pendapatan cukai dari rokok dapat mencapai triliunan rupiah. Sementara Indonesia hendak belajar dari Filipina yang mengalokasikan pendapatan negara dari rokok ke dalam anggaran kesehatan. Di Indonesia menurut Ahsan dalam ringkasan riset JKN-KIS akan, cukai rokok dialokasikan ke pendanaan BPJS kesehatan yang selama ini terus mengalami defisit. Tentu ini sebuah terobosan dan memberikan peringatan kepada anggota antirokok di Indonesia, bahwa perokok di Indonesia memiliki partisipasi terhadap perekonomian negara. 

Maka dari itu tanggung jawab sosial bukan berada pada korporasi, bankir-bankir, lembaga-lembaga sosial di masyarakat. Melainkan ada di tangan negara. Karena negara harus menjamin kehidupan masyarakat, bukan dilimpahkan kepada sistem kapitalistik yang akut ini. Sebab negara akan dipaksa untuk mengurangi atau justru melepaskan tanggung jawabnya, akhirnya peran itu diambil-alih oleh korporasi.

Tentu korporasi tidak mau rugi, begitu pula dengan pengusahanya dan pemilik sahamnya. Akhirnya yang menjadi objek penjarahan nilai lebih adalah kelas pekerja, konsumen, serta masyarakat secara umum. Di dalam sistem kapitalistik tidak ada yang lebih baik, selama dilandaskan pada penghisapan dan penindasan.