harga cengkeh
PERTANIAN

Harga Cengkeh: Dari Willy Lasut hingga Gus Dur

Harga cengkeh pernah benar-benar hancur. Hingga akhirnya muncul perjuangan dari Willy Lasut dan Gus Dur.

Cengkeh Penyumbang Kesejahteraan

Pada akhir 1970an, petani cengkeh Minahasa memperoleh keuntungan besar akibat kebijakan Gubernur Willy Lasut. Saat itu, Lasut menentang kebijakan pemerintah pusat dalam hal penentuan harga cengkeh bagi petani. Demi mendongkrak kesejahteraan warganya, sang Gubernur menetapkan harga jual cengkeh bagi petani sebesar Rp 17.500, angka yang terbilang tinggi bagi petani saat itu.

Masyarakat, khususnya petani cengkeh di Kecamatan Kombi, Sonder, dan sentra cengkeh lainnya, betul-betul menikmati hasil pertanian mereka di masa itu. Sisa-sisa masa kejayaan itupun masih terlihat sekarang di sana: rumah-rumah penduduk yang berukuran besar atau gereja-gereja megah yang dibangun di masa itu.

Pada masa itu, banyak petani cengkeh Minahasa mampu membeli kendaraan bermotor pribadi secara tunai, misalnya, sepeda motor mahal (saat itu) –seperti Kawasaki atau Honda 90cc– hanya dengan menjual satu karung cengkeh. Pras Pesot (49), warga Desa Kombi, menggambarkan betapa petani cengkeh saat itu benar-benar sejahtera.

Ia berujar dalam dialek lokal: “Waktu lalu harga cingke masi bagus-bagus dan perekonomian masih bae… sekitar tahun 1977 harga cingke 7.000 sampe 8.000 rupiah per kilo. Harga seng waktu itu saja masi 3.000 rupiah satu lembar. Kalo sekarang harga 1 kilo cingke nyanda bisa beli 1 lembar seng. Sejak tahun 1977, masyarakat di sini so banya yang pake seng dorang pe atap, kira-kira 98 persen rumah su pake atap bagus .Juga masyarakat su banyak punya motor.”

BPPC Menghancurkan Harga

kebun cengkeh

Hamparan kebun cengkeh di Munduk, Bali.

Sayangnya, di tahun 1980an kejayaan petani cengkeh Minahasa sontak jatuh. Penyebab utamanya adalah karena pemerintah melakukan impor cengkeh besar-besaran yang harganya lebih murah daripada cengkeh hasil petani dalam negeri. Ketika para petani cengkeh semakin gerah dan mulai melakukan protes, pada tahun 1992, pemerintah membentuk Badan Penyanggah & Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Presiden Soeharto –dengan Keputusan Presiden Nomor 20/1992– menunjuk putra bungsu kesayangannya, Hutomo Mandala Putra, sebagai pemimpin BPPC. Bukannya melindungi petani cengkeh dalam negeri, BPPC ternyata kemudian malah lebih menyengsarakan mereka.

BPPC menetapkan harga beli cengkeh dari para petani sebesar Rp 7.500 per kilogram kering, satu tingkat harga yang bahkan jauh lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Willy Lasut duapuluh tahun sebelumnya. Harga itupun masih ditambah ketentuan pemotongan sebesar Rp 2.000 per kilogram untuk ‘Dana Penyertaan Masyarakat’ (DPM), dan Rp 1.500 untuk ‘Dana Simpanan Wajib Khusus Petani’ (SWKP).

Jadi, petani hanya membawa pulang (take home pay) harga cengkeh mereka sebesar Rp 4.000 bersih per kilogram. Bahkan, oleh berbagai penyelewengan para petugas BPPC dan Koperasi Unit Desa (KUD) –sebagai pelaksana pembelian cengkeh petani– banyak petani di Minahasa mengaku saat itu sebenarnya mereka hanya membawa pulang Rp 2.500 per kilogram!

Di masa-masa sulit itu, petani cengkeh bukan saja memperoleh harga yang sangat menyakitkan hati, jumlah penjualannya pun dibatasi hanya berkisar 100 kilogram per petani. Itu pun tidak boleh langsung ke pembeli akhir (perusahaan atau pabrik kretek), melainkan melalui KUD dan dengan mekanisme yang telah ditetapkan BPPC.

Akibatnya, tidak sedikit petani memilih menebang ratusan pohon cengkeh mereka dan menggantinya dengan tanaman lain seperti pala, vanili, kopi, kayu manis, kayu lawang, kelapa, dan lainnya. Tak sedikit petani yang memilih menelantarkan kebun cengkehnya, bahkan menjualnya kepada orang lain (umumnya dari luar desa), lalu mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Inilah masa paling menyedihkan bagi para petani sepanjang sejarah pertanian cengkeh di Minahasa sejak monopoli cengkeh oleh VOC dahulu Seperti dituturkan Loworuntu Rawung (60), “Waktu taong 1992-1993, banyak petani yang so nyanda ba pete dorang pe cingkeh deng so kase biar tu kobong, soalnya kalo mo ba pete Cuma mo rugi torang deng harga cingkeh bagitu (Waktu tahun 1992–1993, banyak petani yang sudah tidak lagi memetik cengkeh mereka dan membiarkan kebunnya, soalnya kalau mau dipetik merugi saja dengan harga sebesar itu)”.

