logo boleh merokok putih 2

Memindai UU, Antitembakau Menyusupi Regulasi

antitembakau menyusupi regulasi

Pengaruh wacana kesehatan global yang dikampanyekan kelompok antitembakau telah menyusup dalam regulasi di negara Indonesia. Kebijakan pengaturan tembakau lebih mengutamakan aspek kesehatan daripada aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Kebijakan ini justru melemahkan industri kretek.

UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

UU Kesehatan merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Ada empat pasal pengaturan tembakau yang termuat dalam undang-undang ini yakni pasal 113, 114, 115 dan 116.

Pada pasal 113 ayat 2 disebutkan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Dengan asumsi sebagai zat adiktif ini sehingga produksi, peredaran, dan penggunaan tembakau dan produk turunannya harus diatur. Istilah zat adiktif untuk tembakau dalam undang-undang ini menjadi polemik di masyarakat.

Pertama, penggolongan tembakau sebagai zat adiktif masih menjadi perdebatan. Istilah adiktif merujuk pada pengertian seseorang terobsesi secara terus-menerus, mengalami ketergantungan, setelah penghentian konsumsi seseorang akan mengalami sakau atau depresi. Sedangkan pemanfaatan produk tembakau masih bisa dihentikan dan tidak menimbulkan efek samping apalagi terjadi sakau atau depresi, sebagai contoh ketika seseorang tidak mengkonsumsi tembakau ketika sedang berpuasa atau berada di area publik.

Kedua, hanya produk tembakau dan turunannya saja yang diatur dalam undang-undang ini. UU Kesehatan mengatur pula mengenai pencantuman peringatan kesehatan dalam kemasan produk tembakau, penetapan kawasan tanpa rokok, dan mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif dalam Peraturan Pemerintah. Secara garis besar pasal-pasal pengaturan produk tembakau dalam UU Kesehatan mengekor pada kepentingan rezim kesehatan internasional yang mengkehendaki pengendalian tembakau atau jika bisa pelarangan produk tembakau.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 Tahun 2013 Tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan (Turunan UU Kesehatan)

Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan memiliki prioritas untuk melakukan aksesi peraturan FCTC dan mengadopsi semua peraturan di dalamnya. Target Roadmap Kementerian Kesehatan Tahun 2009 – 2024 sebagai berikut:

  • Kebijakan publik dan legal – aksesi FCTC dan adopsi peraturannya ke dalam kebijakan kesehatan dalam negeri.
  • Edukasi masyarakat akan bahaya merokok – penggalakan kampanye antirokok atau tembakau.
  • Perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok – penetapan KTR, peningkatan cukai rokok, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship dengan peringatan kesehatan bergambar .
  • Dukungan untuk berhenti merokok – tersedianya pelayanan dan informasi dalam sistem perawatan kesehatan yang terintegrasi dengan peraturan FCTC.
UU RI No. 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai

Cukai merupakan salah satu komponen pendapatan negara yang mempunyai peran penting bagi terlaksananya tugas negara, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, berusaha dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pungutan terhadap komoditi eksotik tembakau telah diatur sejak zaman kolonial dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932.

Setelah era kemerdekaan pungutan atas cukai tembakau tetap dilanjutkan sebagai bagian penguatan keuangan negara seperti diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1947. Dalam peraturan perundangundangan terakhir, UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, pungutan cukai tembakau dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu.

Dari peraturan tentang cukai hasil tembakau tersebut telah terjadi pergeseran alasan pemungutan yang awalnya untuk penguatan keuangan negara, kemudian bertujuan sebagai sarana pembatasan peredaran dan pemakaiannya. Pengakomodiran dampak kesehatan tampak kuat dalam UU No. 39 Tahun 2007, sehingga memberi peluang peningkatan tarif cukai terjadi setiap tahun. Penetapan tarif yang semakin tinggi setiap tahunnya ini mengusung misi yang selaras dengan ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Pertimbangan syarat pajak seperti pemungutan harus adil dan tidak mengganggu perekonomian justru dikesampingkan. Hal ini berimbas pada semakin berkurangnya perusahaan rokok di Indonesia, terutama industri kecil dan menengah. UU Cukai juga menganatkan penerimaan negara dari hasil cukai tembakau dibagikan kepada provinsi penghasil sebesar 2 persen. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau implementasinya terhadang berbagai permasalahan karena kesimpangsiuran peraturan.

Peraturan Turunan UU Cukai Permenkeu Nomor 200/PMK.04/2008

Peraturan tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusahaan Barang Bea Cukai untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau ini memberlakukan ketentuan yang sangat berat bagi industri kecil dan menengah, terutama mengenai lokasi, bangunan, atau tempat usaha.

