Kudus Kota kretek, patois kedua setelah “Kudus Kota Santri”. Banyaknya industri kretek menjadi Kota kretek sebagai slogan yang melekat pada Kabupaten Kudus, dan sebagai warisan budaya leluhur yang bernilai ekonomis. Bahkan menjadi penguat pendapatan keluarga yang saat ini dilakukan oleh kaum perempuan.
Kali pertama kretek ada ditemukan putra bangsa bernama Haji Djamhari kisaran tahun 1870-1880-an. Pada abad 20an setelah diproduksi massal oleh Nitisemito menjadi salah satu industri padat karya terlihat dominasi kaum adam yang mengerjakan pembuatan sigaret kretek atau sigaret cengkeh (clove cigarette). Karena saat itu masih dalam situasi penjajahan, sehigga banyak kaum perempuan tidak berani keluar rumah. Kalaupun ada perempuan membuat kretek, dibuat dirumah, bahan baku diantar kerumah.
Lambat laun, setelah situasi dan kondisi kondusif barulah terlihat kaum perempuan berani keluar rumah dan datang ke pabrik untuk bekerja membuat kretek. Belum diketahui secara pasti pada tahun berapa terjadi ekspansi kaum perempuan mendominasi sebagai pekerja pembuat kretek di pabrikan.
Tetapi jika dirunut, memang setelah situasi memungkinkan para perempuan keluar dari rumah dan pabrikan lebih memilih hasil dari lintingan jemari kaum perempuan yang rapi, bagus, cepat dan lebih disiplin dibanding kaum adam.
Awalnya, perempuan pekerja kretek hanya sebagai sampingan membantu suaminya, membantu bapaknya atau keluarganya sebagai penunjang ekonomi keluarga. Namun ternyata sampai saat ini mereka—kaum perempuan—rerata sudah menjadi pokok ekonomi keluarga.
Sebelum subuh, harus sudah bangun menyiapkan segala keperluan keluarga seperti sarapan dan yang lain. Selesainya, baru sholat subuh dan kemudian berkemas persiapan pergi bekerja, tutur Nurhayati seorang pekerja kretek asal Desa Undaan Lor Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus dengan 3 anak dan satu suami.
Sehabis subuh persis suasana masih terlihat gelap, mereka –kaum perempuan- rela keluar rumah menuju pabrik kretek. Di sekitar pabrik terlihat ada yang ikut rombongan transportasi umum berlangganan, tapi kebanyakan memakai sepeda motor sendiri. Sedikit sekali yang diantar atau pakai sepeda ontel sendiri. Apalagi kalau di cek pada setiap pabrik kretek, banyak sekali sepeda motor di titipan yang disediakan oleh warga setempat.
Kaum hawa ini tidak lagi hanya berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga saja. Justru punya beban ganda. Kewajiban sebagai ibu rumah tangga dijalani, sambil bekerja mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga.
Mereka adalah kartini masa kini yang sebetulnya, hidup gigih tanpa lelah. Berjuang demi keberlangsungan hidup keluarganya. Mereka tidak ingin berpangku tangan pada suaminya, selama pekerjaannya masih dibutuhkan. Dan hanya industri kreteklah yang sangat menghargai keterampilan dan karya jemarinya.
Mereka –kaum perempuan Kudus- sebagai pewaris dan penjaga tradisi budaya leluhur yang bernilai ekonomis. Diwariskan dalam pelbagai praktik, representasi, ekspresi, dan keterampilan, yang mengolah dan menghasilkan berupa barang.
Warisan pengetahuan kretek tangan tersebut kemudian terus berkembang dinamis melintasi zaman (difusi), kretek tangan mengalami inovasi dan evolusi hingga merembes sebagai pola pengetahuan-pengetahuan masyarakat lokal yang kehidupannya terkait erat pada budidaya tembakau dan cengkeh.
Bentuk warisan tersebut ada pengetahuan melinting atau menggiling tembakau dan cengkeh diproduksi menjadi sebatang kretek dengan alat bantu sederhana terbuat dari kayu. Keahlian menggiling rokok ini tidak semudah yang kita bayangkan. Harus melalui proses belajar dan berlatih giat syarat utamanya. Tanpa belajar dan berlatih mustahil bisa menggiling dengan baik dan hasil sempurna. Tentunya dalam berlatih harus ada yang melatih atau ada gurunya.
Ada lagi pengetahuan mbatil, yaitu merapikan dengan menggunting tembakau yang keluar dari area kertas di ujung kretek, baik ujung hisap atau ujung bakarnya. Pekerjaan ini memang tergolong mudah, akan tetapi jika dikaitkan dengan kecepatan dan kerapian, bukan perkara mudah lagi. Juga dibutuhkan latihan dan belajar.
Seperti halnya pengepakan hasil produksi kretek ke dalam bungkus. Kalau hanya memasukkan dan menata saja banyak yang bisa. Tapi yang dibutuhkan keterampilan jari menata dengan cepat. Hal ini menjadi persoalan dengan hanya solusi belajar dan berlatih.
Fakta, kaum perempuan penjaga keterampilan warisan budaya berupa kretek hasil olahan tembakau dan cengkeh, memberikan penghidupan langsung bagi keluarganya.
Dengan demikian kretek hasil jemari tangan perempuan sebagai warisan budaya tak bendawi berpijak pada pengetahuan masyarakat turun temurun yang mampu mengolah-dayakan alam, yakni tembakau dan cengkeh, lantas meraciknya menjadi benda bernilai ekonomi.