Perokok dituding menjadi beban bagi negara oleh Ibu Menteri Keuangan tercinta. Hal ini seperti simplifikasi terhadap berbagai permasalahan yang ada di republik ini, salah satunya perkara korupsi yang merugikan negara. Para garong yang tak punya hati nurani ternyata masih kalah biadab dengan perokok. Padahal koruptor dan perbuatan korupsi jelas-jelas bukan hanya membebani, tapi juga sudah sangat merugikan negara dan rakyatnya.
Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp26,83 triliun pada semester I-2021. Jumlah tersebut meningkat 47,63% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp18,17 triliun.
Kejaksaan Agung juga menyatakan telah melakukan penyelamatan keuangan negara Rp 21,2 triliun. 763.080 dollar dan SGD 32.900 dollar dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Ini yang selamat loh ya, yang belum selamat ya bisa jadi lebih besar lagi jumlahnya.
Coba kita lihat lagi kasus mega korupsi puluhan triliun pada kasus ASABRI dan Jiwasraya yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 40 triliun kurang lebih, dan bajingannya pelakunya hanya beberapa orang. Astaga itu kalau dibuat subsidi BPJS Kesehatan kelas 1 bisa buat puluhan juta jiwa dapat subsidi. Ah tapi tetep aja masih kalah lah sama kerugian akibat merokok.
Nih ada lagi soal kasus korupsi yang dampaknya gak cuma merugikan negara, tapi juga bikin bangkrut BUMN kita yaitu kasus maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengungkapkan kerugian negara sementara akibat perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan dan penyewaan pesawat PT Garuda Indonesia (GIAA) mencapai Rp3,6 triliun.
Adapun kerugian terhadap Garuda Indonesia sendiri, sebagaimana catatan Kementerian BUMN, hingga akhir September 2021, utang Garuda Indonesia sudah mencapai 9,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dollar AS). Sekarang kondisi Garuda Indonesia megap-megap, udah pernah ditalangin negara sampe sekitar Rp 8,5 triliun ya masih tetep sakit, cuma cukup buat bayar utangan bahan bakar pesawat aja.
Gini ya, sebenarnya perihal korupsi ini khalayak luas sudah mengetahui dampak signifikan dari korupsi. Salah satu dampak yang signifikan adalah program kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah untuk rakyatnya akan terhambat.
Lalu apa hubungannya antara terhambatnya program kesejahteraan rakyat yang terhambat dengan korupsi?
Jadi begini rakyat Indonesia yang budiman, bahwa kita sebagai rakyat punya kewajiban untuk membayar pajak kepada negara. Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan rakyat. Dalam hal ini berdasarkan undang-undang, peruntukan pajak ditujukan untuk program-program pembangunan dan kesejahteraan rakyat secara umum, bukan secara pribadi-pribadi maupun golongan.
Adapun pendapatan Pajak Dalam Negeri terdapat beberapa jenis. Ada pendapatan pajak penghasilan (PPh), pendapatan pajak pertambahan nilai (PPn) dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.
Untuk perokok misalnya, pajak yang disetorkan untuk negara atas konsumsi rokok disetor ketika perokok membeli rokok baik sebungkus maupun eceran, karena dikenakannya pajak pertambahan nilai (PPn) di dalamnya. Belum lagi ada cukai, PPh, dan pendapatan daerah dan retribusi pajak (PDRP). Begitupun dengan konsumsi produk-produk lainnya, semuanya pasti dikenakan pajak.
Nah setoran pajak kepada negara tersebut kemudian masuk ke kas negara dan setiap tahunnya kemudian kita sebut sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN sendiri berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember).
Dari APBN inilah alokasi-alokasi anggaran program kesejahteraan rakyat akan dialokasikan. Nah, jika alokasi APBN untuk program kesejahteraan rakyat dikorupsi, tentu saja anggaran yang seharusnya dipergunakan maksimal untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, pengentasan kemiskinan, percepatan infrastruktur, perluasan lapangan pekerjaan jadi tak maksimal.
Padahal sangat jelas bahwa perokok juga sangat dirugikan ketika mereka membayar kewajiban pajak atas konsumsi rokok yang kemudian seharusnya uang setoran pajaknya digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan jaminan kesehatan nasional, malah dikorupsi untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Sudah dirugikan, eh malah dituding sebagai beban JKN, parahnya lagi banyak pula anti-rokok yang bilang kalau perokok tidak boleh mendapat akses JKN. Duh ini otaknya ditaruh dimana coba, emang yang bayar pajak anti-rokok doank? Memang perokok gak bayar pajak? Kenapa gak kita tuding bahwa koruptor saja yang tidak berhak mendapat akses JKN? Kan mereka yang mengebiri hak rakyat banyak atas program kesejahteraan rakyat.
Dan bagi yang sering menuding bahwa perokok adalah beban bagi JKN dan seakan-akan tak punya andil bagi peningkatan pelayanan kesehatan, perlu kalian ketahui bahwa anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Kesehatan berasal dari harmonisasi dengan sumber dana lain (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Dana Pajak Rokok) yang berasal dari rokok, di bold kalau perlu kata rokoknya.
Tapi ya memang dasar anti rokok, kalau sudah benci dan terbentur kepentingan asing ya tetap saja dengan berbagai caranya harus tetap mengkampanyekan bahwa rokok itu penuh dengan sisi-sisi buruk. Bahkan seakan-akan mencitrakan bahwa rokok dan perokok lebih jahat ketimbang korupsi dan koruptor. Jadi mau negara ini ambrol akibat korupsi, tetap saja nantinya yang akan dituding penyebab ambrolnya negara adalah rokok.
Maka saran saya adalah, kita abaikan saja apa yang tudingan-tudingan anti rokok tersebut. Mari kita fokus kepada hal yang lebih penting untuk disikapi, yakni korupsi yang merajalela di negeri kita. Sebab sudah sangat jelas bahwa setoran dari sektor rokok ke kas negara yang jumlahnya sebesar Rp 180 triliun itu ternyata ada yang jebol akibat di korupsi. Padahal itu bisa dipergunakan untuk banyak hal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.