Pasal 3 ayat 3 mengatur sebagai berikut: (1) tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman atau tempat-tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin; (2) tidak berhubungan langsung dengan tempat tinggal; (3) berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum; (4) memiliki luas bangunan paling sedikit 200 (dua ratus) meter persegi.

Peraturan ini telah membuat industri kecil dan menengah pengelolaan tembakau banyak yang kolaps, terutama pengusahaan kretek. Di Jawa Timur saja, dari sebelumnya ada 1.100 perusahaan rokok tercatat hanya 563 perusahaan yang mampu bertahan sejak peraturan ini diberlakukan.

Peraturan UU Cukai Permenkeu Nomor 191/PMK.04/2010

Dalam peraturan tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 Tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusahaan Barang Kea Cukai untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau memuat perubahan pada pasal 21 dan 22. Peraturan ini memuat ketentuan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa terkait langsung maupun tidak langsung dalam manajemen dan teknologi akan dikenakan tarif cukai menurut golongan perusahaan induk.

Peraturan ini secara langsung menambah beban bagi industri kecil dan menengah karena tidak bisa melakukan kerjasama produksi dengan perusahaan yang lebih besar. Industri kecil dan menengah yang membutuhkan penyesuaian waktu dengan peningkatan tarif cukai yang terjadi tiap tahun, akhirnya terkena imbas dan menambah daftar panjang perusahaan kretek yang gulung tikar.

Peraturan Turunan UU Cukai Permenkeu No.78/MK.011/2013

Peraturan tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan Keterikatan mulai diberlakukan pada 10 Juni 2013 juga memberikan tekanan tambahan bagi industri kecil dan menengah. Peraturan ini menyebutkan pengusaha yang memiliki hubungan keterikatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 poin (d), pengusaha yang memiliki hubungan keluarga sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping dua derajat akan dikenakan tarif lebih tinggi.

Pemberlakuan peraturan ini diskriminatif karena industri rokok kretek di indonesia berbasis keluarga, kalau diterapkan pengusaha rokok kretek jelas mati. Peraturan ini juga bertentangan dengan UUD 1945, dan praktik ekonomi yang dilakukan masyarakat Indonesia yang umumnya berbasis kekeluargaan.

Peraturan Turunan UU Cukai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau merupakan implementasi dari ketentuan UU Cukai. Dana sebesar 2 persen dari Cukai Hasil Tembakau dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Dengan proposi pembagian DBH-CHT 30 persen untuk propinsi, 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen untuk daerah lainnya.

Tahapan implementasi program DBH-CHT diatur dalam PMK 84/2008 dan PMK 20/2009. Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Berdikari tahun 2013, Ironi Cukai Tembakau, pelaksanaan kegiatan DBH-CHT terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaan di tingkat daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. DBH-CHT di tingkat daerah ini ternyata menjadi sarana rezim kesehatan untuk memperlemah produsen tembakau dan hasil tembakau. Padahal produsen tembakau dan hasil cukai tembakau yang menjadi alasan bagi keberadaan DBH-CHT dan Cukai Hasil Tembakau. Temuan ini terjadi di semua daerah yang menjadi obyek penelitian, lebih dari 50 persen dari DBH-CHT di daerah digunakan kegiatan pembinaan lingkungan sosial.

UU RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menambahkan komponen pajak rokok sebesar 10 persen atas produk tembakau. Ketentuan yang berlaku mulai 1 Januari 2014 merupakan adopsi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang salah satu klausulnya mewajibkan pengenaan pajak dan harga produk tembakau setinggi-tingginya. Pendapatan negara otomatis mengalami peningkatan dengan diterapkan pajak rokok.

Dengan tambahan tarif pajak rokok sebesar 10 persen maka perkiraan pendapatan negara melalui Industri Hasil Tembakau (belum termasuk PPh) akan mencapai angka Rp 121 triliun pada 2014, dengan perhitungan target penerimaan cukai tahun ini sebesar 110 triliun dan beban pajak rokok sekitar Rp 11 triliun. Pengenaan tarif pajak ini membuat produk tembakau terkena beban pajak ganda. Sebab, sebelumnya telah dipungut atas cukai hasil tembakau.

Beban makin berat harus ditanggung industri rokok nasional, dan secara teoritis kebijakan tarif yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, memungkinkan kolapsnya industri rokok nasional karena beban yang harus ditanggung telah melebihi kesanggupan. Berdasarkan data GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), kematian industri kretek sejak 2009 telah mengakibatkan 3.900 unit pabrik kecil gulung tikar diikuti berkurangnya lapangan kerja mencapai 195.000 tenaga kerja, dengan asumsi 1 pabrik kecil hanya menyerap 25 tenaga kerja.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Moddie Alvianto Wicaksono

Moddie Alvianto Wicaksono

Analis di RKI. Tinggal di Yogyakarta.