aroma cengkeh tanah minahasa
PERTANIANREVIEW

Aroma Cengkeh Tanah Minahasa

Aroma cengkeh tanah Minahasa semerbak mewangi, sewangi kesejahteraan masyarakatnya.

Geografi dan Demografi Minahasa

Terletak hanya beberapa kilometer ke arah selatan Kota Manado, ibukota Propinsi Sulawesi Utara (lihat peta di halaman berikutnya), wilayah Kabupaten Minahasa –seluas 1.029,82 km²– sebagian besarnya adalah kawasan dataran tinggi. Di kelilingi oleh jajaran pegunungan dengan tiga puncak berapi yang masih aktif sampai sekarang –yakni Gunung Soputan, Lokon, dan Klabat– daerah ini merupakan salah satu daerah pertanian tersubur di Indonesia.

Selama ratusan tahun, debu vulkanik dari gunung-gunung berapi tersebut telah membentuk lapisan permukaan tanah yang sangat tebal dan gembur. Perpaduan antara dataran tinggi berhutan lebat dan berhawa sejuk, dihiasi oleh puluhan telaga dan danau besar (antara lain, Danau Tondano), sungai-sungai bening, kebun-kebun kelapa dan cengkeh sejauh mata memandang, hamparan sawah-sawah bertingkat maupun datar, serta wilayah pesisir pantai yang masih berada dalam kawasan ‘Segitiga Terumbu Karang Dunia’ (World’s Coral-reefs Triangle –dimana Taman Nasional Laut Bunaken terletak), maka Minahasa juga menjadi salah satu daerah tujuan utama wisata paling sohor di Indonesia.

Sampai tahun 2021, jumlah penduduk Kabupaten Minahasa adalah 301.857 jiwa, tersebar di 19 kecamatan, 194 desa dan 43 kelurahan. Tingkat kepadatan penduduknya adalah 273 orang per km2. Sebagian besar mereka adalah petani, dari kelompok etnis mayoritas Minahasa dan umumnya beragama Kristen.

Kesejahteraan Sosial

Sebagai bagian dari Propinsi Sulawesi Utara yang menduduki peringkat kedua –setelah Jakarta– dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nya secara nasional (tertinggi kedua dari 33 propinsi)– Kabupaten Minahasa juga tercatat sebagai salah satu kabupaten dengan IPM pada peringkat papan-atas di Sulawesi Utara.

Untuk tingkat propinsi, IPM Minahasa menduduki peringkat keempat setelah Kota Manado, Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa Utara. Secara nasional, Kabupaten Minahasa berada pada peringkat 66 dari 497 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, berarti masih tetap berada di papan-atas sebagai salah satu kabupaten dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang nisbi lebih baik.

Beberapa indikator utama IPM di Minahasa memang memperlihatkan nilai yang cukup baik. Usia harapan hidup rerata di kabupaten ini adalah 72,1 tahun, sama dengan rerata usia harapan hidup untuk seluruh propinsi. Angka melek-huruf nya mencapai 99,52%, sedikit lebih baik dari angka rerata untuk seluruh propinsi (99,31%), sementara angka rerata lama bersekolah penduduknya adalah 8,8 tahun yang juga sama dengan angka untuk seluruh propinsi. Demikian pula dengan tingkat pendapatan per kapita per bulan, sebesar rerata Rp 619,7 ribu, hanya sedikit di bawah angka rerata untuk keseluruhan propinsi Sulawesi Utara (Rp 625,5 ribu).

Dibanding banyak daerah lain di Indonesia, termasuk beberapa kabupaten atau kota tetangganya di Sulawesi Utara, maka Minahasa mencatat kemajuan yang cukup berarti dalam pengurangan angka kemiskinan penduduknya. Terlihat kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin kabupaten ini tersisa hanya sekitar 12%, sementara tingkat pengangguran terbuka sekitar 10,49%.

Pemerintah daerah terus mengupayakan mengurangi jumlah penduduk miskin dan pengangguran terbuka ini sebesar rerata 2% per tahun, sehingga pada akhir tahun 2010 nanti, jumlah penduduk miskin diproyeksikan hanya sekitar 10%, sementara angka pengangguran terbuka diproyeksikan menjadi hanya 9,7%. Sesuai dengan sasaran pencapaian nasional dan internasional –berdasarkan ‘Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals, MDGs)– pada tahun 2015, pemerintah daerah Kabupaten Minahasa sangat optimis dapat mencapai sasaran pengurangan kemiskinan dan pengangguran warganya pada angka di bawah dua digit, yakni antara 6 – 7% saja (BPS Minahasa, 2009).

