Sejak permulaan millennium atau abad ke-21, industri pengolahan tembakau dan cengkeh –yang menghasilkan rokok yang disebut kretek–sedang berada di masa keemasannya sampai sekarang dengan dominasi pangsa pasar hingga 93 persen di negerinya sendiri.
Industri ini tumbuh sejak permulaan abad ke-20 yang sudah dirintis pada akhir abad ke-19–dengan modal kecil-kecilan yang justru diabaikan oleh pengusaha Belanda (Eropa) –di masa kolonial Hindia Belanda.
Kemudian industri ini mengalami pasang-surut, ditandai oleh kerusuhan sosial sebagai dampak dari persaingan yang keras dan posisi pemerintah Hindia Belanda yang menindas golongan bumiputra.
Mereka yang terlibat dalam industri ini merasakan masa-masa dua perang dunia, menderita kehancuran pada perkebunan seiring tertancapnya kepentingan penguasa fasisme Jepang untuk tujuan memenuhi kebutuhan perang Asia-Pasifik, mengalami dislokasi ekonomi sebelum dan sesudah terbentuknya Republik Indonesia (RI), dan memberikan kontribusi penting bagi perjalanan RI pada 1959 mencapai 18,2 persen total pajak dan bea.
Industri kretek juga dikesampingkan dalam kebijakan pemerintah Orde Baru seiring diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan mengucurnya utang luar negeri terutama lewat Intergovernmental Group on Indonesia(IGGI) yang terbentuk pada 1967.
Namun, ketika “rejeki nomplok” pada periode oil boom–sejak pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an –terbuka celah untuk memperoleh pinjaman lunak yang menggairahkan kembali pertumbuhan perusahaan-perusahaan industri kretek.
Tantangan dan ketegangan masih mereka hadapi menyusul beroperasinya VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) produk rezim Soeharto –Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) –yang melakukan monopoli pembelian dan perdagangan cengkeh selama dekade 1990-an.
Sampai akhirnya, krisis finansial menyapu Asia Timur dan Tenggara yang berdampak secara politis: Soeharto jatuh bersama BPPC dan kroni-kroni bisnis yang sudah dibesarkannya.
Industri kretek tetap bisa bertahan, bahkan menunjukkan kemajuan pesatnya sesudah krisis finansial itu. Lebih dari itu, berbeda dengan banyak jenis industri yang tumbuh di Indonesia, industri kretek adalah yang paling tua sesudah industri gula.
Bahkan berbeda pula dengan industri gula, industri kretek justru mampu mendominasi pasar di negerinya sendiri. Lagi pula, industri kretek tidak pernah dikuasai oleh pengusaha Belanda di masa kolonial Hindia Belanda.
Bukan hanya pasar di negerinya sendiri yang didominasi, melainkan juga menembus pasar ekspor dengan 30 negara tujuan dan nilai 400 juta dolar AS.
Sejak dulu, setiap tahun, pemerintah senantiasa mengecap kenaikan pendapatan dari cukai rokok. Di sini pula letak ketangguhan industri kretek dalam menghadapi berbagai guncangan krisis dan gejolak politik.
Selain kontribusinya terhadap penerimaan negara dari cukai dan pajak lainnya maupun devisa, bagaimana membentuk industri yang tangguh, maka industri kretek juga memberikan kontribusinya terhadap lapangan kerja, upah dan tunjangan, serta tanggung jawab sosial dan partisipasi dalam kebudayaan.