REVIEW

Kisah Almagfurlah KH. Sya’roni Ahmadi, Ulama yang Pernah Berdagang Tembakau

Ulama kharismatik dari Kudus, KH. Sya’roni Ahmadi pernah berdagang tembakau. 


Di tahun 80an di Kudus ada seorang Kiai muda yang mulai dikenal masyarakat luas. Tak lain bernama KH. Sya’roni Ahmadi jago dalam ceramah, ahli dalam ilmu Alquran, Hafiz (hafal) Alquran hingga mahir qiro’ah sab’ah (tuju dialek Alquran). Dengan gaya yang khas, lembut, tulus  dan toleran beliau sangat disukai masyarakat.

Tak banyak yang tahu, semasa remajanya perjalanan KH. Sya’roni Ahmadi begitu keras menghadapi kenyataan hidup. Beliau harus menghidupi dua adiknya yang masih kecil-kecil dengan bekerja serabutan. 

Sekitar umur 8/9 tahun, KH. Sya’roni Ahmadi ditinggal ibu tercintanya, kemudian umur 12 tahun ayahnya meninggal. Beliau satu-satunya anak yang membantu ayahnya berjualan tembakau di kios jalan Sunan Kudus setelah ibunya meninggal.

Memang kios jualan tembakau di sekitar Masjid al-Aqsa Menara Kudus, bukan hanya kios yang dimiliki ayahnya. Banyak kios milik orang lain, bahkan di pasar samping kirinya banyak juga yang berjualan tembakau. Pasar tersebut saat ini sudah berubah menjadi taman, sebelum berubah masih terkenal dengan sebutan pasar bubar. Tepatnya di depan agak keselatan sedikit Masjid al-Aqsa Menara Kudus. 

Beliau lahir dan tumbuh dewasa di Desa Kauman Menara Kudus, terkadang ada orang yang bilang di daerah Damaran. Karena memang letak rumah KH. Sya’roni Ahmadi berdekatan dengan desa Damaran kec. Kota, Kabupaten Kudus. 

Tak heran jika KH. Sya’roni Ahmadi pernah berdagang tembakau, karena di sekitar rumah aslinya banyak pabrik rokok kecil maupun besar. Bahkan di desa Langgardalem, sebagai desa tetangga dekat desa kauman dahulu menjadi desa cikal bakal munculnya rokok kretek ditemukan oleh H. Jamhari. 

Di saat berjualan tembakau di kios ayahnya, saat itu pula KH. Sya’roni menghafalkan Alquran yang kemudian hasil hafalannya di taskhihkan (disetor) Ke almaghfurlah KH. Arwani Amin Kudus.

KH. Sya'roni bersama KH. Mustofa Bisri 

Mulai sepeninggal ayahnya ketika umur 12 tahun, sedikit demi sedikit dagangan tembakaunya mulai surut kemudian tidak lama tutup. Beliau pun selanjutnya harus mencari pekerjaan yang bisa menghidupi dua adiknya. 

Akhirnya, beliau mendapatkan pekerjaan sebagai kuli panggul di pasar Kliwon kudus. Sembari menjadi kuli, beliau juga kalau pulang membawa dagangan dari pasar kliwon (yang boleh dibawa dulu) yang kemudian dijual ke masyarakat. Di hari esoknya saat kembali ke pasar barulah barang yang laku dibayar. 

Konon, ada cerita setelah remaja pernah juga bekerja sebagai mandor di salah satu pabrik rokok di utara Menara Kudus. Pernah juga terpilih menjadi juru kampanye (jurkam) salah satu partai. Itupun hanya sebentar setelah ditegur oleh Kiainya. 

Di umur belasan tahun, beliau telah berhasil hafal Alquran hingga Qiro’ah Sab’ahnya. Ini hasil dari jerih payah, kegigihan dan cintanya beliau terhadap ilmu terlebih Alquran. 

