Kretek tidak semata selinting tembakau dan kretek dalam sehelai papir. Lebih dari itu, kretek telah masuk dalam sendi-sendi sejarah panjang kebudayaan bangsa Indonesia.
Kretek, hingga kini juga telah memberikan sumbangan besar terhadap bangsa, baik dari sektor lapangan kerja maupun sumbangan riilnya terhadap pemasukan negara. Dari tahun ke tahun, sumbangan kretek terhadap APBN tidak pernah menyusut.
Berikut, kretek memang telah menyatu dengan kebudayaan, bahkan menjadi warisan budaya tak bendawi bangsa Indonesia.
Puntung Rokok Rara Mendut
Kisah tentang Rara Mendut diperkirakan terjadi pada 1627, saat utusan Sultan Agung yang bernama Tumenggung Wiraguna berhasil menumpas pemberontakan Pati. Sebagai imbalan atas keberhasilan ini Sultan Agung menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna. Ia menolak dan akibatnya harus membayar pajak setiap harinya, yang dipenuhi dengan memperdagangkan tembakau sompok dari Imogori, daun klobot, bumbu-bumbu, dan wur.
Begini alasan Rara Mendut tentang larismanis dagangannya, “Tentu saja, karena rokok itu bekas kena bibirku dan telah leceh dengan air ludahku yang manis dan harum.”
Kebiasaan Pangeran Diponegoro
Mengunyah sirih adalah salah satu dari sedikit kebiasaan Pangeran Diponegoro. Sehari-hari ia biasa terus-menerus memamah sirih, sehingga ia dapat menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah seracikan kapur, daun sirih, dan pinang.
Pangeran juga mengisap rokok jawa, sigaret tebal yang dilinting dengan tangan sendiri, sejenis cerutu yang terbuat dari tembakau lokal yang dibungkus daun jagung.
Sebagai Teman Perjamuan
Sebagai Teman Perjamuan “Sekembalinya ke mesjid, Modin dan Bodin menggelar tikar dan meletakkan di atasnya pelita, kulit jagung dan tembakau, menyan madu sebesar biji kemiri, pisau untuk mengirisnya serta sebuah kendi. ‘Ayo, mari kita merokok dan minum seadanya!’ Para tamu mencabik kulit jagung, merapikannya dengan pisau, menaruh tembakau dan kemenyan lalu melintingnya.”
—- Nukilan Serat Centhini
Sebagai Simbol Pergerakan Nasional
“Kopinya bukan kopi saringan, tetapi kopi tubruk sebab kopi ini katanya nationaal, gulanya gula jawa. Susu tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot. Selamatan nationaal ini terus (berlangsung-ed.) sampai pagi hari.” Abdul Rivai dalam Bintang Timoer, 3 Oktober 1927