Cengkeh Minahasa

cengkeh minahasa indonesia

Selain padi sawah dan ladang, coklat (Theobrama cacao), kopi –terutama jenis robusta (Coffea canephora), vanili (Vanilla planifolia), jambu mete (Anacardium occidentale), lada (Piper sp), aren (Phoenix sylvestris) dan pala (Myristica fragrans), tanaman pertanian utama Kabupaten Minahasa terutama adalah kelapa (Cocos nucifera) dan cengkeh (Eugenia aromatica), dua tanaman yang bahkan sudah ‘identik’ dengan daerah ini. Minahasa –dan Sulawesi Utara pada umumnya– adalah penghasil kopra terbesar di Indonesia sejak dahulu kala yang belum tertandingi oleh daerah lain manapun. Selama sekitar tiga dasawarsa terakhir, daerah ini malah mencatat rekor baru sebagai penghasil cengkeh terbesar secara nasional, melampaui Kepulauan Maluku sebagai daerah asal tanaman rempah legendaris tersebut.

Sejarah

Cengkeh bukanlah tanaman asli Minahasa. Tanaman ini berasal dari Kepulauan Maluku, gugusan pulaupulau kecil di lepas pantai sebelah timurnya. Adalah pemerintah kolonial Belanda yang mendatangkan tanaman ini ke Minahasa pada awal abad-19, masa dimana kejayaan rempahrempah Maluku –terutama cengkeh dan pala– justru mulai meredup. Benih cengkeh itu didatangkan dari Pulau Ternate, hanya beberapa puluh mil laut di sebelah timur jazirah Sulawesi Utara. Tetapi, cengkeh yang sekarang banyak dibudidayakan oleh para petani di Minahasa adalah jenis hasil persilangan antara cengkeh ‘Cikotok’ asli Ternate tersebut dengan cengkah asal Madagaskar.

Pertengahan abad-19, perdagangan cengkeh di Indonesia telah sepi, bahkan nyaris mati sama sekali. Hal ini disebabkan menurunnya secara drastis permintaan akan cengkeh di dunia internasional. Pulau-pulau penghasil cengkeh di Maluku menjadi kehilangan daya tarik. Tahun 1830, setelah Serikat Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) bangkrut, pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kendali atas seluruh wilayah jajahan nusantara dan mulai menerapkan sistem ‘tanam paksa’ (cultuurstelsel). Roderick C.Wahr mencatat bahwa pada tahun 1850an, kopi lah yang menjadi tanaman pertama yang dipaksakan secara massal untuk ditanam dan kemudian dibeli dari petani di Minahasa dengan harga yang sangat murah.

Tetapi, roda perekonomian Minahasa yang berbasis cengkeh sebenarnya baru bangkit kembali setelah kretek mulai diproduksi di Pulau Jawa awal abad-20. Namun, masa kebangkitan itu sempat pula terhenti selama beberapa tahun, yakni ketika pemberontakan bersenjata oleh PERMESTA (Perjuangan Semesta) berlangsung pada tahun 1957–1961. Pemberontakan bergerilya di kawasan pedalaman Sulawesi Utara itu memakasa ribuan petani cengkeh setempat meninggalkan desa-desa dan menerlantarkan kebun-kebun cengkeh mereka. Pembiaran itu menyebabkan hama cengkeh –terutama jenis ulat pengebor batang– menjadi tak terkendali dan sulit diatasi. Pengaruhnya pun masih dirasakan hingga kini.

Kebangkitan kedua perekonomian cengkeh di Minahasa berlangsung setelah pemberontakan PERMESTA berakhir, pada dasawarsa 1960- 1980an. Pada masa itulah Minahasa menjadi sangat terkenal sebagai salah satu daerah penghasil cengkeh terbesar di Indonesia. Satu pameo populer beredar luas di seluruh negeri bahwa “…pada saat panen raya cengkeh setiap tahun, orang Minahasa naik pesawat ke Jakarta hanya untuk bercukur”; atau “…mereka bahkan memborong ratusan kerat minuman bir hanya untuk cuci-muka”!