Saking senengnya belajar, beliau tanpa sadar pernah masuk rumah sakit gegara keadaan badannya lemas, muntah darah karena sering telat bahkan lupa makan, cerita Jama’ah saudara KH. Sya’roni Ahmadi. 

Di kesempatan lain cerita di atas, mencoba ditanyakan kembali saat bertemu KH. Sya’roni Ahmadi di kediamannya. Benar adanya keadaan tersebut, akan tetapi memang saat itu jarang makannya karena lebih baik untuk kedua adiknya. Sehingga yang terjadi jarang makan. Untuk menyiasati rasa laparnya, dibuatnya untuk belajar terus dan menghafal Alquran. 

Inilah menjadi alasan utama KH. Sya’roni Ahmadi tidak pergi mondok ke pesantren atau mengaji ke Timur Tengah. Selain tidak mempunyai biaya, beliau harus merawat dua adiknya. 

Pendidikan formal KH. Sya’roni Ahmadi hanya sekolah madrasah, dan beliau pun tak pernah mondok di pesantren layaknya santri saat ini. Apalagi belajar ke timur tengah jauh dari angan-angannya dan kondisinya. Beliau hanya belajar mengaji ke beberapa guru di kota Kudus,  seperti KH. Turaichan Adjhuri, KH. Arwani Amin, semasa kecil pernah belajar ke KH. Asnawi bersama-sama Kiai yang lain saat itu bahkan gurunya (KH. Turaichan Adjhuri, KH. Arwani Amin dan Kiai lainnya).

KH. Asnawi saat itu mengajar Tafsir Alquran, dengan metode memakai bahasa Arab, sama sekali tidak memakai bahasa lokal. Jadi wajar yang ikut mengaji saat itu para Kiai. Satu satunya yang masih kecil hanyalah KH. Sya’roni Ahmadi. Walaupun masih anak kecil, akan tetapi, ia dapat mengikuti sistem pembelajarannya yang memakai bahasa Arab.

kh syaroni kudus sepuh

Walaupun tidak pernah belajar di Timur Tengah, namun KH. Sya’roni Ahmadi jago dalam berbahasa Arab. Buktinya, beberapa karya tulisannya berbentuk kitab berbahasa Arab, salah satunya kitab Faraid al Saniyyah (kitab tentang doktrin Ahlussunnah), Faidhul  Asani (kitab tentang ilmu Alquran) dan kitab lainnya. 

Ternyata KH. Sya’roni Ahmadi di masa mudanya gemar menulis, tidak pernah sama sekali beliau belajar khusus menulis. Namun hasil karya tulisannya (kitab) sangat sistematis dan enak dibaca. Bahkan KH. Said Aqil PBNU suatu ketika datang ke rumah KH. Sya’roni Ahmadi yang kemudian mendapatkan oleh-oleh kitab hasil karyanya. Kemudian setelah dibaca, KH. Said penasaran akhirnya bertanya ke salah satu santrinya (KH. Sya’roni Ahmadi), tentang asal usul pendidikannya.

Setelah dijawab santrinya bahwa KH. Sya’roni Ahmadi tidak pernah mondok maupun belajar ke Timur Tengah, KH. Said makin keheranan dengan hasil karya kitabnya yang menurutnya bagus. 

Tidak hanya berkarya, KH. Sya’roni Ahmadi juga mahir dalam memahami semua disiplin ilmu, terlebih ilmu yang berhubungan dengan tafsir Alquran. Seperti Qiro’ah Sab’ah, Asbabun Nuzul, Badi’, Mantiq, Ma’ani, Hadis, Tajwid, ilmu alat tentunya, dan ilmu yang lain. Jadi menurut KH. Sya’roni Ahmadi seorang yang mengajar Tafsir al-Quran, minimal minimal disiplin ilmu tersebut harus terkuasai. Kalau sudah terkuasai, maka bisa menjelaskan betul-betul isi kandungan ayat Alquran dengan enak dan mudah dipahami masyarakat.

Sya’roni Ahmadi salah satu Kiai saat itu yang mempertahankan kebolehan dan keabsahan cetakan Alquran dengan huruf braille. Sebelum dicetak, Alquran yang dicetak dengan memakai huruf  braille menjadi perdebatan sengit di antara para ‘Ulama saat itu. 

Ada yang menghukumi tidak boleh dan haram dengan alasan sama saja merubah Alquran, dan sedikit Ulama’ yang membolehkan. Saat itu KH. Sya’roni Ahmadi masih muda berpidato dihadapan Kiai-Kiai sepuh lainnya, dengan lantang beliau membolehkan Alquran dicetak dengan huruf braille untuk saudara kita yang berkebutuhan khusus asal bunyinya sama persis Alquran yang bertuliskan huruf Arab, KH. Sya’roni membuat argumen yang tak terbantahkan.

Selain itu, menjelang Muktamar NU di Jombang Jawa Timur, KH. Sya’roni kedatangan anak muda NU dari Yogyakarta dan Purworejo Jawa Tengah. Tujuan mereka meminta barokah do’a, fatwa dan bertanya hukum rokok. 

Untuk fatwa, bukan ranahnya, kata KH. Sya’roni. Siapapun kandidat ketua NU, harus berdasar keputusan organisasi, dan jangan lupa melestarikan tradisi “ala santri”warisan Wali, Kiai dan orang tua kita, lanjut KH. Sya’roni.

Memang  KH. Sya’roni sangat menjunjung tinggi budaya orang terdahulu. Bahkan menurut KH. Nadjib Hassan, bahwa KH. Sya’roni salah satu dari dua kejadian yang betul-betul berlaku layaknya santri. Ketika KH. Sya’roni masih muda dan terpilih menjadi Rais ‘am NU Kudus, beliau naik podium dan mengucapkan terima kasih telah dipilih, akan tetapi KH. Sirojuddin lah yang pantas menjabat. Karena saat itu KH. Sirojuddin jauh lebih sepuh usianya, lanjut KH. Nadjib Hassan.  

kh syaroni dan habib syekh

Tentang rokok, KH. Sya’roni mengambil kitab karya Ulama’ Nusantara yang tersohor yaitu Syekh Ihsan Jampes asal Kediri Jawa Timur. Kitab tersebut menjelaskan detail tentang hukum rokok, yang kesimpulannya dibolehkan. Sebelum diserahkan, kitab tersebut ditandatangani bagian lembar depan oleh KH. Sya’roni. 

“Kitab ini mu’tabaroh bisa buat rujukan untuk menetapkan hukum rokok. Ini saya tandatangani saya sahkan. Kalau ada yang meragukan kitab ini suruh kesini biar kujelaskan, atau minimal tanya, apakah kamu (yang meragukan kitab) dengan Kiai yang mengarang kitab ini ‘alim mana?. 

Inilah sepenggal kisah KH. Sya’roni Ahmadi yang hidup keras semasa kecilnya. Seorang Kiai yang perjalanan hidupnya luar biasa, tidak seperti Kiai pada umumnya dengan latar belakang pendidikan agama yang formal (mondok /studi ke Timur Tengah).  Akan tetapi kemampuan dan keilmuannya tidak diragukan lagi dengan banyaknya disiplin ilmu agama yang telah dikuasai. Terlebih disiplin ilmu tafsir Alquran.

Di masa kecilnya dihabiskan untuk belajar agama dan bekerja. Bahkan pernah bersinggungan dengan tembakau. Beliau sosok yang humanis, toleran atau lebih tepatnya bisa dikata “tepo seliro” dalam bahasa Jawa. Beliau adalah Ulama yang terkenal dalam bidang Alquran, mulai hafalan, tafsir hingga berkarya seputar ilmu al-Quran. Beliau adalah penguat kitab karya syekh Ihsan Jampes yang menjelaskan tentang hukum kopi dan rokok.