kawasan tanpa rokok
OPINI

Unboxing Sergub DKI Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok

Sergub DKI Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok seharusnya tidak menciptakan tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan yang sudah ada.

Jumat lalu, saya membaca tulisan kak Nana di Klikhukum.id tentang Seruan Gubernur. Menanggapi tulisan kak Nana itu, sebagai Mahasiswa Hukum Tata Negara, saya jadi tertarik untuk mengkaji Seruan Gubernur ini, jadi marilah kita unboxing.

Setelah saya baca, rupanya yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Seruan Gubernur Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok adalah  upaya perlindungan bagi masyarakat dari bahaya rokok dan untuk melakukan usaha penurunan resiko penyebaran virus Covid-19.  

Baru sampai sini, saya sudah bertanya dalam hati. Apa hubungan bahaya rokok dengan penurunan resiko penyebaran virus Covid-19? Apakah hal tersebut mengartikan bahwa rokok merupakan salah satu penyumbang penyebaran virus Covid-19?   

Banyak pro dan kontra atas ditetapkannya Seruan Gubernur Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok. Nah, saya jadi penasaran, ingin mengkaji lebih lanjut. 

Dalam konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya tidak pernah ditemukan adanya Seruan Gubernur sebagai suatu produk hukum. Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan juga tidak tertulis keberadaan Seruan Gubernur. 

Jika demikian, maka makhluk apakah Seruan Gubernur tersebut?

Setiap mahasiswa hukum, apa lagi yang mendalami hukum tata negara/administrasi negara, pasti sangat familiar dengan istilah “diskresi”. Ya, Seruan Gubernur dalam ajaran Administrasi Negara paling dekat, dapat dikualifikasikan sebagai suatu bentuk “diskresi”.  

Jadi, saya sepakat dengan pendapat kak Nana, mengingat Seruan Gubernur ini berdiri sendiri tanpa menindaklanjuti peraturan yang lebih tinggi, maka jelas bahwa Seruan Gubernur ini merupakan suatu diskresi. 

Dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan  bahwa diskresi merupakan keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.

Berdasarkan definisi dari diskresi tersebut, maka jelas bahwa disekresi tidak bebas nilai. Diskresi harus memenuhi unsur “dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan”.  

Pertanyaannya, apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembatasan rokok tidak lengkap/tidak jelas? Sehingga Gubernur DKI Jakarta sampai harus mengeluarkan suatu diskresi.

Dalam ajaran administrasi negara, keberadaan suatu diskresi memang merupakan kewenangan yang melekat pada pejabat pemerintahan.  Begitulah yang tertuang dalam UU Administrasi Pemerintahan.

Tapi jangan lupa, bahwa dalam UU Administrasi Pemerintahan juga mengatur larangan bagi Pejabat Pemerintahan menyalahgunakan kewenangan dalam menetapkan atau melakukan keputusan atau tindakan. Larangan tersebut juga mencakup tentang penggunaan ‘diskresi. 

Sebagaimana yang dituliskan oleh I Dewa Gede Palguna, bahwa terlepas dari kemustahilan meniadakan, diskresi tetap membutuhkan pembatasan-pembatasan, terutama agar diskresi tidak melahirkan akibat atau praktik yang justru bertentangan dengan maksud pemberian diskresi itu sendiri. 

Jadi, perlu ada batasan-batasan dalam menggunakan diskresi, karena diskresi sangat mungkin dijadikan sebagai alat penguasa dalam menjalankan kepentingan-kepentingan kelompok (oligarki), bahkan pribadi. Ekstremna, diskresi dapat dijadikan sebagai alat penguasa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakatnya bila tidak dibatasi.

Oleh karena itu, agar pejabat pemerintahan tidak sewenang-wenang dalam menggunakan diskresi, maka diskresi harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan juga tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Adapun asas umum penyelenggaraan negara terdiri dari asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Sudah jelaskan sekarang? Sebagai sebuah diskresi, Seruan Gubernur itu harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, salah duanya ya dibuat untuk kepentingan umum dan juga harus proporsional. 

Proporsional maksudnya, diskresi harus mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. Pun, diskresi tersebut mencakup suatu hal yang dianggap berbahaya oleh anggukan sejuta umat.  

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 57/PUU-IX/2011 pernah menyampaikan, bahwa “dalam membuat suatu aturan, harus dilakukan secara proporsional, yaitu kepentingan perokok dan bagi masyarakat yang tidak merokok. Karena hukum merupakan mekanisme akomodasi terhadap kepentingan masyarakat secara adil”.

Maka dari itu, pembentukan suatu hukum haruslah proporsional dan adil berdasarkan apa yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. 

Btw, serius sih, Seruan Gubernur ini seru dan menarik untuk dibahas dan diskusikan. Cocok sih jadi bahan penelitian hukum, semacam skripsi atau tesis, hahahhaa. Masalahnya komplit, bisa dikaji dari berbagai sudut.


Kolaborasi konten bolehmerokok dan klikhukum.id