OPINI

Membedah Cukai Hasil Tembakau

Kesejahteraan bagi Rakyat Indonesia adalah merupakan tujuan utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini terkandung didalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 pada alinea ke-IV yang mengatakan “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, “. Artinya kesejahteraan umum adalah sebagai sebuah visi dalam membentuk serta menjalankan pemerintahan, sebagai konsekuensi logis pemerintah berkewajiban menjamin kesejahteraan bagi rakyat tersebut.

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan salah satu sektor yang menarik dan cukup penting dalam sektor agraria adalah pertanian tembakau. Sektor ini menarik karena tembakau dan produk turunannya seperti rokok memberikan pemasukan bagi kas negara melalui cukai dan pajak cukup besar. Di samping itu, sektor ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup besar,mulai dari pertanian tembakau hingga produk akhir seperti rokok dalam kondisi pandemi saat ini salah satu yang menjadi komoditas untuk membangkitkan kas Negara adalah industri hasil tembakau. Setiap Tahunnya sekitar 200 triliun industri hasil tembakau memberikan keuntungannya kepada Negara. Hal ini perlu untuk dipertahankan dan diapresiasi ketika sector lain terhambat karena pandemi, industri hasil tembaku justruterusmemberikansumbangsihnyakepadaNegara.

Pemerintah berwacana akan membuat sebuah kebijakan baru untuk menaikan cukai rokok, kenaikan cukai rokok yang tinggi akan berdampak kepada kerugian yang besar bagi konsumen dan pemerintah. Dampak tersebut sudah pasti dari kenaikan cukai rokok, jika cukai rokok mengalami kenaikan maka harga jual rokok turut mengalami kenaikan. Bahwa dari kenaikan harga rokok tersebut, maka harga rokok menjadi semakin mahal dan tidak terjangkau oleh perokok.

Tidak terjangkaunya harga rokok bagi perokok dipengaruhi oleh kondisi inflasi yang tinggi, pendapatan masyarakat yang rendah dan menurunnya daya beli masyarakat. Alhasil perokok tidak dapat mengonsumsi kretek sebagai produk hasil tembakau khas Indonesia. Perokok tidak lagi mendapatkan asupan nikotin alamiah yang didapat dari produk hasil tembakau sebagai penunjang kehidupan multidimensional mereka sehari-hari. Perokok perlahan-lahan akan dipaksa beralih konsumsi kepada produk- produk yang diciptakan industri farmasi berupa penghantar nikotin bersifat kimiawi.

Bahwa dengan adanya kenaikan cukai yang tinggi, pemerintah secara tidak langsung sedang merampas hak warga negaranya. Bagi perokok aktivitas merokok menjadi bagian dari kebutuhan relatif dan rekreatif; dengan merasakan merokok untuk menemukan ketenangan, menghilangkan stres, untuk fokus pada pekerjaan, dan lain sebagainya. Merokok Dianggap lebih murah dibanding aktivitas lain untuk relaksasi dan rekreasi seperti jajan makanan ringan, menonton bioskop, pergi ke lokasi wisata, dan lainnya. Lalu bagi negara ada tiga hal dampak kerugian yang ditimbulkan dari kenaikan cukai rokok yang tinggi. Pertama, penurunan pendapatan negara dari sektor cukai rokok. Dari kenaikan cukai rokok yang tinggi maka omzet pabrikan akan mengalami penurunan sebesar 15-20%. Saat ini saja telah terjadi penurunan volume penjualan industri rokok sebesar 7%. Padahal tahun-tahun sebelumnya penurunan volume masih radadi angka 2%.

Angka inflasi kita masih berada di angka 3%, pertumbuhan ekonominya pun stagnan di angka 5 persen, di sisi lain juga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Bahwa dengan adanya kenaikan cukai rokok yang tinggi tentunya akan mengerek harga jual rokok di pasaran. Kondisi ini akan membuat konsumen tidak dapat menjangkau harga rokok, sehingga pabrikan akan mengalami penurunan omzet, banyak pabrik rokok yang akan

 

gulung tikar. Alih-alih menaikan pendapatan negara dari sektor cukai justru yang terjadi adalah negara akan kehilangan pendapatan besar dari sektor ini.

Pada sektor ketenagakerjaan, kenaikan cukai yang tinggi berakibat pada penurunan permintaan tembakau dari pabrikan ke petani sebesar 30%, sementara untuk permintaan cengkeh penurunannya sebesar 40%. Dari penurunan omzet pada dampak pertama akan berefek kepada serapan bahan baku dikarenakan industrinya berjalan lesu, produksi akan berkurang.

Dapat dibayangkan ada 1 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidupnya dari sektor industri hasil tembakau. Penurunan permintaan tembakau dan cengkeh dari pabrikan ke petani nantinya akan membuat petani kebingungan melempar hasil panen mereka. Kalaupun ada yang menyerap sudah dapat dipastikan para tengkulak yang bermain di sana, harganya dipaksa serendah mungkin, petani yang tak punya pilihan mau tak mau akan melemparnya ke tengkulak.

