logo boleh merokok putih 2

Sergub Anies Baswedan yang Menyergap IHT

sergub anies baswedan

Seruan Geburnur Anies Baswedan terimplementasi menjadi sergapan display-display rokok di Jakarta.

Jaman sekarang saat semuanya serba susah, jangankan pedagang rokok, tuyul dan segala jenis pesugihan lainnya aja ikutan cemas kehilangan pendapatan. Saat ini cari nafkah untuk menghidupi keluarga sulitnya berkuadrat-kuadrat. Setelah banyak pabrik rokok gulung tikar dihajar kebijakan pemerintah yang gak mendukung iklim usaha, eh sekarang giliran pedagang rokok kena sikat. Buka warung kelontong yang majang bungkus rokok pun dihalang-halangi, dilarang-larang pula pake seruan gubernur.

Il Governatore DKI Bang Anies Baswedan kembali lagi ngeluarin surat edaran seruan yang menyita perhatian para Social Justice Warrior dunia maya. Kali ini lewat seruan Gubernur DKI Jakarta No. 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok, Bang Il Governatore DKI Jakarta Anies Baswedan sepertinya pengen membatasi hak warga negara dalam bidang ekonomi. 

Dengan alasan meningkatkan perlindungan terhadap bahaya merokok dan penurunan resiko penyebaran Covid-19, Bang Anies ngungkapin 3 point dalam surat seruan itu ndes. Pertama soal memasang tanda larangan merokok, kedua soal tidak menyediakan asbak pada kawasan dilarang merokok, yang terakhir soal larangan memasang iklan/reklame rokok, termasuk memajang kemasan/bungkus rokok di tempat penjualan.

Kasian donk Bang kalo pedagang rokok gak boleh pajang kemasan bungkus rokok, padahal itu komoditi jualannya. Trus pedagang disuruh majang foto Bang Michael Bloomberg gitu Bang?

Gini ndes, Industri Hasil Tembakau (IHT) dari hulu sampeeeekk hilir itu tercatat sebagai industri strategis nasional yang paling tahan terhadap krisis. Para pemilik toko dan pedagang rokok bersama petani dan buruh termasuk dalam mata rantai di dalemnya. Kepada IHT, jutaan keluarga menggantungkan hidupnya, bertahan hidup menghadapi segala badai dan ombak krisis.

Dan semoga badai ini cepet berlalu.

Entahlah apa motif Bang Il Governatore ngeluarin seruan ini. Tapi sekilas sih kayak mau menggerus label tahan krisis terhadap IHT, khususnya di wilayah DKI Jakarta sebagai point of attention sepenjuru nuswantara. Label tahan krisis ini bisa jadi lama-lama mengering dan mati, karena pedagang dipersulit untuk jualan rokok.

Bisa jadi beberapa musim ke depan banyak toko kelontong dan pedagang yang jual rokok masuk masa age of extinction dan pelan-pelan punah. Membiru dan mengecil, memerah lalu musnah.

Mbuhlah ndes, ngapain pake seru-seruan segala, padahal di Indonesia udah ada UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang udah berkali-kali di judicial review. Plus ada PP No. 109 Tahun 2012 yang isinya mengatur secara detail syarat dan larangan dalam perokokan duniawi. Termasuk soal dimana boleh beriklan dan berjualan rokok, siapa saja yang boleh menjadi konsumen rokok. 

Tapi rasa-rasanya hal tersebut dianggap belum cukup oleh Il Governatore, sehingga beliau secara buru-buru mengeluarkan seruannya yang justru isinya bertentangan dengan aturan diatasnya.

Seharusnya setiap pembuat dan pengambil kebijakan lebih bijak dalam membuat kebijakan, karena kebijakan bersumber dari kata bijak bukan bijik. Ada sumber hukum yang statusnya lebih tinggi daripada sekedar seruan gubernur yang udah ngatur soal rokok sebagai produk yang legal di Indonesia. Apalah arti asas legalitas kalo ternyata pihak eksekutif sekelas gubernur justru mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan aturan diatasnya ndes?

Sejarah pementasan drama tembakau dan kretek sebagai salah satu warisan luhur nuswantara emang panjang. Sejak dahulu di masa kolonial sampai sekarang pemerintah selalu ikut andil jadi aktor di dalamnya. Pemerintah harus bijak dalam memilih peran sebagai aktor dalam sebuah drama, karena sebaiknya-baiknya akting Mbak Elsa (Glenca Chysara) pemeran antagonis di Ikatan Cinta, tetep aja netizen lebih ngedukung Mbak Andin sama Mas El sampek kiamat.

Atau memang Abang Il Governatore pengen ambil peran antagonis dan membuat kegaduhan dengan membenturkan para Mas Satpol PP DKI dengan pedagang-pedagang rokok di sepenjuru DKI, perokok vs anti-rokok, rakjat melawan rakjat.

Sebenere masyarakat grass root hanya pengen ketenangan dan kesejahteraan hidup, karena tiap-tiap warga negara Indonesia punya hak yang sama dalam mencari nafkah. Mereka hanya ingin hak asasinya sebagai manusia Indonesia terjamin. Bisa mencari nafkah halal dengan nyaman tanpa perduli ontran-ontran politik kepentingan para petinggi negeri. Sederhana keliatannya, tapi prakteknya nyaris nihil ndes.

Mereka hanya ingin mengais rejeki tanpa takut diangkut patroli. Gimana caranya dagangan rokok mereka laku kalo gak boleh masang bungkus serta iklan rokok? Penjualan rokok terbukti memiliki sumbangsih signifikan dalam perputaran uang para pedagang, buktinya rokok selalu dipajang di tempat premiere. Diletakkan ditempat yang mencolok bagi penikmat rokok, namun susah diakses bagi anak di bawah usia.

Jangan kayak kejadian sekarang di Ibukota, jualan rokok kayak jualan narkoba, harus sembunyi-sembunyi pula. Ibukota memang lebih kejam daripada ibu tiri. Merokok itu adalah aktivitas legal yang dilindungi undang-undang, jadi janganlah para pedagang perokok di kriminalisasi. Cukuplah pengelolaan cukai yang carut marut, jangan sampek pedagang rokok ikutan mumet mencari nafkah gara-gara ada yang serakah.

Emang sih perdebatan rokok di Indonesia itu selalu menarik untuk dibahas. Mulai dari masalah ekonomi dan urusan perut, hingga korporasi filantropi global ikutan nyemplung bermain disana. Ketika di dalam negeri rokok di kriminalisasi dan cukai di cungkil setinggi langit, disana produk rokok dan subtitusi rokok dari planet Namec berduyun-duyun hijrah ke Indonesia. Jangan sampek kalian terjerumus di medan laga yang sebenere bukan pertempuranmu ndes.


Artikel ini hasil kolaborasi Bolehmerokok.com dan Klik Hukum

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Jatya Anuraga

Jatya Anuraga

Aktif di Klikhukum.id