industri kretek tetap tegak
PabrikanREVIEW

Kala Industri Kretek Tetap Tegak di Tengah Gempuran Rezim

Indonesia adalah negeri penghasil tembakau dan penghasil cengkeh sekaligus. Dari pengolahan dan racikan tembakau dan cengkeh inilah yang melahirkan ‘rokok cengkeh’, lebih dikenal dengan sebutan kretek. Identitas ini melekat pada Kudus sebagai “kota kretek” dan salah seorang pembentuk industri ini, Haji Nitisemito, dikenang sebagai “raja kretek”.

Identitas ini sekaligus menandakan pentingnya kedudukan industri pengolahan tembakau dan cengkeh dalam ekonomi di Indonesia, dari sebelum terbentuknya Republik Indonesia sampai sekarang. Identitas ini pula yang melekatkan kretek dengan Indonesia, sebagaimana halnya cerutu dengan Kuba, atau sepakbola dengan Inggris atau Brazil. Karena, kretek tidak dibuat di AS atau Eropa.

Industri rokok kretek mengalami perjalanan yang panjang, lebih 120 tahun. Setelah melewati berbagai kesulitan, bahkan nyaris hancur berkeping-keping dalam periode singkat gelombang pasang fasisme-militerisme Jepang, industri kretek mampu bangkit kembali dan selama dua dekade terakhir mengecap masa keemasannya.

Namun, lagi-lagi, kini industri kretek dihadapkan tantangan global dalam bentuk hambatan-hambatan perdagangan – dengan menampakkan sosok dalam bentuk regim kesehatan dunia – bahkan berikade-berikade perdagangan yang dibentuk di negerinya sendiri.

Secara spesifik, kontrol pemerintah terhadap industri rokok kretek itu dikaitkan dengan dampaknya pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yaitu hak atas pekerjaan, hak atas upah dan tunjangan, hak atas jaminan sosial, dan hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan.

Tujuannya adalah menunjukkan semakin terdesak ke belakang aspek tenaga kerja di saat negara memetik setoran pajak dan tarif cukai hasil tembakau yang terus meningkat. Tambahan lagi, pemerintah mengeluarkan PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Dengan menggunakan pendekatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka dapat diperhatikan gerak kemunduran komitmen atau kewajiban pemerintah untuk memenuhi (obligation to fulfil) dan melindungi (obligation to protect) hak-hak itu.

Pendekatan ini dilengkapi dengan metode deskriptif-analitis, sehingga dapat memberikan gambaran umum dan spesifik bagaimana hak-hak yang dimaksud sedang berada dalam desakan lebih ke belakang di satu sisi, sementara di sisi lain – dengan mengibarkan pentingnya kesehatan namun disusupi hambatan tarif (tariff barrier) dan hambatan non tarif (nontariff barrier) – industri kretek terutama yang kecil-kecil dihantam kebangkrutan.

Industri rokok kretek adalah industri yang khas Indonesia, karena mengandung salah satu rempah yang pernah mengundang VOC masuk dan memonopoli perdagangannya di Nusantara sejak awal abad ke-17, yakni serbuk cengkeh. Cikal bakal kretek dimulai pada 1880 di Kudus dan mengalami pertumbuhan penting pada permulaaan abad ke-20 yang sudah menyebar di beberapa kota.

Industrialisasi kretek dicirikan oleh sirkuit produksi (circuit of production) yang lengkap secara internal. Sebagai produk, kretek yang berada di hilir mempunyai kaitan dengan hulu, yaitu perkebunan dan pengolahan tembakau dan cengkeh. Tidak seperti kebanyakan produk pertanian lainnya lebih sebagai komoditas untuk ekspor di tangan para pengusaha Eropa di masa kolonial Hindia Belanda.

Dengan kelengkapan ini kretek tidak bergantung pada bahan baku impor. Selain itu, karena lebih mengandalkan pasar domestik, kretek juga tahan banting terhadap guncangan kriris ekonomi dunia.

Industrialisasi kretek berlangsung secara mandiri. Akumulasinya dimulai dari modal kecil-kecilan, mengumpulkan laba, dan kemudian sebagian ditanamkan kembali, sehingga mereka tumbuh sebagai industriawan baru. Mereka tidak disokong oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda, namun juga tidak dibinasakan karena dapat memanen pajak dan cukai yang cukup besar.

Industri kretek nyaris hancur ketika regim fasisme Jepang menduduki Indonesia, karena banyak perkebunan tembakau dan cengkeh kehilangan produksi demi produksi bahan pangan balatentara Jepang. Sejak usai perang mempertahankan RI, secara perlahan tapi pasti, industri kretek mampu bangkit kembali sampai meraih kejayaannya dalam dua dekade terakhir tanpa banyak bergantung pada fasilitas dan kebijakan pemerintah.

Industrialisasi kretek sudah memberikan banyak kontribusi tidak hanya bagi penerimaan negara dari pajak dan cukai, namun juga kontribusi bagi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Tahun 2013, pemerintah mematok target penerimaan cukai sebesar Rp 88,2 triliun. Sedangkan kontribusi industri ini dapat memenuhi hak untuk sekitar 600.000 pekerja. Masih ditambah lagi dengan para pekerja di bidang tembakau dan cengkeh.

Kontribusi lainnya adalah berbentuk tanggung jawab sosial (corporate social responsibity) dengan menggunakan bendera yayasan (foundation) untuk mengalokasikan dana untuk beasiswa, pelatihan guru, serta acara pendidikan lainnya. Mereka juga mensponsori banyak pagelaran musik dan olahraga. Sejumlah pebulutangkis telah memahatkan prestasi gemilang di cabangnya. Dalam arena kebudayaan lainnya, mereka mewarisi museum kretek di Kudus dan Surabaya.