Tetapi, sekali lagi, kejayaan cengkeh itu terganggu oleh kebijakan baru pemerintah Indonesia untuk mengendalikan produksi dan pemasaran cengkeh nasional –pada awal dasawarsa 1990an– melalui Badan Pengendalian & Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin langsung oleh Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Presiden Soeharto. Kebijakan itu –yang sebenarnya sama saja dengan kebijakan ‘Hongie Tochten’ (pemusnahan besar-besaran tanaman cengkeh rakyat di luar Pulau Ambon, demi menjaga monopoli produksi dan perdagangannya) oleh VOC pada abad-18– akhirnya berakhir pula, seiring dengan kejatuhan rezim diktator militer Soeharto pada tahun 1998.

Maka, kebangkitan ketiga perekonomian cengkeh di Minahasa mulai terjadi pada awal abad-21 saat ini. Meskipun belum mencapai puncak kejayaan seperti yang pernah dialaminya pada masa kebangkitan pertama dan kedua dahulu, namun perekonomian cengkeh di Minahasa saat ini mulai merebut kembali kedudukannya sebagai salah satu penyumbang terbesar terhadap pendapatan pemerintah daerah maupun kesejahteraan warga setempat.

Produksi

Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Utara menyebutkan bahwa, pada tahun 2008, luas lahan tanaman cengkeh di Kabupaten Minahasa adalah 23.138,25 hektar –terluas di seluruh propinsi ini– yang bahkan sudah melampaui luas lahan tanaman kelapa seluas 17.931,60 hektar dan aren seluas 785,50 hektar –dua tanaman tradisional yang sebelumnya, selama ratusan tahun, pernah menjadi icon Minahasa. Dari seluruh luas lahan perkebunan cengkeh tersebut, tercatat 66,36% (15.355,50 hektar) telah berproduksi; 22,07% (5.107,00 hektar) belum berproduksi; dan 11,56% (2.675,75 hektar) sudah tidak berproduksi yang memerlukan peremajaan tanaman. Keseluruhan lahan cengkeh tersebut tersebar di 15 dari 19 kecamatan. Kecamatan Kombi tercatat sebagai wilayah dengan luas lahan terbesar (3.424 hektar) dan menjadi penghasil cengkeh utama dan terbesar di seluruh Minahasa. Kecamatan Langowan Utara yang memiliki lahan cengkeh paling kecil (hanya 5,0 hektar), sementara 4 kecamatan lainnya (Remboken, Langowan Barat, Langowan Timur, dan Tompaso) sama sekali tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan cengkeh.

Sampai tahun 2008. seluruh lahan cengkeh di Minahasa itu menghasilkan 18.742 ton cengkeh kering dengan tingkat produktivitas rerata 0,82 ton kering per hektar. Tentu saja, sebagai wilayah dengan luas lahan terbesar, Kecamatan Kombi mencatat angka produksi tertinggi pula (4.000 ton), sementara yang terendah adalah Tondano Barat (hanya 37 ton). Meskipun demikian, Kecamatan Tondano Timur, Kawangkoan, Tondano Barat, Lembean Timur, dan Pineleng yang mencatat tingkat produktivitas tertinggi per hektar lahan (masing-masing 1,15; 0,99; 0,95 dan 0,94 ton).

Total produksi cengkeh Minahasa tersebut memang masih terlampaui oleh produksi kelapa –sebagai tanaman asli dan tradisional daerah ini sejak dahulu kala– yang mencapai 229.613 ton, namun terdapat kenaikan sangat siginifikan sebesar 111,5% dari produksi tahun 2006 (8.861 ton). Bandingkan dengan produksi kelapa yang justru melorot 6,76% dari tahun 2006 (246.262 ton). Ini berarti bahwa secara perlahan cengkeh mulai mengambil alih kedudukan kelapa sebagai tanaman perkebunan utama di Minahasa.

Harga Pasar

Sama seperti tembakau di Temanggung –juga umumnya tanaman perkebunan lainnya– harga cengkeh Minahasa juga bergerak turun-naik. Seperti juga halnya semua hasil pertanian, permintaan pasar memang merupakan penentu utama harga. Tetapi, sebagai komoditi perdagangan yang sangat strategis –seperti halnya beras– kebijakan pemerintah juga sangat berperan menentukan harga pasar cengkeh.

