“Harga Rokok Murah” kembali dihembuskan oleh kelompok antirokok, isu ini didorong dengan argumentasi harga rokok murah penyebab terjadinya peningkatan jumlah perokok anak. Dari isu tersebut arahnya dapat dibaca yakni mendorong kenaikan tarif cukai setinggi-tingginya sehingga harga rokok menjadi mahal atau tidak lagi terjangkau.
Kampanye tersebut cukup serius karena dilontarkan oleh pemerintah, salah satu yang paling getol adalah Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali yang mengatakan bahwa rokok murah mudah didapat. Ia mengatakan ada siswa yang membayar satu batang rokok antara Rp 1.000-1.500.
Dari sini dapat dilihat betapa sistematisnya kampanye antirokok sampai melibatkan regulator dalam kampanye mereka. Antirokok memang seringkali melemparkan wacana kepada publik selalu mengandalkan logika hitung-hitungan versi mereka. Apa versi mereka? Simplifikasi yang berasaskan data riset yang kita tidak perna tau metode yang digunakan, bahkan seringkali terlihat tidak objektif, karena terselip rumus kebencian di dalamnya.
Baik, mari kita bedah pendapat rokok harus mahal dengan memulai pertanyaan, benarkah harga rokok di Indonesia termasuk murah?
Ditjen Bea Cukai, pernah mengatakan, harga rokok secara nominal absolut memang murah. Namun, dengan mempertimbangkan daya beli, harga rokok di Indonesia sudah mahal.
Apa yang dikatakan oleh Bea Cukai lebih rasional. Perbandingan harga rokok di Indonesia dengan negara-negara lain tidak bisa disamakan. Sebab kita harus menghitung kurs mata uang negara kita yang berbeda dengan negara lain. Belum lagi persoalan hitungan daya beli masyarakat di Indonesia yang juga berbeda dengan negara lain.
Ahli perpajakan yang saat ini menjabat sebagai staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo pernah mengatakan bahwa harga rokok di Indonesia lebih mahal dibandingkan beberapa negara seperti Jepang, Korea, China, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.
Penilaian ini berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisis keterjangkauan harga.
Mari kita bandingkan dengan Jepang. Rerata pendapatan masyarakat Indonesia berdasarkan UMR berkisar antara Rp 2-4 juta. Sedangkan di Jepang, Upah Minimum Regional di Tokyo, Jepang sebesar 200.000 yen dalam setiap bulannya. Jika dikurs ke rupiah maka pekerja di Jepang itu bergaji sekitar Rp 24 juta.
Harga rokok di Indonesia jika diukur dengan pendapatan masyarakat Jepang, sampai dengan harga Rp 100 ribu pun masih dapat dibilang murah. Sementara harga rokok sebesar Rp 20 ribu bagi masyarakat Indonesia sudah termasuk mahal, karena pendapatannya tidak sebesar di Jepang, dan daya belinya pun rendah.
Sampai sini paham?
Lalu ada juga alasan yang mengatakan bahwa harga rokok di Indonesia murah, buktinya anak-anak masih bisa membeli rokok. Kalau untuk alasan yang satu ini sepertinya sangat jelas kalau antirokok terlalu mengada-ada dan menjadikan anak-anak sebagai tameng bagi kampanye mereka.
Untuk point yang satu ini, semua masyarakat Indonesia tahu bahwa secara regulasi, rokok adalah produk yang boleh dikonsumsi oleh orang-orang yang telah berumur 18 tahun ke atas. Artinya, rokok memang bukan produk yang boleh diperjual-belikan kepada anak di bawah umur. Dari sini logika kampanye antirokok sudah salah. Karena mereka menyeret anak-anak dalam persoalan rokok.
Kasus anak di bawah umur membeli rokok memang ada, tapi ini bukan perkara anak-anak membeli rokok karena harganya terjangkau. Ini menyoal edukasi mengenai regulasi kepada pedagang, orang tua, lingkungan sekitar dan si anak itu sendiri. Kalau dilihat bahwa harga rokok terjangkau oleh anak-anak, kondom pun yang harganya Rp 7 ribu/pack sangat terjangkau bagi mereka. Bahkan ada anak-anak yang mendapatkan uang jajan Rp 100 ribu rupiah oleh orang tuanya. Lantas apakah sebotol bir yang harganya Rp 40 ribu langsung kita tuding harganya terjangkau oleh anak-anak?
Wacana ngawur harga rokok harus mahal yang dilempar oleh kelompok antirokok kepada publik, jelas-jelas memiliki tujuan agar agenda pengendalian tembakau dapat dilaksanakan sepenuhnya di Indonesia. Harus diingat bahwa pengendalian tembakau bukan lagi bicara tentang kesehatan publik yang selama ini masih menjadi kedok bagi antirokok.
Pengendalian tembakau adalah sebuah rumusan agar rokok sebagai produk hasil tembakau bisa digeser keberadaannya dengan produk-produk alternatif tembakau ciptaan industri kesehatan. Yang nantinya akan terlihat dengan jelas bahwa ada kepentingan bisnis nikotin di dalamnya. Sampai sini kita masih mau percaya dengan kampanye “Harga Rokok Murah”?