radhar panca dahana
REVIEW

Radhar Panca Dahana Bicara Rokok

Menurut Radhar Panca Dahana salah satu tokoh budaya di Banten yang mulai merokok karena iseng-iseng menyatakan bahwa rokok membahayakan kesehatan “secara klinis iya, karena itu sudah riset, artinya tergantung metabolisme seseorang. Setiap orang mempunyai metabolisme yang berbeda-beda. Metabolisme manusia itu kan tiga, ada metabolisme tubuh, ada metabolisme emosional, dan ada metabolisme intelektual. Dan itu saling berkelindan. 

Rokok itu mempengaruhi ketiga-tiganya. Ada orang yang tidak merokok langsung stress, jadi emosinya berjalan, dan ada orang yang kalau tidak merokok tidak keluar pikirannya dan gagasannya, jadi itu semua berkelindan. Dia merasa bahwa kalaupun ada perubahan secara klinis di tingkat metabolisme tubuh, tapi karena di tingkat metabolisme emosional dan intelektual positif dia akan merokok terus. 

Dan ternyata fungsi untuk metabolisme emosional dan intelektualnya itu bertahan lama, dampak biologisnya tidak terlalu banyak.” Itu berdasarkan dari pengalamannya. Beliau juga mengatakan “rokok itu sebagai tradisi yang orang memahaminya sejak lama, yang artinya untuk mendapatkan sebuah emosional dan gagasan tidak masalah untuk merusak biologisnya.” Pernyataan itu menurut pendapat Radar secara kebudayaan yang dirinya sering dinasehati dokter untuk tidak atau mengurangi rokok.

Dari hukum merokok, Radar berpendapat “hukum itu tidak bagus, law enforcement-nya tidak bagus”, kenapa orang merokok dihukum? kan tidak mungkin? itu sudah jadi tradisi (cultural needs), sama sekali tidak efektif — campaign saja tambahnya. Beliau juga setuju dengan adanya gambar tentang larangan rokok sebagai kampanye. 

Untuk tempat-tempat dilarang merokok atau tempat khusus merokok, budayawan Banten ini setuju saja karena dia juga mempunyai anak kecil yang dalam radius 20 meter tidak boleh terkena asap rokok. Untuk di perkantoran itu adalah tempat untuk orang paranoid, jadi untuk apa kita merokok di depan orang paranoid? Tapi untuk di tempat terbuka tidak ada orang yang paranoid, imbuhnya. Radar tidak masalah terhadap keluarganya yang merokok. Pelarangan rokok kretek akan berimbas kepada petani tembakau, buruh pabrik rokok, dan pedagang kaki lima. 

Dalam pernyataannya tokoh budaya ini berpedapat bahwa “itu persoalan ekonomi, itu perdebatannya lain, itu tricking.” Menurut Radar, yang rugi pertama adalah pemerintah, karena pajaknya puluhan triliun. Pemerintah itu munafik setuju dengan pelarangan rokok padahal tidak. Masyarakat Indonesia terlalu percaya dengan mistik, ketika ia tidak dapat menceritakan dengan akal sehat larinya ke non akal sehat.

“Menghisap asap itu sudah kebiasaan purba, artinya kebutuhan yang sudah inhern di dalam diri dia ketika itu berada. Menghisap hanya dengan asapnya saja sudah menjadi kebutuhan. Asapnya itu isinya macam-macam ada yang mentol, ada yang isinya ganja, ada yg isinya tembakau dan lain lain. Menghisap itu adalah suatu kebutuhan untuk mengisi kehidupan mereka. 

Disamping itu menghisap asap memberikan sensasi kepada manusia terhadap sesuatu yang tidak real (abstrak), karena asap itu tidak real tapi asap dapat memberikan fungsi secara kultural kepada mereka, karena mereka bisa menciptakan sensasi-sensasi kehidupan yang selama ini tidak bisa dijelaskan dan bisa dimanifestasikan dalam asap rokok ini, makanya rokok banyak mengandung candu. Orang di situ bisa masuk dalam dunia yang unreal, itu adalah sebuah kegiatan yang merupakan setengah dari kehidupan manusia selain yang sifatnya materil. 

Tidur, mimpi, imajinasi, gagasan, perasaan itu juga tidak real dan rokok itu adalah salah satunya yang juga sebagai stimulan untuk menjalani ini. Salah satu kegiatan merokok di masa lalu untuk menghubungkan dengan dunia yang tidak real katakanlah supranatural, imateril, dan unreal. Untuk manusia umum yang tidak mampu masuk ke dalam tiga dunia ini rokok menjadi salah satu jembatannya. Makanya di mana-mana rokok itu menjadi teman untuk berpikir dan melamun. 

Ini adalah tradisi yang dilakukan manusia di seluruh dunia dan itu menghidupi bangsa-bangsa di seluruh dunia bahkan turut membentuk kebudayaan. Jadi hisap menghisap asap itu walau dianggap negatif bagi sebagian kebudayaan, kita tidak bisa menolak bahwa itu termasuk kegiatan kehidupan yang membentuk kebudayaan. Sama juga dengan judi, minuman keras, pelacuran itu adalah insting-insting purbakala manusia, kita menolak itu semua tetapi ada bagian-bagian dari kebudayaan manusia yang dibentuk dari itu, baik destruktif maupun konstruktif.

rak tembakau

Kebudayaan yang ideal adalah kebudayaan yang konstruktif atau positif yang gunanya merespon, menanggulangi atau mencegah terjadinya produk destruktif atau negatif. Seberapa hebat kebudayaan positif ini menanggulangi atau menangkal kebudayaan negatif dapat dilihat dari tingginya kebudayaan itu. 

Menangkal ini bukan berarti menyadarkan, menghapuskan, menghancurkan. Kebanyakan kebudayaan yang tinggi dan bertahan itu permisif dalam tingkatan tertentu pada hal itu, misalnya kebudayaan Cina dari zaman dulu dalam kehidupan sehari-hari judi, candu, pelacuran itu legal begitupula dengan rokok pun juga legal. Karena banyaknya yg melakukan itu, kita tidak bisa menghukum atau menghilangkan kebiasaan yang sudah ribuan tahun. 

Kita permisif saja tetapi ditempatkan di tempat tertentu (dilokalisasikan). Tingkat permisifitasnya harus diukur oleh negara, tidak boleh dibebaskan begitu saja tapi jangan juga dilarang-larang secara munafik. Sama juga halnya dengan pelarangan tembakau, makanya saya kira peraturannya kurang cerdas dari segi hukum, politik, sosial, akademik dan kultural yang tidak dipertimbangkan.

Pendekatannya harus budaya, jangan ekonomi, jangan yuridis saja, harus komprehensif semuanya. Kebudayaan itu sudah mencakup semuanya karena pendekatan budaya itu tidak koersif. Rakyat tidak bisa didekati secara koersif, harus muncul dari kesadarannya dan hukum adat tidak pernah dijadikan pertimbangan, yang ada hukum formal Anglo Saxon. Jadi kebudayaan itu fundamen dari semua kebijakan, karena sudah melekat dalam diri kita. Misalnya dalam riset seperti ini fundamennya harus kebudayaan.


ditulis: Ade Akbar Wiryawan | Selengkapnya baca di sini