prevalensi merokok anak
OPINI

Tekan Prevalensi Perokok Anak dengan Menaikkan Cukai?

Menekan prevalensi perokok anak, salah satu indikator alasan pemerintah menaikkan cukai rokok begitu konyol dan terkesan dipaksakan sebagai pembenar. Tak hanya kenaikan cukai, pembenar kampanye antirokok sebenarnya semua sangat ambigu, bahkan lucu kalau dirasa.

Masih masa pandemi covid -19, dari berbagai model usaha banyak yang tertekan, seharusnya pemerintah memberikan perhatian. Tetapi untuk industri hasil tembakau (IHT) justru sebaliknya. Pemerintah mengumumkan kenaikan cukai rata-rata hingga 12.5%, melalui Peraturan Pemerintah (PMK) 152/2020.

Perlakuan yang tidak adil didapat sektor IHT. Yang jelas-jelas sektor padat karya, membantu pengentasan kemiskinan bahkan membantu pemasukan keuangan Negara sejak dulu.

Salah satu yang dibuat dalil pemerintah menaikkan cukai, bahwa kenaikan tarif cukai dapat menekan prevalensi jumlah perokok dewasa hingga 32.3- 32.4% dan prevalensi perokok anak dan remaja turun menjadi 8.8 -8.9% di tahun 2021. 

Alasan yang sangat konyol sekali. Kenapa pemerintah harus menekan jumlah perokok dewasa? Kelompok perokok dewasa usia 18+ itu kan legal atau dibolehkan. Kalaupun terjadi lonjakan ya lumrah, karena yang diperbolehkan merokok mulai kelompok ini. 

Sedangkan usia di bawah usia 18, sektor IHT sudah kooperatif sesuai Undang-undang yang berlaku dengan melarang merokok dengan menulis larangan merokok pada bungkus rokok. Tidak berhenti disitu saja, pelaku IHT juga setuju jika sekolah jenjang SMA ke bawah membuat aturan larangan merokok anak didiknya. Bahkan pelaku IHT memberikan toleransi aturan pelarangan merokok tersebut diberlakukan kampus karena masih taraf belajar dan belum bekerja. 

Beda dengan sektor usaha lain, seperti produk minuman kaleng diperjualbelikan bebas tanpa batas usia. Jelas-jelas mengandung bahan pengawet, pemanis buatan dan bahan lain yang tidak ramah pada tubuh manusia. 

Konyolnya lagi yang dibuat alasan pemerintah dengan menaikkan tarif cukai di tahun 2022 ini, karena pada tahun 2021 dengan menaikkan tarif cukai berhasil menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja. Satu alasan yang dipaksakan dan tak masuk akal. 

prevalensi merokok anak

Tidak ada data sama sekali prevalensi perokok anak dan remaja terjadi perubahan meningkat atau menurun. Yang ada hanya kampanye larangan merokok pada usia anak dan remaja ini dilakukan secara masif oleh semua stakeholder. Baik dari pihak IHT sendiri, orang tua, lingkungan, sekolahan, pemerintah, bahkan rezim kesehatan. 

Tidak berhenti pada pelarangan saja, namun juga banyak yang memberikan sanksi jika memang terdapat anak merokok. Tidak segan-segan ancamannya sampai bisa dikeluarkan dari sekolah. Aturan ini pun di amini dan didukung sektor IHT. Anak usia sekolah tidak boleh banyak mengeluarkan uang jajan. 

Jadi sektor IHT tahu diri, tidak memaksakan kehendak. Salah satu perbuatan membantu orang tua dengan meringankan beban mereka. Walaupun faktanya mereka tidak merokok, akan tetapi membeli makanan yang tidak menyehatkan diperjual belikan bebas di sekitar sekolah.

Keadaan ini sebetulnya tidak bisa dipungkiri, dan bisa di cek di setiap sekolah. Tetapi pemerintah, rezim kesehatan, bahkan pihak sekolah berkelakuan seakan-akan tidak tahu. Nyatanya, mereka tidak ada tindakan tegas. 

Terkait prevalensi perokok anak dan remaja, ada data yang menarik dari Policy Brief hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB-UB Universitas Brawijaya, bahwa selama lebih dari 10 tahun sejak tahun 2007, angka prevalensi merokok usia anak dan remaja tidak mengalami perubahan yang signifikan. 

seni besi merokok

Dari Policy Brief di atas dapat ditafsiri, untuk prevalensi perokok usia anak dan remaja terjadi stagnasi atau titik diam. Tidak ada perubahan jumlah angka. Jika dihubungkan dengan tindakan sinergitas stakeholder di atas tentang melarang merokok pada usia sekolah, maka dapat diasumsikan, bahwa tindakan tersebut berhasil sampai titik batas ambang minimal. 

Artinya, sinerginya stakeholder mampu mengontrol dan menekan prevalensi perokok usia anak dan remaja daripada menaikkan tarif cukai rokok yang pengaruhnya tidak signifikan. Memang asumsi ini perlu adanya kajian atau uji lebih lanjut dan mendalam. 

Jadi, berdasar dari hasil survei PPKE di atas, prevalensi merokok usia anak dan remaja sebagai indikator untuk menaikkan tarif cukai tidaklah tepat dan terkesan dipaksakan. Karena tidak ditemukan korelasi antara harga rokok dengan naik turunnya jumlah prevalensi perokok usia anak dan remaja.