Etimologi kretek
Rokok yang dalam bahasa Inggris disebut cigarette, berasal dari kata sikāar dalam bahasa Indian Maya, yang maknanya ābermain asapā. Untuk ābermain asapā, orang Indian Maya mengeringkan daun tembakau –tanaman asli Benua Amerika– lalu digulung kecil-kecil, diremas, kemudian dimasukkan ke dalam pipa panjang, disulut dengan api pada salah satu ujungnya sembari ujung yang lain menempel pada mulut dan, akhirnya, dihisap hingga menghasilkan kepulan asap menyeruak dalam rongga mulut.
Ketika Cristopus Columbus āmencuriā kebiasaan sikāar orang Indian itu dan membawanya pulang ke negerinya, dia tidak bisa menirukan sebutannya secara persis sama, maka jadilah sebutan cigaro dalam bahasa Portugis dan Spanyol. Ketika kebiasaan baru itu menyebar ke Perancis, sebutannya menjadi cigare, dan menjadi cigarette di Inggris.
Kretek adalah sikāar unik Indonesia. Tetapi, mengapa disebut kretek?
Semula, orang-orang menyebut jenis rokok baru itu sebagai ārokok cengkehā, sesuai dengan bahan baku dan aromanya yang khas. Karena menimbulkan bunyi ākretek… kretek…ā saat dihisap āsebagai akibat dari terbakarnya rajangan biji-biji cengkeh dalam gulungan batang rokok tersebut– maka rokok jenis baru itu pun segera dikenal luas dengan sebutan ārokok kretekā atau ākretekā saja (Onghokham, 1987).
Tetapi Wito, seorang penjaja batu-mulia di kompleks peziarahan makam Sunan Kudus, berpendapat bahwa penulisan kretek (hanya satu kata) seperti yang kita kenal sekarang sebenarnya tidak tepat. āKalau maksudnya jenis suara atau bunyi,ā kata Wito, āmaka penulisan yang benar adalah krĆØtĆØkkrĆØtĆØkā. Menurutnya, dua kata itu mestinya disebut bersama-sama dengan pengucapan yang sama pula, meskipun artinya satu.
Dalam sastra Jawa, penulisan dan pengucapan seperti itu disebut ādwi lingga pada swaraā, salah satu jenis tembung camboran atau ākata majemukā tata bahasa Jawa. āDwi artinya dua,ā lanjut Wito, ālingga itu kata dasar, dan pada swara artinya sama pengucapannya. Maka, jika ditulis atau diucapkan kretek hanya sekali, bukan krĆØtĆØk-krĆØtĆØk, apalagi jika pengucapan huruf e nya kurang betul, maka bisa saja kata kretek itu artinya lain sama sekali, bukan rokok, tapi ājembatanāā.
Pak Mul, penjual es dawet (cendol) di tempat yang sama, mampu menjelaskan lebih rinci lagi. Dia lebih tua dan masih terlatih menggunakan bahasa Jawa halus (krama inggil). Menurutnya, sebutan kretek (hanya satu kata, tanpa pengulangan) adalah penyederhanaan yang biasa saja dalam percakapan sehari-hari.
Tetapi, jika ingin benar, maka sebenarnya tata bahasa Jawa juga mengenal kaidah penyederhanaan kata ulangan seperti kata krĆØtĆØk-krĆØtĆØk, yakni dengan memberi tambahan awalan, sisipan, atau akhiran saja pada kata dasar tunggalnya. āKata dasarnya tetap krĆØtĆØk-krĆØtĆØk,ā kata Pak Mul, āsehingga kalau ingin disingkat, maka semestinya diberi sisipan āumā menjadi ākumrĆØtĆØkā. Kalau ada yang menyebutnya ākĆØmrĆØtĆØkā itu salah kaprah lagi, karena dalam sastra Jawa, sisipan hanya ada tiga, yaitu āumā, āelā, dan āerā.ā
Singkat kata, istilah atau sebutan kretek sebenarnya tidak terlalu tepat. Tetapi rupanya yang tidak sesuai tata bahasa itulah yang digunakan sekarang. Sama halnya dengan istilah āmelinting (menggulung) rokokā, padahal maksudnya adalah āmenggulung tembakau dalam kertas untuk membuat rokokā. Atau, āmenggali sumurā, padahal maksudnya āmenggali tanah untuk membuat sumurā. Sastra Jawa menamai gaya berbahasa ini dengan istilah ārurabasaā, yakni kata-kata yang sebenarnya salah, namun sering dipakai dan maknanya dipahami. Itulah memang kenyataan hidup kita sehari-hari.
Doni Hendrocahyono