Pras Pesot melanjutkan bahwa, “Waktu itu, depe dampak besar skali for torang disini. Mulai dari anak nda tarus skolah, sampe banyak cari kerja di luar… Banyak yang bajual barang seperti tampa’ tidor, lamari, kulkas, teip, tivi, dan oto yang dorang beli waktu harga cingke masih bagus, riki maso deng ota kwa ba putar kampong deng oto tu pembeli barang bekas” (Saat itu, dampaknya sangat besar buat kami di sini, mulai dari anak putus sekolah sampai banyak yang mencari kerja ke luar… Banyak yang menjual barang berharga seperti tempat tidur, lemari pakaian, lemari es, tape, tv, dan mobil yang mereka beli saat harga cengkeh masih bagus, sampai-sampai pembeli barang bekas dari luar desa masuk keliling kampung dengan mobil untuk membeli barangbarang bekas itu)”.

Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, BPPC pun bubar. Pada tahun 2001, segera setelah terpilih sebagai Presiden, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat kebijakan yang memberikan kebebasan kepada para petani menjual cengkehnya kepada lebih banyak pembeli.

Harga cengkeh segera meningkat tajam, mencapai Rp 80.000, bahkan pernah lebih dari Rp 100.000 per kilogram. Inilah rekor harga penjualan cengkeh tertinggi yang pernah dirasakan petani. Mereka kembali bersemangat mengolah lahan kebun mereka.

Albert Kusen, dalam tulisannya, ‘Wawancara Imajiner dengan Mantan Presiden RI (alm) Gus Dur & Mantan Gubernur Sulawesi Utara (alm) Willy Lasut’ menyebutkan bahwa petani cengkeh Minahasa pernah menikmati kejayaan sebagai penduduk yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Indonesia, bahkan menyamai Swiss, negeri paling makmur di Eropa. Karena itu, hingga kini, Gus Dur masih terus dikenang sebagai pembawa berkat bagi petani cengkeh di Sulawesi Utara.

Demikian senang dan hormatnya mereka kepada Gus Dur, para petani cengkeh di Sonder, misalnya, memperingati meninggalnya Gus Dur dengan menyalakan seribu lilin di gereja-gereja dan jalan-jalan kota kecil itu. Namun, setelah masa kejayaan yang singkat tersebut, harga cengkeh terus merosot lagi hingga akhirnya hanya berkisar Rp 30 – 40.000 per kilogram saat ini. Bahkan, pada panen raya terakhir tahun 2007, harga cengkeh hanya pada kisaran Rp 25.000 per kilogram.

Berapa Harga Cengkeh Selayaknya?

harga cengkeh terbaru

Untuk menentukan harga yang sewajarnya, Forum Solidaritas Petani Cengkeh (FSPC) menghitung pengeluaran petani pada masa produksi cengkeh, terutama panen raya.

Bernard Welley (72), salah seorang petani senior dan aktivis FSPC –salah satu organisasi terbesar petani cengkeh di Minahasa– pernah melakukan perhitungan dengan rekan-rekannya di FSPC. Mereka menghitung harga yang pantas untuk per hektar kebun cengkeh dan hasil panen raya setiap dua tahun sekali. Basis perhitungannya adalah:

  • Panen raya dianggap sekali dalam dua tahun (berdasarkan pengalaman umumnya petani selama ini)
  • 1 hektar terdiri dari 144 pohon (dengan jarak tanam normal 12 x 12)
  • hasil panen rerata per pohon adalah 30 liter basah atau 6 kilogram kering = 864 kilogram/ hektar
  • Biaya-biaya hanya dihitung selama dua tahun masa pemeliharaan saja, dengan anggapan usia pohon sudah rerata sekitar 10 -15 tahun, sehingga semua biaya penananam sebelumnya tidak dihitung lagi (dianggap sebagai investasi yang sudah terbayar lunas selama 2×3 kali panen raya sebelumnya dan panen biasa setiap tahun)
  • harga rerata per kilogram cengkeh kering Rp 50.000 (senyatanya saat ini)

Dengan demikian, maka pendapatan sekali panen raya adalah Rp 43.200.000 (hasil penjualan kotor) – Rp 21.556.000 (seluruh biaya) = Rp 21.664.000 (pendapatan bersih per dua tahun). Dengan kata lain, rerata pendapatan bersih per bulan adalah Rp 21.664.000 : 24 bulan = Rp 901.830 (dibulatkan).

Menurut mereka, jumlah ini jelas sangat kurang buat kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, harga yang ideal atau selayaknya adalah minimal Rp 85.000 per kilogram seperti yang pernah terjadi di masa Presiden Abdurrahman Wahid (2001-2002), sehingga pendapatan seorang petani cengkeh untuk setiap hektar adalah Rp 73.440.000 (hasil penjualan kotor) – Rp 21.556.000 (seluruh biaya) = Rp 51.884.000 (pendapatan bersih per dua tahun); atau rerata Rp 2.161.830 per bulan (dibulatkan).

harga cengkeh selayaknya


Laporan ini ditulis oleh Ishak Salim & Andre Gusti Bara