merokok dan kemiskinan
OPINI

Benar Kata Mereka, Merokok Membuat Miskin

Merokok memang membuat kita miskin?


Perkembangan masyarakat terus mengalami keberlanjutan, salah satu faktor utamanya dipengaruhi hadirnya teknologi. Sejak manusia mengenal teknologi sederhana bernama katrol yang mempermudah kerja-kerja manusia, namun juga memiliki dampak besar dalam hal kerja. Teknologi yang mempermudah kerja manusia justru memunculkan pergeseran, seperti efisiensi kerja meminimalkan peran manusia dalam kerja.

Artinya ada sebagian individu yang tidak bekerja, entah itu tidak terserap dalam proses kerja atau hanya memiliki modal sehingga mampu mempekerjakan seseorang, di samping itu terdapat pekerja yang bekerja keras selama 8 jam atau bahkan lebih untuk mendapatkan upah. 

Modernisasi cukup besar menyumbang kemiskinan di masyarakat. Padahal di fase masyarakat komunal primitif masing-masing individu harus bekerja ketika ingin makan. Setiap kerja di saat modernisasi telah dimulai, menurut Engels dalam The Condition of Working Class in England in 1844 terdapat pencurian atau perampasan kerja sehingga memunculkan kondisi kemiskinan yang akut. 

merokok membuat miskin

Marx di dalam Wage Labour and Capital menerangkan secara detail mengenai proses eksploitasi kerja. Ia menyebutkan bahwa harga tenaga kerja oleh pemodal disebandingkan dengan harga komoditas, bukan sebagai ukuran harga kerja yang dicurahkan. Marx mencontohkan, setiap kelas pekerja ditanyakan mengenai berapa upah yang didapat, pasti akan dijawab nominal. Mudahnya, UMR pelinting rokok di sebuah pabrik itu hanya sebanding dengan komoditas yang disusun dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL). 

Di dalam KHL tidak ada satupun kompensasi tenaga kerja. Artinya bos-bos tersebut sedang membeli manusia yang miskin karena tidak bekerja, bukan sebagai tenaga kerjanya. Padahal keuntungan bos-bos dalam menjual komoditas di pasar dapat berkali-kali lipat. Itulah yang selama ini kemiskinan terus berputar seperti lingkaran setan. Maka tidak ada kemungkinan bahwa rokok adalah faktor utama atau pendorong untuk menjadi miskin. Melihat fenomena semacam ini, pemiskinan senyatanya terjadi di sekitar kita. 

Selanjutnya, jangan pernah dengarkan motivator kerja ketika memaparkan cerita suksesnya selama tetap menjadi kelas pekerja. Sebab, kelas pekerja mau serajin apapun atau memiliki keinginan “kerja, kerja, kerja” hingga tipes, jerat kemiskinan akan terus ada. Awal mula industrialisasi muncul dalam momen revolusi industri, kelas pekerja telah rajin dengan kerja 12 jam bahkan bisa lebih. Sekarang kerja keras seperti itu dikenal dengan istilah hustle culture. Padahal sebelumnya Marx menyebutkannya sebagai alienasi atau peminggiran kelas pekerja dari modal, sosial, dan hasil produksinya. Tidak ada kelas pekerja yang malas, maka tidak ada pula kemiskinan terjadi karena malas. 

Alienasi dapat menjelaskan hal tersebut, bekerja yang fokus dapat menjauhkan dari lingkungan sekitar, bahkan jika terjadi gempa bumi mungkin tidak akan menyelamatkan diri dan masih tetap bekerja. Pekerja juga dijauhkan dari modal, karena sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kelas pekerja hanya diukur dengan harga-harga komoditas yang di mana komoditas itu beberapa di antaranya juga hasil industri. Artinya, uang kelas pekerja akan kembali menjadi kekayaan majikan. Terakhir, upah kelas pekerja akan terpaut jauh dengan harga komoditas yang diproduksi oleh pekerjanya sendiri. 

Contohnya, upah pekerja linting rokok menurut Harsono dalam Hubungan Lingkungan Kerja, Motivasi Kerja Dan Produktivitas Kerja Karyawan menyebutkan per 1000 batang diupah Rp 9.750,00. Itu pun masih dibagi dengan bagian ketok, rincinya bagian linting mendapatkan Rp 6.500,00 sedangkan bagian ketok mendapatkan Rp 3.250,00. Bandingkan dengan sebungkus rokok dan cukainya yang fly to the moon. 

Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada 2019 menyebutkan jumlah perokok di Indonesia tertinggi di ASEAN dengan total 65,19 juta penduduk. Data lain seperti WHO menyebutkan tahun 2020 jumlah perokok Indonesia naik menjadi 65,7 juta penduduk. Angka tersebut ada di kisaran 33,8% dari jumlah seluruh penduduk yang ada di Indonesia. Bandingkan dengan gula, harga gula tidak semahal harga rokok karena gula tak bercukai. Padahal mengkonsumsi gula dan rokok sama bahayanya jika dikonsumsi secara berlebih. Alasan keberbahayaan ini menjadi dasar perlu dikontrolnya peredaran tembakau di masyarakat, sebaliknya tidak dengan gula. 

