senasib rokok dan alkohol
OPINI

Senasib Alkohol dan Rokok

Minuman beralkohol sudah menjadi bagian melekat pada sejarah perkembangan manusia.

Pertama kali sejarah mencatat, sekitar 10.000 tahun silam, manusia sudah mengenal minuman beralkohol. Pertautan manusia dengan minuman beralkohol berawal dari ketidaksengajaan. Ketika petani mulai mencatat hasil farmentasi dari buah yang jatuh. Kemudian percobaan mulai dikembangkan. Akhirnya, umat manusia menemukan resep perpaduan farmentasi buah dan biji-bijian untuk menghasilkan minuman yang menyenangkan.

Pada perkembangannya, alkohol menjadi primadona ekonomi yang menghasilkan keuntungan besar sejak era klasik. Pada era Mesir kuno, distribusi alkohol ke seluruh wilayah Mediterania sudah menjadi bisnis yang penting sejak 3000 SM. Tahun sebelumnya, peradaban Mesopotamia sudah memiliki perusahaan produksi minuman beralkohol sejak 4000 SM.

Alkohol menjadi komoditas warisan peradaban manusia. Tetapi juga tidak sedikit gerakan yang menentang peredaran alkohol. Pada tahun 1920, Amerika Serikat mulai mengesahkan regulasi pelarangan peredaran minuman beralkohol. Para pendukung regulasi ini berdalih bahwa alkohol adalah hulu dari kebejatan moral umat manusia.

Para pendukung pelarangan minuman beralkohol di Amerika Serikat meyakini jika “eksperimen mulia” mereka akan berdampak pada menurunnya konsumsi minuman keras. Pada awalnya memang benar. Konsumsi minuman keras menurun sebanyak 30%. Tetapi respons dari penentang kebijakan ini mulai mencari jalan tikus.

Pelarangan minuman beralkohol berdampak pada menjamurnya industri-industri rumahan pembuat minuman oplosan. Pelaku produksi minuman beralkohol itu mendistribusikan kepada masyarakat dalam skala kecil. Meski ilegal, nyatanya keadaan ini membuat keuntungan tersendiri bagi pelaku produksi rumahan. Mereka dengan bebas menjual hasil produksinya dengan harga yang jauh lebih murah dibanding minuman beralkohol hasil produksi pabrikan.

Di samping itu, pemberlakuan UU Alkohol juga berdampak pada suburnya aksi penyelundupan. Kanada, Meksiko, dan Eropa menjadi pemasok utama minuman beralkohol selundupan. Selain itu, keadaan ini juga melahirkan perilaku melenceng dari para pendeta. Pemuka agama pemegang lisensi distribusi ‘anggur sakramen’, pada gilirannya mengambil anggur dalam jumlah besar untuk dijual kepada khalayak luas.

Para pendukung UU Alkohol berasumsi bahwa pelarangan ini juga akan berdampak pada turunnya angka kriminalitas. Tapi kenyataannya tidak. Berdasarkan riset Charles Hanson Towne (1923), pada tahun 1920 dan 1921, tingkat krimininalitas naik 24%. Pencurian dan perampokan naik 9%, pembunuhan meningkat 12%, dan pengeluaran kepolisian naik 11,4%.

“Eksperimen mulia” yang digaung-gaungkan pada gilirannya berakhir gagal total. Pelarangan alkohol berakibat pada menjamurnya bisnis ilegal. Padahal, sebelum adanya UU Alkohol, minuman keras ini menyumbang pendapatan sebesar USD 3 miliar per tahun. Akhirnya UU Alkohol dicabut oleh pemerintahan F.D Roosevelt pada tahun 1933. Konsensus nasional juga mengatakan, bahwa pelarangan minuman beralkohol merupakan kebijakan publik yang buruk, bahkan larangan itu menyebabkan efek samping negatif yang jauh lebih substansial.

senasib rokok dan alkohol

Nasib alkohol yang dimusuhi oleh publik yang mengatasnamakan “eksperimen mulia” pada kesempatan lain juga dialami oleh rokok. Pemerintah memandang rokok sebagai barang yang membahayakan, sehingga peredarannya harus diatur sedemikian rupa dan dilabeli cukai tinggi.

Hasil pendapatan negara yang dihasilkan oleh cukai rokok, mempunyai nilai yang sangat fantastis. Pada tahun 2020 saja, pendapatan pemerintah Indonesia dari cukai rokok mencapai angka Rp 185,9 triliun. Angka ini meningkat 2,7% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 181 triliun.

Peningkatan hasil cukai tembakau disebabkan oleh naiknya cukai rokok. Rata-rata kenaikan cukai rokok pada tahun 2020 sebesar 12%. Tetapi, biarpun naik sebesar 12%, pendapatan pemerintah pada faktanya tidak mencapai angka yang mendekati jumlah kenaikan tarif cukai tembakau.

Tentu sebab utamanya ialah harga cukai yang tidak terjangkau. Sri Mulyani mengatakan bahwa angka jumlah peredaran rokok ilegal setiap tahun berkisar 3%. Tetapi pada tahun 2020 angka tersebut meningkat menjadi 4,9%. Di sini bisa dilihat, bahwa kenaikan harga cukai linier dengan kenaikan peredaran rokok ilegal.
Mungkin peredaran rokok ilegal belum menunjukkan dampak substansial seperti yang terjadi ketika pemerintah Amerika Serikat memberlakukan UU Alkohol. Tetapi, pola penyelundupan rokok ilegal sudah menujukkan bahwa ada resistensi terhadap tarif cukai yang tinggi dari pemerintah. Atau jangan-jangan pemerintah ingin mengontrol lebih jauh industri tembakau? Jikapun benar, maka kita bisa berkaca pada penyimpangan yang terjadi akibat pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti nasib alkohol di Amerika Serikat tahun 1920an.