Menggerakkan Perekonomian Lokal

Meskipun harga cengkeh bergerak turun-naik sedemikian tajam pada masa tertentu, bahkan kini cenderung terus menurun perlahan, namun usaha pertanian rakyat ini berperan vital menjalankan roda perekonomian Minahasa secara keseluruhan. Hal ini, antara lain, dapat diperkirakan dalam besarnya perputaran uang tunai yang diakibatkannya. Menggunakan data produksi dan harga saat ini sebagai basis perhitungan, maka dapat diperkirakan jumlah uang tunai yang beredar di Minahasa adalah sekitar Rp 300 – 600 miliar pada setiap musim panen sekali setahun. Jumlah tersebut bertambah dua sampai empat kali lipat pada musim panen raya –rerata sekali dalam 2 atau 3 tahun– mencapai sekitar Rp 1,32 triliun!

Menyumbang Pendapatan Daerah

Terutama pada masa harga membaik atau, paling tidak, tetap wajar, pertanian cengkeh di Minahasa juga memberi sumbangan cukup besar bagi pendapatan pemerintah daerah setempat.

Sayangnya, tidak diperoleh data rinci tentang hal ini, kecuali data umum saja tentang sumbangan sub-sektor perkebunan secara keseluruhan terhadap PDRB Kabupaten Minahasa. Antara tahun 2005 sampai 2008, tercatat sumbangan sub-sektor perkebunan –atas dasar harga berlaku– terhadap PDRB Minahasa terus menaik, meskipun tingkat atau laju kenaikannya tidak terlalu besar, rerata 7-9% saja per tahun. Namun, jumlah mutlaknya cukup besar, mulai dari Rp 126,32 miliar pada tahun 2005 sampai mencapai Rp 161,15 miliar pada tahun 2008. Jumlah pada tahun terakhir (2008) tersebut adalah 4,92% terhadap total PDRB Kabupaten Minahasa (Rp 3,27 triliun) dari seluruh sektor.

Meskipun nisbi kecil, namun jumlah ini juga mampu melampaui beberapa sektor lain, seperti listrik, gas dan air bersih (hanya 1,02% atau Rp 33,41 miliar). Sebagai bagian dari sektor pertanian yang masih tetap merupakan penyumbang terbesar (22,24% atau Rp 728,30 miliar), maka sub-sektor perkebunan pada dasarnya tetap merupakan penyumbang substansial terhadap PDRB Minahasa. Karena cengkeh adalah tanaman perkebunan utama di daerah ini –bahkan sebagai penghasil cengkeh terbesar di seluruh Propinsi Sulawesi Utara– maka sebenarnya sumbangan substansial dan siginifikan subsektor perkebunan tersebut, pada dasarnya, berasal dari pertanian cengkeh.

Menyerap Tenaga Kerja

Pertanian cengkeh di Minahasa juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Meskipun juga tidak tersedia data rinci tentang hal ini, yang jelas ada ribuan orang petani terlibat di dalamnya. Mereka inilah tenaga kerja langsung di dalam pertanian cengkeh Minahasa. Selain keluarga petani cengkeh itu sendiri, tenaga kerja lainnya yang terserap langsung ke dalam usaha pertanian cengkeh adalah para pekerja bukan petani atau pemilik lahan cengkeh. Secara rinci, jenis-jenis pekerjaan dalam usaha pertanian cengkeh di Minahasa adalah sebagai berikut:

cengkeh minahasa menyerap tenaga kerja

Maka jumlah seluruh tenaga kerja yang terlibat pada musim panen cengkah dapat dihitung berdasarkan kebutuhan para pemilik lahan terhadap setiap jenis pekerjaan tersebut. Meski hanya berlangsung sekitar 3 hingga 4 minggu efektif sekali musim, namun panen –apalagi jika panen raya–merupakan ritus kolosal yang melibatkan hingga lebih dari 100.000 pekerja.

Ini belum termasuk keterlibatan anggota keluarga mereka. Tak ayal, jumlah keseluruhannya bisa mencapai ‘fantastik’! Karena mendatangkan sebagian para pekerja itu dari kabupaten lain –bahkan dari daerah Toli-toli, Sulawesi Tengah, yang ratusan kilometer jaraknya ke arah selatanbarat dari Minahasa– jumlah seluruh tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan panen raya cengkeh malah bisa lebih banyak dari jumlah seluruh penduduk Kabupaten Minahasa sendiri.


Selanjutnya Asap Kretek di Kudus


Tulisan ini ditulis oleh Wahyu W.Basjir dan diambil dari bukukretek.comKretek Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota