djarum super ibu persit tni
PabrikanREVIEWUncategorized

Djarum Super di Jari Persit Kartika Chandra Kirana

Ini adalah artikel yang sangat sentimentil. Ditulis oleh seorang anak Komandan dan Ibu Persit yang keduanya menggemari mengisap kretek. Sang Ayah mengisap Sampoerna sementara Sang Ibu mengisap Djarum Super kebanggaan masyarakat Jawa Tengah.


Dalam ingatan saya yang tumbuh dan besar di era 80 akhir hingga 90 awal, kedua orang tua saya adalah perokok berat, yang menghabiskan kurang lebih 1 bungkus rokok dalam 2 hari. Berarti rata-rata mereka menghisap 6-8 batang dalam sehari. Bagi saya itu sudah masuk kategori ahli hisap level profesional.

Bapak adalah perokok Sampoerna Merah (saya lupa, dulu nama Sampoerna Merah ini apa), Filtra, dan sesekali saya lihat dia merokok Bentoel Biru. Sementara Ibu saya adalah perokok Djarum Super isi 12. Dan wajib beli isi 12. Kalau orang rumah atau ART tidak sengaja membelikannya yang isi 16, maka rokok itu hanya akan diberikan kepada supir atau siapapun yang merokok di rumah.

Rumah kami di kota Palu saat itu berisikan belasan orang perantauan dari Medan. Itu karena Bapak dan Ibu berdarah Batak asli. Sejak remaja mereka merantau keluar Medan hingga akhirnya bertemu di sebuah rumah sakit karena Ibu saya seorang perawat, dan Bapak saya seorang tentara yang kebetulan dirawat di rumah sakit itu. Romantis sekali.

Karena alasan merantau itu pula mungkin mereka berempati terhadap perantauan orang Batak yang datang ke Palu, lalu “menampung” mereka sementara di rumah kami. Bapak seorang TNI berpangkat Kolonel saat itu, menjabat sebagai Komandan Korem, dan terbilang sudah cukup berada.

Nyaris setiap malam kalau saya terbangun tengah malam, saya mengintip dari kaca nako kamar saya, Bapak dan Ibu sedang duduk di meja makan besar kami sambil menghisap rokok. Mereka biasanya mengobrol sekitar jam 11 malam. Saya sering menguping pembicaraan keduanya walau tidak semuanya terdengar jelas. Hal-hal sepele mulai dari urusan dapur, kedua kakak saya yang sekolah di Jawa, orang rumah yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah merantau ke Palu. Dsb.

Bapak dengan kaos singlet putih dan sarung duduk bersandar di kursi danĀ  selonjoran kaki menggunakan sebuah kursi lagi. Ibu saya layaknya emak-emak menggunakan daster duduk menghadap bapak sambil ngebul jauh lebih fasih daripada bapak. Di tengah meja ada 1 cangkir stainless berukuran sedang yang kadang berisi kopi hitam atau kopi susu. Mereka berdua penyuka kopi dan dengan takaran kental. Dulu saya seringkali mencicipinya. Segelas kopi susu itu akan mereka nikmati bersama hingga habis lalu kembali ke kamar untuk istirahat.

djarum super persit

Momen seperti itu jarang terjadi kalau siang hari. Bapak sibuk di kantor, sementara Ibu sibuk dengan urusan rumah dan Dharma Wanita, atau Ibu-ibu Persit Kartika Chandra Kirana. Di ruangan kantor Bapak selalu tersedia asbak besar di meja tamu, dan asbak kecil di meja kerjanya. Di sebelah asbak kecil itu menumpuk Sampoerna Merah dan Filtra plus 2 buah korek api. 1 korek gas dan 1 korek api kayu. Entah apa alasannya ada 2 korek tadi, tapi saya jamin saat itu bebas dari curanrek. Korek Komandan mau diambil bisa panjang urusan.

Sementara Ibu adalah istri Komandan yang kemana-mana selalu membawa sebungkus Djarsup di dalam tas kantornya yang berwarna hitam. Kadang kalau lagi ada di samping kantor entah di ruang serba guna atau kantin, Ibu selalu nyebats sambil ngobrol dengan Ibu-ibu tentara yang lain. Saat nyebats, Ibu selalu meminta saya menjauh, mengizinkan saya bermain di sekitarnya entah dengan orang Korem atau Anak-anak yang lain yang ada saat itu. Matanya tidak pernah lepas dari saya kalau saya bermain di sekitarnya, menunggu dia selesai nyebats. Mulutnya komat-kamit ngerumpi, sementara matanya tajam memperhatikan saya.

Tidak hanya Ibu, Saudara-saudara perempuannya pun hampir semuanya merokok. Ibu anak bungsu dari 9 bersaudara. Ada 4 orang Kakak dan 1 Abangnya yang merokok, salah satu tante saya malah pecinta Gudang Garam Merah garis keras. Tiap bertemu, saya seringkali melihat dia selalu sedia 1 slop Gurame di dalam kopernya tiap kali dia keluar dari kota Siantar untuk kumpul keluarga bersama kami, entah saat kumpul keluarga besar di Bandung, atau saat datang ke rumah kami di Palu.

Ibu pula yang pertama kali mengajak saya bicara tentang rokok dan tanggung jawab. Itu karena saya ketahuan sering mengambil puntung rokok bekas Ibu dari dalam asbak. Dengan sorot mata tajam dan sebuah senyum tipis, Ibu meminta saya dengan baik agar tidak melakukan perbuatan itu, ada waktunya saya akan merokok, Ibu berjanji akan mengijinkan saya merokok saat saya lulus SMP. Titik. Tidak banyak omong. Larangan sederhana seperti itu membekas di pikiran saya.

Saya mengiyakan saran Ibu sambil menunggu waktunya saya bisa merokok.

Dari orang-orang yang tinggal di rumah pula saya mendengarkan bagaimana Bapak saya amat sangat marah kepada Abang saya saat ketahuan merokok. Itu terjadi saat Abang saya duduk di bangku SMA. Dia kemudian “dihukum” mencuci mobil, menyapu dan mengepel rumah setiap hari selama 2 minggu dan wajib mengantarkan rantang makan siang naik sepeda ke kantor Bapak. Entah bagaimana caranya dia ijin dari sekolahnya, tiap jam makan siang rantang sudah harus sampai.

Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa hukuman yang dialami Abang saya bisa saja terjadi kalau Ibu tidak memperingatkan saya. Walaupun saya anak bungsu, bagi Bapak, perlakuan harus sama terhadap anak-anaknya. Tanpa alasan bertele-tele pula Bapak tidak pernah mengijinkan anaknya merokok sebelum dewasa (menurutnya). Saya ingat, semasa Abang saya SMA, Bapak hanya berkata; setelah lulus SMA, kau mau merokok sampai 1 truk aku tidak peduli. Karena itu waktunya kau memikul tanggung jawab lebih besar dari sebelumnya, sekaligus kau sudah memiliki jalan hidup yang lebih matang.

djarum super

Sepanjang ingatan saya itu pula, diam-diam saya memikirkan bagaimana saya akhirnya menaruh cinta saya kepada Djarum Super. Apakah karena kenangan soal Ibu?. Menghisap Djarum Super rasanya mengingat lagi ingatan manis semasa saya kecil, saat Ibu saya masih hidup. Seandainya saat ini Sampoerna Merah dan Bentoel Biru atau Filtra masih ada, mungkin sesekali saya akan menghisap rokok itu untuk menambah kenangan saya kepada Bapak. Yah, walaupun saya lebih dekat kepada Ibu dibandingkan Bapak.

Kedua orang tua saya adalah orang yang ringkas. Tidak suka basa-basi jika ingin menyampaikan sesuatu. Salah satunya nasihat soal merokok tadi. Mereka paham bagaimana menemukan celah yang tepat untuk berbicara dan harus disampaikan dengan cara seperti apa.

Di tahun-tahun itu pula, saya melihat orang-orang di sekitar saya begitu bahagia menjalani hidup tanpa harus terpengaruh oleh banyak disinformasi. Lingkungan perokok, tidak otomatis saya menjadi perokok anak. Tidak mendengar berita-berita miring, atau larangan keras untuk tidak merokok.

Rasanya semua berjalan biasa saja, orang merokok pada tempatnya, anjuran berhenti merokok sewajarnya, tidak ada kampanye-kampanye yang berisi kebencian terhadap perokok.dsb.

Malahan, di era 90-an awal masih ada maskapai udara yang mengijinkan penumpangnya merokok di toilet pesawat dan jualan rokok saat penerbangan berjalan. Sesekali saya bertanya kepada Ibu tiap kali naik pesawat, kenapa dia tidak pernah membeli rokok saat naik pesawat? Jawabannya pun seperti emak-emak pada umumnya; rokok di pesawat mahal, Nak. Nanti kalau sering beli rokok di pesawat atau kapal laut, kita ga bisa jalan-jalan ke Jawa, dan kamu ga bisa beli mainan setiap kita liburan.

Rasanya baru kemarin saya menikmati suasana setenang itu, tahu-tahu sudah pindah di tahun 2021 dan siap menerima kenyataan kesekian kali bahwa Sri Mulyani akan menaikkan tarif cukai rokok. Seperti mimpi.

Buat kalian yang tumbuh di era 80-90, apa ingatan manis kalian yang masih sering terbayang sampai saat ini? Di tahun itu, apa rokok yang membekas di ingatan kalian? Kalau keluar pulau, lebih suka naik pesawat atau kapal laut?. Sehat terus, ya. Semoga soal kedamaian nyebat seperti era 90an bisa segera kita temui lagi, tanpa harus merasa menjadi seorang kriminal. Selamat menikmati libur Natal dan Tahun Baru.