Petani merugi karena harga jual rendah. Dapat kita bayangkan bagaimana nasib selanjutnya para petani tembakau dan cengkeh kedepannya. Belum lagi dampak PHK bagi buruh akibat gulung tikarnya pabrik rokok serta jutaan orang yang turut terlibat dalam industri rokok dari hulu ke hilir. Sudahkah pemerintah siap menanggulangi dampak kerugian dari sektor ketenagakerjaan ini?

Disisi lain, semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Kenaikan cukai rokok yang tinggi sudah pasti akan menaikkan peredaran rokok ilegal. Ketika konsumen mengonsumsi rokok legal bercukai, negara mendapatkan keuntungan yang paling besar, sebab dalam sebatang rokok konsumen menanggung beban cost sebesar 70 % untuk pajak negara. Sementara rokok ilegal tidak menanggung beban cost cukai dan pajak negara lainnya, sehingga produsen rokok ilegal dapat menjual produknya jauh lebih murah dibanding rokok legal.

Ketika konsumen dihadapkan pada semakin tidak terjangkaunya harga rokok legal, maka mengonsumsi rokok ilegal akan menjadi pilihan. Rokok ilegal akan membanjiri pasar seiring dengan tingginya angka permintaan. Lalu, tidak ada konsumen rokok yang loyal semua orang tahu bahwa perokok dapat beradaptasi dengan jenis rokok lain yang baru dikonsumsinya hanya dalam jangka waktu 3 minggu. Harga rokok legal yang tidak terjangkau dan sifat adaptasi yang cepat dari konsumen rokok inilah yang menjadi ceruk pasar bagi produsen rokok ilegal.

Pembahasaan

Kesejahteraan Semata untuk Rakyat

Kesejahteraan sosial diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, oleh karena itu ia dianggap sebagai mekanisme pemerataan terhadap keseimbangan yang ditimbulkan oleh ekonomi pasar. Jaminan sosial, pekerjaan, perumahan dan pendidikan adalah wilayah garapan utama dari kebijakan pemerintah yang menganut welfare state terhadap rakyatnya. Para founding father mendesign Negara Republik Indonesia dengan mempunyai cita dan tujuan agar keadilan dan kemakmuran bangsa Indonesia bisa diejawantahkan. Terlihat bahwa unsur tersebut dimuat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea ke-IV. Lebih lanjut, rumusan kesejahteraan sosial diatur dalam batang tubuh UUD 1945 tepatnya pada pasal 34 UUD 1945 secara ringkas disebutkan bahwa fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara, lalu mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.

Bahwa perlu diperhatikan konsekuensi logis dari Negara yang menganut sistem kesejahteraan sosial atau Welfare State maka Negara wajib memberikan serta menjamin segala kebutuhan masyarakat, baik dari kebutuhan hidup primer atau sekunder. Termasuk dalam hal ini pemenuhan kebutuhan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.

Bekerja merupakan hak rakyat yang sudah dijamin oleh UUD 1945, dimuat pada pasal 28D ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Bahwa akibat kebijakan pemerintah dalam menetapkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) kian menaik pada setiap tahunnya, maka mengakibatkan menurunnya jumlah para petani dan buruh Industri Hasil Tembakau (IHT). Hal ini dibuktikan dengan data menurunnya jumlah unit usaha perusahaan tembakau rokok pada tahun 2007 sebanyak 4.793 dan pada 2017 sebanyak 487, artinya selama 2007 sampai 2017 berkurang sebanyak 4.306.

data pabrik rokok

Data pabrik rokok dari tahun ke tahun

Data diatas menunjukan bahwa pada setiap tahunnya jumlah perusahaan IHT semakin menurun, itu mengartikan bahwa buruh pada IHT pun ikut terdampak dengan tidak lagi mempunyai pekerjaan. Padahal, mengingat IHT sangat tinggi dalam menyerap pekerja/buruh, sehingga dapat dikatakan dampak yang sangat luar biasa bagi buruh/pekerja ketika sebuah tempat yang menyerap banyak pekerja itu menurun setiap tahunnya.

Bahwa pada konsideran huruf b Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (“CHT”) berbunyi “bahwa tarif cukai hasil tembakau ditetapkan berdasarkan parameter yang jelas, logis dan dapat dipertanggungjawabkan dengan tetap memperhatikan dampak dan keadilan bagi masyarakat, serta kepentingan negara yang berpihak pada kemaslahatan dan kemanfaatan”, dari konsideran tersebut berbunyi “… dengan tetap memperhatikan dampak dan keadilan bagi masyarakat …” berdasarkan data diatas dengan menurunnya Industri Hasil Tembakau (IHT) semakin menghilangnya lapangan pekerjaan yang berarti tidak terpenuhinya kesejahteraan sosial bagi para buruh. Bahwa hal tersebut dikarenakan lahirnya peraturan menteri keuangan no 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dengan menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5%.

Orientasi Kebijakan IHT

Bahwa pada konsideran huruf b Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (“CHT”) yang menggambarkan kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau bertujuan untuk keadilan bagi masyarakat, namun pada kenyataannya kenaikan Tarif Cukai Hasil tembakau tidak berdampak bagi keadilan masyarakat.

