Site icon Boleh Merokok

Cukai Rokok Naik: Kematian Industri Hasil Tembakau Semakin Dekat

kematian industri hasil tembakau

Kematian industi hasil tembakau kelak akan banyak disumbang oleh pemerintah. Dengan peraturan yang mencekik. Dengan cukai rokok yang terus naik.

Tahun 2022 dipastikan cukai naik, setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kenaikan cukai beberapa minggu kemarin. Rata-rata naiknya cukai di angka 12 persen, tak luput sigaret kretek tangan (SKT) industri padat karya pun dinaikkan di angka 4.5 persen. 

Semua atas arahan Presiden, kata Sri Mulyani. Ya iya lah Bu, Anda kan Menterinya, pasti sebelumnya memberikan laporan ke Presiden. Kemudian Presiden membuat keputusan berdasar laporan Bu Menteri. Jadi begitulah sewajarnya. 

Beda, kalau Bu Menteri lapor sama Presiden Sentilan Sentilun Butet atau Presiden Jancuk Sujiwo Tejo, kemungkinan jadinya gak boleh dinaikkan justru malah diturunin. Mereka berdua betul-betul paham kondisi perokok, kondisi petani bahkan sampai kondisi buruh.  

Oh ya hampir kelupaan, kemarin kan emang Bu Sri pergi ke negeri paman Sam, beritanya si melakukan kerjasama. Di sana pula menemui salah satu orang terkaya Bloomberg. Dan konon Bu Sri itu juga telah melakukan kerjasama dengan WHO untuk pembangunan bangsa Indonesia ke depan. 

Salah satu output lawatan dan kerjasama Bu Sri tak lain mengeluarkan kebijakan kenaikan cukai, dan itu tidak bisa ditawar lagi. Tau sendiri lah Bloomberg itu siapa? Orang kaya yang ingin membasmi rokok kretek Indonesia. Ia pelan dan pasti akan mengambil alih dan menguasai perdagangan nikotin melalui industri farmasi. 

Kenaikan pita cukai yang ditargetkan akan terjadi tiap tahun merupakan agenda mereka. Sebagai langkah awal untuk mematikan industri rokok Indonesia. Tak heran walaupun isu kenaikan cukai diprotes petani dan buruh hingga turun ke jalan bahkan dengan membawa segepok tanda tangan penolakan, tetap saja Bu Sri tidak ambil pusing. 

Dari pelosok desa sentra pertembakauan, mereka rela datang ke Jakarta dengan biaya sendiri untuk mengadu pada pemerintah terkait dampak kenaikan cukai pengalaman sebelumnya, tidak dipedulikan. Tapi mungkin sedikit jadi pertimbangan, namun kandas dalam rapat koordinasi antar Kementerian. Susah payah dan keringat para petani dan buruh tak dihiraukan.   

Bu Sri lebih mengedepankan kerjasama dan pertemanannya dengan orang terkaya paman sam. Bu Sri lebih mendengar rezim kesehatan dan anti rokok. Bahkan Bu Sri telah berhasil mempengaruhi Pak Presiden Jokowi. Hasilnya, terjadi kenaikan pita cukai di semua golongan. Tak terkecuali golongan yang padat karya. 

Jika Bu Sri bilang terjadi perbedaan kenaikan di tiap golongan dan golongan yang padat karya hanya naik 4.5 sebagai tindakan keberpihakan pemerintah terhadap industri padat karya itu, percayalah hanya strategi politik dan omong kosong doang.

Karena kenaikan cukai saat ini satu indikator yang paling efektif dan jitu mematikan sektor pertembakauan di Indonesia. Dibungkus dalam frame menaikkan pendapatan penerimaan APBN setelah pemerintah mengalami kesulitan masa pandemi.

Stakeholder pertembakauan dan perokok adalah orang minoritas yang selalu tertindas oleh kebijakan dan kepentingan asing. Ke depan jangan harap perokok menikmati rokok sesuai selera. 

Perokok terpaksa menerima kenyataan harus berpikir kembali saat mau merokok. Rokok apa yang cocok sesuai kantong dan pendapatannya. Ia pasti tidak akan memaksakan merokok sesuai selera awal dengan harga tinggi akibat naiknya cukai. 

Perokok akan banyak memilih rokok harga murah dan terjangkau, sekalipun ilegal. Bisa jadi memilih melinting sendiri yang penting bisa merokok. Bagi perokok, aktivitas merokok itu relaksasi dan rekreasi paling murah dibanding dengan aktivitas lain. Bahkan ada juga yang merokok sudah menjadi budaya meningkatkan kreatifitas.

Jika yang terjadi demikian, rokok ilegal marak di pasaran. Pabrikan rokok pelan dan pasti akan merugi. Saat pabrikan merugi efek domino dampaknya meluas sampai petani dan buruh. Tak berhenti disitu, sektor yang bersinggungan langsung dengan keberadaan pabrikan rokok pasti omsetnya menurun. 

Keterserapan tembakau dan cengkeh petani berkurang, PHK buruh bisa terjadi sepihak. Ini bukan salah pabrikan, pemerintahlah yang salah dengan kebijakannya. Jadi yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah pemerintah. 

Dalam rumus matematika, tidak ada usaha yang mau terus merugi. Ternyata pemerintah pun tidak mau merugi, apalagi pengusaha. Pilihan terakhir kebijakan pabrikan rokok pasti perampingan pengeluaran anggaran bahkan bisa jadi mending ditutup sekalian.

Bagi pengusaha atau pabrikan rokok relatif masih aman saat industrinya tutup. Mereka minimal masih punya modal dan bekal untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Beda bagi petani tembakau, cengkeh dan buruh rokok, mereka pasti akan kebingungan. 

Hasil pertaniannya mau dijual kemana, walaupun terjual apakah harganya sebagus pembelian pabrikan rokok. Buruh Pun demikian, akan bekerja di mana, walaupun dapat kerja apakah gajinya senilai gaji yang biasa diterima saat di pabrikan rokok. Dengan kemampuan skill yang dimiliki dan umur, siapa yang mau menerimanya kerja. Sedangkan saat ini cari pekerjaan sangat sulit. Kalaupun mau usaha, usaha apa? dengan tanpa modal atau modal minim.    

Akan tetapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Pemerintah terlebih Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap menaikkan tarif cukai. Jadi gambaran kesengsaraan stakeholder pertembakauan di atas tinggal menunggu waktunya. 

Dalam hal kenaikan cukai, pemerintah tidak memperdulikan nasib perokok, petani dan buruh rokok, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan Sri Mulyani lebih mengedepankan keuntungan pendapatan semata. 

Ke depan Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas nasib sektor pertembakauan dampak dari kebijakannya. Industri jangan disalahkan jika lepas tangan. Karena semangat kenaikan cukai adalah membunuh industri rokok Indonesia. Rezim kesehatan dan anti rokok jangan asal usul kalau tak punya solusi, jangan asal usil dengan saudara sendiri. 

Kenaikan cukai adalah bentuk ketidakadilan kebijakan pemerintah terhadap stakeholder pertembakauan di Indonesia. Jangan salahkan jika terjadi ketidakpercayaan masyarakat pertembakauan terhadap pemerintah. Jika tertindas terus menerus, bisa jadi ada gerakan masif entah apa bentuknya yang bisa melemahkan eksistensi pemerintah.

Exit mobile version