Formasi industri kretek berciri oligopoli di mana terdapat delapan perusahaan besar dengan konsentrasi tinggi yang menguasai 95 persen pangsa pasar (market share). Mereka dikerumuni ratusan perusahaan menengah dan ribuan usaha kecil yang juga terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan formasi yang berciri oligopoli ini, maka kedudukan mereka sulit ditembus oleh pemain asing bermodal besar untuk memproduksi kretek yang sama sekali baru.

Namun, celah terbuka untuk menyainginya adalah dengan melakukan akuisisi lewat pasar modal sebagaimana yang dilakukan Philip Morris International Inc (PMI) dan British American Tobacco (BAT), dan menguasai saham mayoritas yang ditempuh Korea Tobacco & Ginseng (KT & G) Corporation sebanyak 60 persen. Akuisisi dan penguasaan saham mayoritas ini berlangsung setelah diadopsinya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) ke-56 pada Mei 2003.

Gencarnya kampanye antitembakau dan meningkatnya hambatan perdagangan tembakau dan produk tembakau telah mendorong pemerintah mengesahkan PP No. 109/2012 yang sebagian kandungannya bersumber dari FCTC. Semua ini menimbulkan kekhawatiran tidak hanya perusahaan-perusahaan industri kretek, namun juga petani tembakau.

Pada umumnya mereka tidak setuju dengan PP itu dengan melakukan berbagai bentuk protes kepada pemerintah. Sebelumnya PP ini diberlakukan – dengan terus menaikkan tarif cukai setiap tahun dan perizinan produksi – sudah banyak yang gulung tikar. Selain itu, impor tembakau dan rokok putih juga mengalami peningkatan. Bisa dibayangkan bila PP ini – tidak sesuai judulnya karena lebih mengatur perdagangan dan perubahan kemasan produk – diberlakukan mulai Juni 2014 mendatang.

Industri rokok kretek yang mengalami pukulan pasti berdampak ke hulu, yaitu perkebunan dan produksi maupun perdagangan tembakau dan cengkeh. Sejumlah petani cengkeh menelantarkan lahan perkebunannya, sehingga banyak pohonnya mengalami kerusakan dan terancam mati, sehingga pasokan cengkeh berkurang namun mendongkrak harganya.

Hal ini pun berdampak ke hilir, yakni meningkatnya biaya produksi kretek. Sebaliknya, ketika pemerintah melonggarkan impor tembakau dan rokok putih yang berdampak pada membesarnya volume pasokan tembakau, berdampak pada anjloknya harga tembakau. Para pemilik industri kretek dan petani tembakau mengalami kemerosotan penghasilan. Bahkan sebagian industri kretek menutup usahanya.

Kemerosotan jumlah pabrik maupun berkurangnya pendapatan rokok kretek, berdampak terhadap buruh. Kemenakertrans mengkhawatirkan potensi PHK sebanyak 500.000 buruh di berbagai perusahaan pabrik kretek. Beberapa temuan, sebagian buruh sudah “dirumahkan”, selain PHK sebagai buntut pabrik yang kesulitan menambah biaya produksi dan banyak pabrik lainnya yang tutup.

Dampak ke hulu adalah buruh perkebunan dan pengolahan tembakau dan cengkeh. Kehilangan hak atas pekerjaan berantai pula dengan kehilangan upah dan tunjangan. Padahal, dalam industri pengolahan tembakau dan cengkeh – dari hulu ke hilir – seluruhnya bekerja sekitar 6 juta orang. Angka ini masih lebih banyak dengan program pemerintah yang ambisius untuk menciptakan lapangan kerja bagi 4.731.770 orang sampai tahun 2014 dengan nilai investasi Rp 2.225 triliun.

Pemberlakuan PP No. 109/2012 itu tidak hanya bakal menambah biaya produksi, namun juga tekanan perdagangan yang semakin meningkat. Sejumlah perusahaan iklan dan berbagai media bakal kehilangan pendapatan sebesar Rp 11,9 triliun. Pemerintah daerah ikut terkena dampak berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD) dari reklame produk tembakau. Demikian pula para penyelenggara (event organizer) acara-acara seminar, pelatihan, outbond, musik dan berbagai cabang olahraga. Mereka akan menghadapi transisi dari sponsorship perusahaan rokok ke perusahaan non-rokok.

Dalam menghadapi kemungkinan risiko kehilangan pekerjaan atas banyak orang, terutama buruh-buruh yang bekerja di pabrik rokok, pemerintah – lewat Kemenakertrans – mengaku belum punya strategi mengatasinya. Sedangkan beberapa penggalan rencana pemerintah dalam melakukan konversi lahan dari tanaman tembakau ke tanaman pangan atau tanaman lainnya.

Bagi petani, persoalan ini disebabkan belum ditemukan tanaman konversi tembakau yang setidaknya menghasilkan keuntungan yang sama dengan tembakau, terutama di lahan-lahan yang hanya mungkin tanaman tembakau tumbuh. Sejumlah lahan tembakau yang telah diujicobakan dan diganti dengan tanaman lain di beberapa daerah di Madura, berakhir dengan kenyataan: selalu gagal.


Artikel ini diambil dari Buku DAMPAK PENGENDALIAN TEMBAKAU TERHADAP HAK – HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA