pabrik rokok rumahan
PabrikanREVIEW

Pabrik Rokok Besar dan Kecil Saling Tikam?

Liputan ini ditulis oleh Hairil Hidayatullah & Syaiful Zuhri dalam buku Kretek Kajian Ekonomi. Artikel ini menjawab, bukan pabrik rokok besar yang membunuhi pabrik-pabrik rokok kecil, melainkan peraturan negara.


Hadi Sutrisno adalah Kepala Desa Wates, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, selama dua periode berturutturut (1986-2003). Setelah jabatannya berakhir, maka pada pertengahan tahun 2003, Hadi pun mendirikan pabrik kretek rumahan dengan nama Perusahaan Rokok (PR) ‘Tugu Sejati’ dan cap-dagang ‘Do-Mi-Sol’ (1-2-3), meniru-niru ‘Dji Sam Soe’ (2-3-4) yang terkenal itu.

Ternyata, produknya cukup laku, bahkan sampai ke Pacitan, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Jadi, dia meningkatkan volume produksinya sampai mencapai 9.600 batang per hari atau 4 bal, terdiri dari 800 bungkus berisi 12 batang per kemasan. Dia juga menambah tenaga kerja menjadi 7 orang di bagian giling dan potong tembakau, 2 orang di bagian pencampuran, dan 6 orang di bagian pemasaran sebagai ‘karyawan lepas’ (mencari laba sendiri dari kelebihan harga hasil penjualan masing-masing, selain prosentasi tetap dan bonus jika mampu mencapai angka penjualan 2 bal atau 200 bungkus).

Sayang, usaha rokok yang ditekuninya ternyata hanya sampai enam tahun saja. Sejak November 2009 sudah gulung tikar. Sekarang, ia memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (istri dan keempat anaknya yang masih bersekolah) dengan mengolah lahan pertanian miliknya seluas 150 ru (ukuran lokal, sekitar 16 m2 setiap ru), sementara istrinya mengelola toko kelontong.

Lain lagi pengalaman Meta Duwita (37 tahun), pendiri sekaligus pemilik tunggal PR ‘Mitra Sejahtera’ yang didirikannya hampir bersamaan dengan Hadi, awal 2003. Saat itu ia berdagang jengkok (tembakau lembut, ‘limbah’ atau rejected materials pabrik besar Gudang Garam), filter, aluminium foil (pembungkus dalam) dan plastik (pembungkus luar) kemasan bungkus kretek. Lumayan, seluruhnya bisa mencapai rerata 1 ton per hari.

Dia menjual bahan-bahan baku itu ke pabrikpabrik kretek rumahan di wilayah Nganjuk. Setelah kurang lebih enam bulan, ia jadi banyak belajar dari pedagang tembakau dan pengusaha kretek rumahan langganan jengkok nya. Akhirnya, ia membuka usaha kretek sendiri dengan tenaga kerja awal hanya 2 orang dan kapasitas produksi 1.000 batang per hari.

pabrik rokok rumahan

Ternyata produknya laku pula. Dalam waktu kurang dari dua tahun, ia sudah punya 50 orang tenaga kerja tetap bagian produksi yang mampu menghasilkan 3.000 batang per orang per hari. Dengan upah Rp 5.000 per 1.000 batang, rerata setiap pekerja memperoleh Rp 90.000 per minggu.

Dia juga menyediakan jatah gula 1 kg per pekerja per minggu, selain bonus Tunjangan Hari Raya (THR) setiap tahun, dan transportasi antar-jemput gratis. Untuk pemasaran di wilayah Kediri dan sekitarnya (Blitar, Tulungagung, Nganjuk, Jombang) dia mempekerjakan 8 orang ‘tenaga lepas’. Untuk luar Jawa (Madura, Kalimantan, dan Sulawesi), Meta melakukannya sendiri langsung, karena sekaligus untuk mencari dan membeli bahan baku tembakau. terutama dari Madura.

Puncak kejayaan usahanya adalah pada tahun 2006, ketika ia membeli mesin pembuat kretek filter seharga Rp 1,4 miliar dari satu perusahaan di Malang. Tetapi hanya setahun, usahanya pun gulung tikar pada tahun 2007, dan mesin dilegonya ke satu perusahaan lain di Tulungagung seharga Rp 1,6 miliar. Tetapi berbeda dengan Hadi, dia tetap melanjutkan usaha di dunia kretek: kembali menjual jengkok dan tembakau saja.

****

Selain kesalahan perhitungan dan manajemen yang belum berpengalaman, maka baik Hadi maupun Meta mengakui bahwa meskipun ada pengaruhnya, namun persaingan antar perusahaan kretek sebenarnya bukan penyebab utama kebangkrutan usaha mereka. Bahkan, mereka juga tidak sepenuhnya percaya jika perusahaanperusahaan raksasa (seperti Gudang Garam, Djarum, Sampoerna, dan Bentoel) mematikan pabrikpabrik kecil seperti usaha mereka.

Meta, misalnya, menunjuk fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar itu dalam beberapa hal malah ‘mendorong usaha mereka secara tidak langsung’, misalnya dengan menjual jengkok kepada mereka. Lagipula, bukan rahasia lagi bahwa pabrik-pabrik besar itu juga ‘membiarkan’ saja para karyawannya memperjualbelikan jatah rokok dari perusahaan yang tak diberi pita-cukai, dikemas dengan bungkusan khusus dan plastik biasa. Lebih dari itu, fakta sejarah panjang industri ini memang memperlihatkan bahwa selama puluhan tahun mereka semua berjalan berdampingan (co-exists) dengan kreativitasnya masing-masing.

djarum super

Maka, jika ada yang kemudian berkembang terus menjadi besar, hal itu lebih disebabkan oleh kemampuan manajemennya yang lebih baik, sementara yang tidak bisa berkembang dan akhirnya bangkrut adalah memang kalah bersaing dalam kemampuan internal tersebut, bukan terutama karena persaingan eksternal berebut pasar. Hadi terang-terangan mengakui kelemahannya itu: “Manajemen saya tidak terlalu bagus… masih kurang canggih dan pengalaman seperti mereka yang sudah puluhan tahun itu. Tentu juga ada soal permodalan.”

Hal yang sama juga dinyatakan oleh rekan mereka di Kudus. Daniyal Falah, salah seorang anggota pengurus Persatuan Pengusaha Rokok Kudus (PPRK). Seperti juga yang diakui oleh Hadi dan Meta, Daniyal terang-terangan menyebut bahwa faktor yang paling mematikan banyak usaha kretek, terutama usaha kretek rumahan (skala kecil dan menengah) adalah kebijakan pemerintah yang semakin ketat tentang persyaratan-persyaratan usaha serta ketentuan cukai, khususnya dalam beberapa tahun terakhir (lebih lanjut, lihat: ‘Kebijakan Yang Mencekik’, pada halaman 132-133).