Bahwa dari faktor tenaga kerja dengan bertambahnya Tarif Cukai Hasil Tembakau berdampak dengan semakin menghilangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, karena dengan semakin menurunnya Industri Hasil Tembakau (IHT) berdampak langsung kepada banyaknya tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan yang tidak menyanggupi pemberian upah kepada tenaga kerja diakibatkan dari bertambahnya Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Bahwa dengan bertambahnya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau tidak mengimplementasikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 27 ayat (2) ”Tiap- tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” karena dengan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau telah mencederai pasal tersebut.

Bahwa berdasarkan penjelasan diatas dengan kenaikan Tarif Cukai Hasil tembakau tidak menggambarkan adanya keadilan pada masyarakat sebagaimana dijelaskan pada Konsideran huruf b Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (“CHT”). Bahwa dari faktor antisipasi peredaran rokok ilegal dengan bertambahnya Tarif Cukai Hasil Tembakau justru semakin bertambahnya peredaran rokok tersebut, dikarenakan besarnya Cukai Hasil Tembakau yang memberatkan kepada Pelaku Usaha untuk menunaikan kewajibannya untuk membayar Cukai Hasil Tembakau.

Bahwa berdasarkan penjelasan diatas tidak menguntungkan pemerintah dengan menambah Tarif Cukai Hasil Tembakau, bahkan semakin tinggi penjualan tembakau ilegal yang justru merugikan pemerintah. Bahwa jika menilik tujuan cukai yaitu untuk menekan konsumsi produk tersebut, namun pada nyatanya dengan menaikkan Tarif Cukai Hasil Tembakau justru mempermudah pemasukan negara secara instan, karena dari data yang telah dipaparkan di atas kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau terus naik setiap tahunnya, hal ini terindikasi kepada negara yang bertujuan mendapatkan pemasukan secara instan.

Dampak Kenaikan Cukai terhadap Petani Tembakau

Bahwa kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau tidak hanya berdampak kepada Tenaga Kerja saja, namun berdampak pula kepada Petani Tembakau yang pendapatannya semakin terpuruk. Bahwa menurut Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau berdampak pada seluruh komponen stakeholder di Industri Hasil Tembakau (IHT) salah satunya petani tembakau, perusahaan memberikan harga minimal tembakau kering sebesar Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah) sampai Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) per kilogram yang mengalami penurunan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tahun sebelumnya.

Bahwa hal ini berakibat semakin menurunnya kesejahteraan petani tembakau dengan menurunnya pendapatan, dengan menurunnya 5% (lima persen) produksi berpotensi adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi 7.000 (tujuh ribu) pekerja. Bahwa dengan kebijakan cukai rokok akan berakibat kepada kenaikan harga rokok sehingga akan mengurangi kuantitas produksi rokok yang berakibat kepada menurunnya penjualan dari petani tembakau sementara permintaan harga tembakau semakin menurun diimbangi dengan menurunnya permintaan suply tembakau dari petani tembakau kepada perusahaan.

Bahwa sebagian besar petani tembakau menolak dengan adanya kebijakan cukai rokok tersebut dikarenakan dapat menindas petani tembakau dengan berkurangnya kuantitas suplai tembakau kepada perusahaan dan berakibat kepada pengurangan tenaga kerja.

Kesimpulan

Bahwa kesejahteraan umum adalah sebagai sebuah visi dalam membentuk serta menjalankan pemerintahan, sebagai konsekuensi logisnya pemerintah berkewajiban menjamin kesejahteraan bagi rakyat tersebut. Bahwa dengan berlakunya kebijakan dinaikkannya tarif cukai hasil tembakau dinilai tidak memperbaiki keadaan kesejahteraan sosial di masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin berkurangnya lapangan kerja bagi para buruh tembakau, hal tersebut tentu sangat jelas nilai kesejahteraan sosial tidak dirasa oleh masyarakat

Bahwa berkurangnya lapangan kerja bagi para buruh tembakau diakibatkan banyak ditutupnya industri hasil tembakau karena diakibatkan dengan adanya kebijakan dinaikkannya tarif cukai hasil tembakau. Maka untuk Itu, kebijakan tarif cukai tembakau tersebut merupakan solusi yang kurang tepat dalam memberikan kesejahteraan sosial kepada masyarakat, bahkan dengan adanya kebijakan tersebut dapat mencederai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Alinea ke-IV.


Daftar Bacaan:


Dasar Hukum

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Alinea ke-IV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 27 ayat (2)

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.010/2020 Data Kementerian Perindustrian

Data Direktur Jenderal Bea Cukai

Jurnal

111583-ID-ideologi-welfare-state-dalam-dasar-negar.pdf (neliti.com)

https://regional.kompas.com/read/2020/11/19/20000051/tarif-cukai-rokok-naik-nasib-petani- tembakau-semakin-terpuruk?page=all

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jae/article/download/9584/8772

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-pemerintah-tetapkan-kebijakan- tarif-cukai-hasil-tembakau-tahun-2021/