logo boleh merokok putih 2

Alasan Kenapa Kudus Tidak Ada Tanamanan Tembakau dan Temanggung Tidak Ada Pabrik Rokok

tembakau temanggung pabrik rokok kudus

Apakah kamu menyadari jika di Kudus tidak ada tanaman tembakau dan Temanggung tidak ada pabrik rokok?

Kabupaten Kudus termasuk daerah paling utara Jawa Tengah, tapi banyak orang beranggapan tidak bisa dikatakan daerah pantura. Yang bisa dikata daerah pantura itu daerah Kabupaten Jepara, Pati, Rembang ke timur hingga daerah Tuban Jawa Timur. Wilayah Kudus ada di lereng bagian selatan Gunung Muria. Walaupun wilayahnya tergolong kecil, di Kudus terdapat dua Makam Wali atau Sunan masuk dalam kategori walisongo. Yaitu Kangjeng Sunan Kudus Sayyid Dja’far Shodiq dan Raden Umar Said Sunan Muria. 

Sunan Kudus berada di tengah kota, Sunan Muria berada di pegunungan muria bagian paling utara kabupaten Kudus. Ada satu Sunan lagi yang makamnya di Desa Gribig Kecamatan Gebog, tapi tidak tergolong walisongo. Akan tetapi namanya tersohor di lingkaran orang-orang pertembakauan. Tak lain adalah ”Sunan Kedu”.

Cerita dari masyarakat setempat (Gribig) Sunan Kedu bukan asli Kudus, melainkan asli dari Kabupaten Temanggung Putra dari Ki Ageng Makukuhan. Karena Temanggung masuk wilayah Karesidenan Kedu, sehingga terkenal dengan julukan “Sunan Kedu” hingga sekarang. 

Masyarakat desa Gribig sendiri sampai sekarang masih menggali sejarah Sunan Kedu. Masyarakat belum puas cerita tentang Sunan Kedu yang belum tuntas, terlebih biografinya dan keahliannya. Sehingga masyarakat sampai sekarang mencari orang yang bisa menceritakan tentang Sunan Kedu hingga tuntas. 

Anehnya, makam Sunan Kedu di dalam kampung dan jalan masuk ke makam kecil hanya muat untuk sepeda motor, namun makamnya selalu ramai. Tidak hanya orang lokal, dari luar kota pun pada datang, terutama peziarah orang-orang yang bersinggungan dengan bisnis tembakau dan olahannya (rokok).

Bahkan, cerita dari masyarakat Gribig banyak orang yang mau membangun pabrik rokok meminta keberkahan tanahnya dibawa ketempat pembangunan gudang pabrik rokok yang baru. Hal ini hampir dilakukan seluruh pabrikan rokok baik kecil, menengah maupun besar yang tersebar di penjuru Nusantara. 

Mitos yang beredar di masyarakat, ketika orang yang bisnisnya tembakau atau membuat rokok kalau mau sukses disarankan meminta keberkahan pada Tuhan dengan lantaran Sunan Kedu. Bisa dengan ziarah, ngalap barokah tanahnya atau mengadakan ritual di makam dengan sajian makanan (bancaan/makan bersama-sama) dengan menu kesukaan Sunan Kedu. Konon lele bakar dan urapan (beberapa jenis sayuran disatukan dengan kelapa yang sudah diparut). 

Akan tetapi, banyak pabrikan rokok besar sering membawa hewan kambing, kemudian disembelih, dimasak dan dimakan bersama masyarakat setempat. Apalagi saat haul Sunan Kedu tiba, banyak saudagar tembakau, pabrikan rokok berlomba-lomba menyumbang. Bahkan tidak jarang terlihat tiap orang menyumbang satu ekor hewan kerbau untuk disembelih dalam perayaan haul Sunan Kedu. 

Di sebelah selatan makam Sunan Kedu terdapat barang kuno yang terbuat dari batu seperti lumpang dan alat penggerus yang konon peninggalan Sunan Kedu. Banyak orang berpendapat, batu tersebut adalah alat Sunan Kedu dalam meramu obat yang diberikan kepada masyarakat yang sedang sakit. 

pabrik rokok kudus
Buruh SKT Djarum sedang khidmat bekerja

Di Sebelah timur makam terdapat sumber air yang jernih dan melimpah, juga konon peninggalan Sunan Kedu untuk sesuci dan mengambil wudhu. Tetapi ada juga cerita kalau Sunan Kedu sering ke sungai yang tidak jauh dari makam tersebut. 

