Kebanyakan rakyat Indonesia miskin karena rokok?
“Poverty has existed as long as there has been market” – David Brady
Kemiskinan dewasa ini menjadi momok setiap negara yang ada di dunia ini. Bagaimana tidak, menurut data yang disampaikan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memperkirakan pada 2020 sekitar 119 juta–124 juta orang terjerumus ke dalam kemiskinan. Selanjutnya, dari jumlah tersebut 60%–nya merupakan masyarakat Asia Selatan. Asia Selatan secara geografis terdiri dari beberapa negara; Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Srilanka. Negara-negara tersebut mengalami penurunan pendapatan per kapita yang signifikan sejak 2017.
Penilaian individu dapat dikatakan miskin menurut Bank Dunia adalah mereka yang pendapatannya berada di bawah sekitar $2/hari. Artinya negara-negara di Asia Selatan mayoritas merupakan penduduk miskin. Namun, pernahkah terpikir mengapa seseorang dapat menjadi miskin? Dan, bagaimana melihat kemiskinan di Indonesia? Apakah mengkonsumsi rokok merupakan faktor signifikan yang dapat membuat seseorang menjadi miskin?
Pendekatan-pendekatan untuk melihat fenomena kemiskinan secara ekonomi, yaitu; kemiskinan objektif; kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan. Selanjutnya ada pendekatan kemiskinan subjektif. Pendekatan terakhir, yaitu; kemiskinan yang parah. Pendekatan-pendekatan ini tentu memiliki kelebihan sekaligus kelemahannya masing, namun hal itu tidak akan dijelaskan secara mendetail.
Kemiskinan absolut merupakan sebuah situasi kemiskinan yang terjadi pada individu dikarenakan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, dan papan). Hal ini masih banyak terjadi di Indonesia, terutama banyak keluarga-keluarga baru yang belum memiliki rumah saat berumah tangga. Faktor utamanya pendapatan bulanan yang kecil tidak sebanding dengan harga tanah atau rumah. Apalagi di wilayah perkotaan, untuk mendapatkan rumah satuan minimalnya ratusan juta hingga milyaran rupiah.
Menurut data Bank Dunia menyebutkan bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pada 2020 berada di angka $3.869.588. Jika di konversi ke rupiah ($1 = Rp 14.500-.) pendapatan masyarakat Indonesia setiap tahunnya Rp 56.109.026, rata-rata per bulannya Rp 4.675.752. Artinya dalam 1 hari masyarakat Indonesia berpendapatan +/- Rp 153. 723.
Bayangkan saja, setiap keluarga yang ingin mempunyai rumah dengan UMR (Upah Minimum Regional) Surabaya butuh waktu 10 tahun untuk mendapatkan rumah dengan harga Rp 500.000.000 tanpa makan, tanpa konsumsi hal-hal lain. Maka dengan penghasilan UMR Surabaya, sudah bisa dipastikan setiap keluarga di Surabaya dengan penghasilan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam kemiskinan absolut.
Namun tidak seru jika gagasan atau pendekatan kemiskinan absolut tidak dibantah. Pendekatan kemiskinan relatif merupakan salah satu gagasan yang dapat membantahnya. Dalam pendekatan ini, kemiskinan dianggap sebagai sesuatu hal yang dinamis. Keluarga atau seseorang dapat keluar-masuk dari klasifikasi kemiskinan dengan mempertimbangkan banyak faktor dan waktu yang lama.
Relativitas ini diukur dari ambang batas minimal yang seperti apa, pemenuhan hidup, serta pendapatan. Kita bisa saja menganggap orang Yogyakarta dengan pendapatan UMR tidak masuk ke dalam golongan individu miskin, karena pendapatannya di atas ukuran minimal Bank Dunia, yaitu di bawah $2.
Selanjutnya pendekatan kemiskinan subjektif, pendekatan ini kurang lebih sama dengan cara melihat menggunakan pendekatan kemiskinan relatif. Bedanya, cara pandangnya benar-benar ditentukan oleh subjek yang sedang melihat sebuat kemiskinan.
Bersamaan dengan itu menggunakan variable-variabel yang telah ditentukan oleh subjek. Misalnya, seseorang dapat mengatakan bahwa kemiskinan dapat terjadi karena konsumsi rokok harian yang melebihi pendapatan, hal itu dapat berdampak pada kelangsungan rumah tangga beserta isinya. Permisalan itu sah-sah saja, namun memiliki keterbatasan dalam interpretasi sebuah fenomena.
Pendekatan kemiskinan yang parah merupakan cara melihat kemiskinan lebih memiliki kompleksitas tinggi daripada dua pendekatan sebelumnya. Kemiskinan dilihat dari perampasan multi-dimensi. Alhasil, melihat kemiskinan bukan hanya diukur dari ukuran-ukuran moneter. Namun, kemiskinan dapat dilihat melalui cara-cara perampasan yang dialami oleh individu ataupun keluarga hingga menjadikannya berstatus miskin.
Dimensi-dimensi ini meliputi ragam faktor, mulai dari; ekonomi, politik, sosial, bahkan budaya di suatu masyarakat. Sekaligus, cara ini untuk membantah asumsi atau penyajian data yang dilakukan oleh sekte anti-rokok dengan menyebutkan bahwa merokok dapat menyebabkan individu atau keluarga terjebak kemiskinan semakin dalam.
Kemiskinan bukanlah suatu taken for granted atau pemberian tuhan. Kemiskinan muncul dari gejala sosial di masyarakat. Mudahnya, perkembangan masyarakat dan cara hidupnya itulah yang justru memunculkan kemiskinan.
Sampai di satu masa hari ini, kemiskinan tidak dapat dituntaskan secara sempurna oleh negara-negara. Sebab kompleksitas kemiskinan muncul secara multidimensional. Menurut Morgan dalam karya klasiknya berjudul Ancient Society bahwa di masyarakat komunal primitif tidak ada yang namanya kemiskinan. Hal itu dikarenakan bukan hanya tidak mengenal konsep kemiskinan pada waktu itu, namun setiap individu atau kelompok-kelompok dapat mengakses sumber daya alam seluas-luasnya. Setelahnya, kelompok-kelompok tersebut merasa perlu melakukan klaim atas wilayahnya, terjadi ketika manusia telah mengenal cara bercocok tanam yang menggeser pandangan hidup nomaden.
Klaim-klaim atas wilayahnya kemudian justru mengurangi pemanfaatan sumber daya alam seluas-luasnya. Manusia sebagai makhluk ekonomi tentu tidak akan pernah memiliki rasa puas terhadap yang dimilikinya. Maka setelah klaim atas wilayahnya sendiri tersebut, mereka melakukan perebutan wilayah lain. Engels dalam bukunya The Origin of Family, Private Property, and the State menyebutkan pandangan kepemilikan pribadi atas tanah telah benar-benar menggeser sifat manusia sebagai makhluk sosial.
Kondisi semacam ini memunculkan penguasaan-penguasaan terhadap wilayah lainnya, sehingga pihak yang kalah dijadikan sebagai budak. Inilah awal mula kemiskinan multidimensional muncul disebabkan pandangan kepemilikan pribadi. Perbudakan merampas segala bentuk hak yang melekat dari dalam diri manusia. Maka sebenarnya muncul satu pandangan, yaitu pemiskinan. Bergesernya waktu dan semakin berkembangnya peradaban, tampaknya kemiskinan muncul disebabkan karena faktor kemiskinan itu sendiri.