kebijakan rokok pemkot depok
OPINI

Soal Kebijakan Rokok, Pemkot Depok Memang Payah

Kebijakan kawasan tanpa rokok yang dibuat Pemkot Depok memang payah.


Baca: Aturan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Depok Terlalu Berlebihan


Melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Kota Depok menjadi salah kota yang eksesif dalam menerapkan peraturan antirokok. Meskipun jauh sebelum terbitnya perda tersebut, Kota Depok sudah sangat eksesif dengan menutup display penjualan rokok di retail modern dan tradisional. Kini dengan adanya perda kian melegitimasi penindakan yang sewenang-wenang terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT).

Menutup display rokok dengan tirai merupakan sebuah tindakan semena-mena. Dalam hal ini Pemkot (Pemerintah Kota) Depok memperlakukan rokok selayaknya barang ilegal. Sebab tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang rokok, membunyikan klausul larangan display rokok di minimarket atau toko retail lainnya.

Apa yang dilakukan oleh Pemkot Depok tentunya sangatlah berlebihan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yakni pasal 115 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 dan PP 109 tahun 2012.

Rokok adalah produk legal yang penjualan dan konsumsinya dilindungi oleh undang-undang. Selain itu, rokok menjadi barang legal karena diakui sebagai produk konsumsi yang dikenakan pajak negara sebagaimana produk konsumsi lainnya yang juga dipungut pajak untuk dijadikan sumber pendapatan negara.

Adapun adanya peraturan Kawasan Tanpa Rokok sejatinya hanyalah mengatur pembagian ruang antara perokok dan bukan perokok. Kawasan Tanpa Rokok tidak seharusnya mengatur sampai kepada domain larangan display produk penjualan.

Pasar, dalam hal ini minimarket atau toko retail bukanlah termasuk ke dalam Kawasan Tanpa Rokok. Sebab, peruntukan pasar memang sebagai tempat kegiatan ekonomi (jual-beli). Dalam produk rokok sangat jelas tercantum bahwa rokok adalah produk konsumsi untuk usia 18 tahun ke atas. Artinya, konsumen rokok sudah diberitahukan bahwa mereka merupakan konsumen yang cukup secara batas usia dan sadar akan peringatan kesehatan yang dicantumkan di dalam produk tersebut.

Jika Pemkot Kota Depok beralasan penerapan aturan menutup display rokok dengan tirai demi menegakkan aturan Kawasan Tanpa Rokok, terdapat pemahaman yang salah kaprah mengenai aturan Kawasan Tanpa Rokok.

Lalu, jika Pemkot Kota Depok beralasan penerapan aturan tersebut dilakukan guna mengelabui anak-anak di bawah umur agar tidak membeli produk rokok, hal tersebut sangat kontraproduktif. Stakeholder IHT pun sepakat bahwa rokok tidak boleh diperjual-belikan kepada anak di bawah umur dan mendukung adanya kebijakan pengetatan dan sanksi bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut.

pamflet iklan rokok

Iklan rokok memberikan sumbangan besar kepada pemasukan daerah

Namun bukan dengan langkah melarang display produk rokok dengan tirai. Lebih tepat jika Pemkot Depok melakukan edukasi kepada para pedagang agar tidak memperjualbelikan produk rokok kepada anak di bawah umur dan sosialisasi mengenai sanksi yang didapat jika hal tersebut masih dilakukan.

Langkah tersebut kami nilai lebih efektif dan tepat ketimbang menutup display rokok dengan tirai. Karena, memerintahkan minimarket dan toko retail menutup display rokok dengan tirai, tentu membuat ketidaknyamanan konsumen rokok untuk membeli rokok di tempat tersebut. Konsumen rokok seakan dibuat seperti konsumen barang ilegal karena membeli produk yang “disembunyikan”. Padahal barang tersebut adalah barang legal yang boleh diperjual-belikan di pasar.

Terakhir, Pemkot Depok haruslah bersikap bijak dalam membuat kebijakan. Pembuatan kebijakan haruslah disertai dengan diskusi dari pihak-pihak terkait, dalam hal ini pelibatan stakeholder pertembakauan tidak pernah sama sekali dilibatkan. Sehingga pengambilan keputusan dalam kebijakan tidak bersifat mono tafsir dan berat sebelah. 

Apalagi kebijakan peraturan Kawasan Tanpa Rokok telah memiliki payung hukum perundang-undangan. Aturan menutup display rokok oleh Pemkot sejatinya telah menabrak aturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga kebijakan tersebut menjadi tidak bijak dalam konteks kebijakan publik.

Sebenarnya banyak permasalahan yang seharusnya diselesaikan oleh Pemkot Depok, seperti persoalan ketimpangan pembangunan dan tingginya angka pengangguran. Kota Depok sebagai kota penyanggah ibukota ternyata memiliki pendapatan per kapita yang rendah.

Rendahnya APBD per kapita di Depok juga berdampak pada kesejahteraan warga. Banyak warga Depok tidak mendapatkan pendidikan memadai hingga akhirnya harus menganggur. Data Badan Pusat Statistik Tahun 2019 menunjukkan, angka pengangguran di Depok ada di angka 6,11 persen, melebihi angka pengangguran nasional sebesar 5,28 persen.