Cerita rakyat, kalau Sunan Kedu adalah salah satu murid Sunan Kudus asal dari Temanggung. Sepulangnya Sunan Kudus dari Palestina dan disana berhasil menangani wabah (pagebluk) di tengah-tengah masyarakat. Sehingga saat itu Kanjeng Sunan Kudus terkenal dikalangan para tabib dunia.

Kabar tersebut hingga ke telinga Ki Ageng Makukuhan (ayah Sunan Kedu) di Temanggung. Kemudian, ia mengutus putranya untuk berguru ke Kanjeng Sunan Kudus. Apalagi Ki Ageng Makukuhan selain Ulama’ Besar daerah Karesidenan Kedu juga seorang Tabib. Konon ceritanya, Ki Ageng Makukuhan ini salah satu keturunan Tionghoa yang menetap di bumi Nusantara dengan mengabdikan salah satu keahliannya sebagai Tabib.

Tidak heran, saat mendengar keberhasilan Sunan Kudus dalam mengatasi penyakit pagebluk di Palestina, kemudian sesampainya pulang ke Kudus, Ki Ageng Makukuhan mengirimkan putranya ke Kudus untuk belajar agama dan ketabiban, yang saat itu pun Sunan Kedu sebetulnya sudah punya bekal ilmu agama dan pengobatan dari ayahnya. 

Saat mudanya, Sunan Kedu tergolong anak yang cakap, cerdas, banyak akal dan tidak banyak usul. Ia pun langsung berangkat sendiri saat diperintah ayahnya belajar ke Kanjeng Sunan Kudus. 

Sesampainya di Kudus, Sunan Kedu kebingungang tempat dimana ia harus berguru. Ia hanya dibekali ayahnya nama Sayyid Ja’far Shodiq tanpa alamat pasti. Sedangkan saat itu Kudus masih sepi dan hutan belantara. Apalagi Sunan Kedu dapat cerita bahwa daerah Kudus itu wilayah jalan perlintasan para perampok. Mungkin kondisi tersebut sebelum Sayyid Ja’far Shodiq Kangjeng Sunan Kudus dan Raden Umar Said Sunan Muria belum menduduki Kudus. 

Karena belum kenal dan pastinya tempat Kangjeng Sunan Kudus, Sunan Kedu tidak kehilangan akal. Ia pun punya rencana membuat kehebohan. Tujuannya tidak lain mengundang banyak orang dan kalau ada orang yang bisa mengalahkan dirinya pastilah itu orang yang dimaksud ayahnya (Sayyid Ja’far Shodiq). 

Jiwa muda Sunan Kudus keluar, ia pun memperlihatkan kehebatannya dengan terbang di atas tampah (anyaman bambu berbentuk bulat) berputar-putar di atas wilayah Kudus, sambil sesekali berteriak memanggil nama Sunan Kudus.

Terang saja, apa yang dilakukan Sunan Kedu membuat masyarakat Kudus saat itu keheranan. Ada anak muda bisa terbang berputar-putar di atas, apalagi sambil memanggil nama Sunan Kudus. Kalau tidak anak orang hebat pasti tidak bisa. Tetapi ada anggapan masyarakat yang sebaliknya, apa yang telah dilakukan anak muda itu tergolong sombong dengan pamer bisa terbang. Masyarakat ini lah yang akhirnya terperangkap Sunan Kedu. 

Dan benar saja, kemudian masyarakat tersebut melaporkan ke Sunan Kudus atas kejadian tersebut. Saat itu Sunan Kudus sedang berada di Tajug – sebuah bangunan berbahan kayu yang berbentuk agak limas tidak terlalu tinggi sebagai tempat ibadah, ritual dan mengaji–. Atas laporan masyarakat dan santri, kemudian Sunan Kudus turun dari tajug menuju ke pelataran dan melihat kejadian tersebut. 

Sunan Kudus kemudian memanggil anak muda tersebut beberapa kali untuk turun. Naasnya, panggilan Sunan Kudus tak terdengar oleh Sunan Kedu. Ia terus berputar-putar terbang di atas. Pada akhirnya Sunan Kudus melemparkan sandal bakiak (sandal kayu) mengenai tampah Sunan Kedu dan kemudian barulah jatuh di sebelah barat Tajug tepatnya di daerah Jember panggilan daerah saat ini. 