Hal yang perlu dicari tahu ke depan adalah penganaktirian tembakau. Kita patut curiga akan hal itu, menurut Hamilton dalam Nicotine War menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan kesehatan berupaya untuk melakukan monopoli dan monopsoni nikotin. Sebab nikotin sintetis buatan mereka tidak laku di pasaran selama tembakau masih eksis di masyarakat. Hal itu menjadi salah satu alasan yang tidak pernah diungkapkan penganut ideologi anti-rokok yang digerakkan oleh dana bantuan Bloomberg, WHO, dan lain-lainnya. 

Belum lagi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) belum dirasakan secara merata oleh petani tembakau. Menurut PSPK UGM dalam Efektivitas DBHCHT dirasa manfaatnya sangat kecil oleh petani, bahkan ada yang tidak mendapatkannya. Sistem yang semacam ini terus memproduksi kemiskinan pada kelompok tani. Karena keberpihakan negara serta implementasinya selalu minim kebermanfaatan. 

Di samping itu, bentuk negara juga memiliki pengaruh dalam mengurangi atau justru menambah angka kemiskinan. Menurut Ross dalam Is Democracy Good for the Poor? menyebutkan telah banyak klaim teoritisi mengatakan bentuk demokrasi lebih baik daripada yang tidak demokrasi dalam menyediakan kesejahteraan bagi masyarakat miskin. Dalihnya demokrasi mampu memproduksi public goods dan redistribusi pendapatan. 

Namun, faktanya menurut Ross menyebutkan bahwa demokrasi tidak mensubsidi orang-orang miskin di masyarakat, melainkan kelas menengah-atas dalam membeli makanan dan kesehatan secara pribadi. Hal ini dikarenakan perspektif kesejahteraan di negara demokrasi, seperti di Indonesia menerapkan subsidi kepada masyarakat. Sementara melihat masyarakat yang mengalami kemiskinan ekstrem tetap saja tidak bisa mencapai, sebab cara subsidi hanya mengurangi harga dan tidak memberikan tanggung jawab kepada negara untuk mampu mewujudkan kesejahteraan sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. 

Sejalan dengan pendapat Ross, Brady dalam Rich Democracies, Poor People: How to Politics Explain Poverty pada 1987–1990-an menyebutkan negara-negara Eropa dengan tingkat demokrasi yang baik memiliki penduduk miskin 5,2%–14,5% di antaranya; Austria memiliki penduduk miskin 11%, Denmark 10%, Inggris 14,5%, dan lain-lain. Sementara di Amerika, jumlah penduduk miskin di pada 2000 menyentuh angka 18% dari total penduduk. Artinya demokrasi hanya sebuah pemborosan dengan insignifikansi kesejahteraan. 

Sesuai dengan pernyataan Ross, bahwa sistem demokrasi justru lebih boros karena penyediaan public goods and service. Pemerintah Indonesia telah mengurangi sejumlah subsidi dan menghilangkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalihnya, subsidi-subsidi tersebut dialihkan menjadi pembelanjaan produktif lainnya. Sementara, harga-harga yang dikurangi atau bahkan dicabut subsidinya justru meningkat. Di sisi lain, kenaikan pendapatan dari kelas pekerja sebagai mayoritas unsur di masyarakat sangat insignifikan. 

Bisa dibayangkan suasana dan kondisi bagi mereka yang berpendapatan rendah, apalagi untuk sebagian masyarakat dengan pendapatan tidak menentu, pengangguran, atau mereka-mereka yang sudah tidak lagi bisa masuk ke dalam bursa pasar tenaga kerja di Indonesia. Hal itu dapat menyebabkan tingkat kriminalitas meningkat, alhasil membuat overcapacity penjara. Selain itu, tidak sedikit yang meninggal karena kelaparan akibat sama sekali tidak mampu mengakses komoditas. Ini lebih nyata daripada membicarakan rokok sebagai salah satu biang keladi penyebab kemiskinan. Kemiskinan ditengarai karena negara dengan sengaja abai dengan segala kewajibannya. 

seorang lelaki merokok

Lalu, Indonesia yang termasuk sebagai negara demokrasi menurut Freedom House sebagai demokrasi tidak sempurna (deficient democracy), secara skor posisinya masih di bawah Timor Leste yang selama ini dianggap negara terbelakang oleh Indonesia karena melepaskan diri pada 1990-an. Menurut data Asian Development Bank (ADB) menyebutkan di 2020 sebanyak 9,8% masyarakat Indonesia terjerumus dalam kemiskinan. Artinya, sekitar 27 juta masyarakat Indonesia yang masih miskin secara ekonomi. Apabila menggunakan pendekatan kritis, hampir mayoritas kelas pekerja; manajerial atau non-manajerial termasuk orang miskin karena harga kerjanya tidak pernah terbayarkan, begitu juga kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. 

Salah satu faktor terbesar dari kemiskinan menurut Rini dan Sugiharti dalam Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan di Indonesia: Analisis Rumah Tangga menyebutkan kredit sebagai salah satu sumbernya. Jika diurutkan berdasarkan penelitian Rini dan Sugiharti, penyebab kemiskinan ditengarai beberapa faktor; kepala rumah tangga perempuan lebih besar dibanding kepala rumah tangga laki-laki, usia dari kepala rumah tangga, jumlah anggota keluarga, kepala rumah tangga yang tidak bekerja, rumah tangga mengakses kredit, tingkat pendidikan, akses terhadap teknologi (gawai atau tv kabel), dan lokasi tempat tinggal (desa atau kota). Penelitian pada 2017 tersebut sama sekali tidak menyebutkan rokok sebagai salah satu variabel yang signifikan membuat rumah tangga miskin.