Kangjeng Sunan Kudus mengutus santrinya untuk menolong dan membawa ke Tajug. Karena memang anak muda hebat, Sunan Kedu tidak apa-apa, kemudian diantar bertemu dengan Sunan Kudus. Singkat cerita, setelah ketemu Sunan Kudus, Sunan Kedu muda minta ijin menjadi muridnya. Kangjeng Sunan Kudus pun mengizinkan dengan syarat membersihkan diri dengan mandi dengan air dan tempat suci (sekarang terkenal dengan sebutan daerah sucen utara menara Kudus).

Selesai mandi suci, Sunan Kedu Muda diperbolehkan ikut mengaji. Setelah dianggap mengajinya selesai, kemudian Sunan Kedu Muda diperintah menyendiri atau berkhalwat di daerah yang sepi agak ke utara dari tempat tinggal Kangjeng Sunan Kudus, sampailah di daerah Gribig. Di daerah gribig tersebut, Sunan Kedu melakukan kegiatan atas perintah Sunan Kudus. 

Sunan Kedu ke Temanggung

Selesai menyepi, Kanjeng Sunan Kudus memberi gelar “Sunan” kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Kedu. Kemudian diperbolehkan pulang. Akan tetapi Sunan Kedu tidak langsung pulang sebelum Sunan Kudus memberi bekal untuk masyarakat di Kedu. Yang kemudian Sunan Kudus mengutus utusan untuk meminta saran ke Sunan Kalijaga yang ahli dalam pertanian. Sunan Kalijaga menyarankan bertani tembakau dan padi jenis gogo. Saran tersebut kemudian disampaikan Kangjeng Sunan Kudus ke Sunan Kedu.  

Sesampainya di Temanggung, Sunan Kedu menyampaikan bekal ke masyarakat. Yang akhirnya banyak masyarakat menanam tembakau dan padi jenis gogo. Ternyata hasil tanaman tembakaunya kurang bagus. Selain itu kegunaan tembakau dengan begitu banyaknya untuk apa dan dijual kemana, Sunan kedu Belum mengerti. Biasanya Sunan Kedu menggunakan tembakau hanya sebagai media pengobatan itupun hanya sedikit. 

Akhirnya Sunan Kedu Kembali menemui Sunan Kudus dan melaporkan kalau tanaman tembakaunya tidak bagus dan tidak bisa menjual. Kemudian Kangjeng Sunan Kudus melemparkan tampah yang dibuat media terbang Sunan Kedu, sambil memerintahkan untuk mencari jatuhnya tampah tersebut. Jatuhnya tampah dimana, disana adalah tempat terbagus untuk tanaman tembakau. 

Kangjeng Sunan Kudus juga memerintahkan saat panen tembakau tiba dibawa ke Kudus dan dijual di pasar Kudus. Orang-orang Kudus yang akan membeli kemudian mengolahnya. Sedangkan daerah kedu penyedia bahan bakunya. Seringnya Sunan Kedu ke Kudus akhirnya dinikahkan yang konon dengan putri Sunan Kudus, yang kemudian sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Desa Gribig. 

Inilah mitos “sabdo wali” konon yang melatari Kota Kudus sebagai Kota produksi olahan tembakau, Kabupaten Temanggung (karisidenan Kedu) tempat pertanian tembakau. 

Dan benar adanya, mitos ini hingga sekarang terjadi, Kudus hingga sekarang hampir tidak ada tanaman tembakau, kalaupun ada jumlahnya sangat minim dan kualitasnya dibawah rata-rata (sangat jelek). 

Kalau dilihat geografis wilayah Kudus, memang tidak memungkinkan untuk tanaman tembakau. Kondisi tanah dan iklimnya tidak mendukung. Kearifan lokalnya hanya cocok untuk penyimpanan tembakau dan produksi olahan tembakau. 

Beda dengan kondisi wilayah Karesidenan Kedu khususnya Kabupaten Temanggung, dengan kearifan lokal tertentu tanaman tembakau tumbuh subur dan berkualitas. Bahkan saat ini tembakau termahal hanya dari wilayah pegunungan Temanggung. Tembakau termahal bernama “srintil”, dengan banyaknya kandungan minyak misterinya.  Panen tahun 2021 tembakau srintil mencapai angka Rp 1.200.000-an per kg. 

Akan tetapi iklim di temanggung tidak cocok untuk penyimpanan tembakau dan tidak cocok memproduksi olahan berupa rokok. Selain “mitos sabdo”, ternyata cuaca di Temanggung terlalu dingin.       

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).