Rokok kretek adalah khas Indonesia. Lahir di bumi pertiwi Desa Langgardalem Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, oleh anak negeri bernama H. Djamhari abad 18, bahan dasar utama dari tanaman asli dalam negeri berupa cengkeh dan tembakau.
Namun keberadaanya makin kesini selalu diserang oleh kelompok anti rokok dan mendapatkan sokongan dana dari luar negeri terlebih bloomberg. Tujuannya tidak lain membunuh peredaran rokok kretek walaupun di Negeri kelahirannya sendiri. Perlakuan ini, persis skema dan strategi membunuh minyak goreng rakyat dari bahan kelapa kopra.
Sebelum minyak kelapa sawit masuk Indonesia, tradisi masyarakat Indonesia membuat minyak goreng sendiri dari bahan kelapa atau kopra yang menua, kalau di Jawa terkenal dengan sebutan “minyak keletik”. Pohon kelapa kopra mudah didapat dilingkungan sekitar.
Tetapi keberadaan minyak goreng bahan kopra makin kesini hilang diperadaran, digantikan dengan minyak goreng berbahan kelapa sawit. Hal ini bukan tanpa sebab. Dibalik itu semua ada politik dagang internasional, yang tidak menginginkan minyak goreng kopra menguasai pangsa pasar, walaupun di negerinya sendiri.
Pelan dan pasti, strategi dibuat hingga menggandeng rezim kesehatan dan pemerintah untuk membunuh minyak goreng kopra. Tidak segan-segan isu yang digunakan tak lain menggunakan cara kampanye bahwa minyak goreng kopra tidak menyehatkan dan mahal yang dilakukan rezim kesehatan.
Kronologinya begini, pada tahun 1978, saat terjadi perang dagang dan pembatasan atau kontrol komoditas tanaman kelapa dengan kampanye masif membawa isu dua negatif tentang minyak goreng dari kelapa, yaitu: menjadi sumber dari segala penyakit, dan harganya mahal tidak kompetitif.
Kampanye tersebut didukung pemerintah Indonesia saat itu. Ahli gizi tak berkutik sama sekali, hanya bisa diam dengan sengaja. Akibat kampanye negatif yang masif tersebut, satu persatu industri minyak goreng kelapa/kopra baik kelas rumahan maupun industri besar tumbang perlahan. Terjadi kelangkaan, sehingga harganya naik fantastis tidak terjangkau masyarakat umum.
Bersamaan kampanye negatif minyak goreng kelapa/kopra, pemerintah justru meluncurkan minyak goreng kelapa nabati kelapa sawit (elaeis guineensis) besar-besaran dengan harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat. Pada akhirnya masyarakat lebih memilih memakai minyak goreng nabati kelapa sawit. Titik klimak redupnya minyak goreng kelapa/kopra sekitar tahun 1990 an.
Sedangkan tanaman sawit masuk ke Indonesia kali pertama sekitar abad 19 atau sekitar tahun 1848 terlihat di perkebunan Pulo Raja (Asahan), kemudian pada abad 20 atau sekitar tahun 1911 an berkembang di daerah sungai Liput Aceh.
Saat ini, minyak goreng kelapa sawit terjadi kelangkaan entah apa penyebabnya. Coba saja, pemerintah Indonesia dahulu tetap melindungi produsen minyak kelapa kopra, pastinya pasokan minyak goreng masih tersedia dan tidak terjadi kelangkaan. Bahan utama, berupa tanaman kelapa kopra terlihat banyak sekali di bumi Nusantara ini dari ujung barat hingga timur. Dan masyarakat Indonesia sendiri sebetulnya banyak yang memiliki keahlian membuat minyak goreng dari kelapa kopra tidak mengandalkan industri skala besar saja.
Namun apa daya, karena pemerintah dahulu memilih jalan membunuh aktivitas produsen minyak goreng kelapa kopra. Nasi telah menjadi bubur, akhirnya masyarakat Indonesia tergantung pada produsen minyak goreng kelapa sawit yang notabenenya produk asing.
Perang dagang atau politik dagang luar negeri model inilah yang harus diwaspadai. Kasus minyak goreng sudah cukup jelas sebagai gambaran penjajahan ekonomi terhadap bangsa Indonesia. Jangan sampai terulang lagi penjajahan ekonomi pada hal lain. Seharusnya Pemerintah Indonesia dan masyarakat luas melek mata kasus minyak goreng ini. Sejarah minyak goreng di Indonesia tidak terlepas dari strategi politik dagang dan perang dagang Internasional.
Sepertinya rokok kretek pun mengalami hal yang demikian. Tekanan dunia internasional yang berkedok kesehatan, membuat pemerintah bangsa Indonesia tidak bisa menegakkan kedaulatannya sendiri. Banyaknya kucuran dana untuk kampanye anti rokok, ataupun kerjasama antar negara, terlebih dengan negara paman sam, selalu membawa muatan untuk mengebiri keberadaan rokok kretek.
Sialnya pemerintah Indonesia dan rezim kesehatan dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyetujuinya. Atas dasar kesehatan, muncul kebijakan pengendalian dan kontrol peredaran bahan nikotin yaitu tembakau. Yaitu melalui kebijakan cukai yang mengharuskan selalu naik tiap tahunnya dan munculnya Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012 tentang zat adiktif, yang ditandatangani Susilo Bambang Yudhoyono di kediamannya pada hari libur tepatnya tanggal 26 Desember.
Menjadi spekulasi pertanyaan kenapa penandatangan di hari libur? tentu jawabnya sederhana, dimana hari itu para pembela “kretek” sedang liburan dan beristirahat. Selanjutnya, PP 109 inilah embrio aturan-aturan lain pembatasan peredaran rokok kretek di Indonesia. Selain itu, PP 109 salah satu strategi untuk membunuh industri rokok kretek produk asli anak negeri secara perlahan.
Perlu diketahui, sejarah kemunculan kretek sendiri tak lain sebagai alternatif pengobatan derita sakit bengek. Dan kandungan nikotin pada tumbuhan tembakau banyak manfaat bagi tubuh manusia. Sedangkan sebetulnya kandungan nikotin itu sendiri tidak hanya pada daun tembakau, tumbuhan terong, atau tomat pun mengandung nikotin. Dan aman-aman saja ketika dikonsumsi.
Kelompok antirokok di Indonesia dan rezim kesehatan menafikan hal itu. Mereka secara masif, tetap berkampanye negatif terhadap rokok produk dalam negeri yaitu “kretek”. Perang dagang atau politik dagang adalah cara menjajah model terkini. Hal ini yang akan dilancarkan untuk menguasai pasar nikotin.
Strategi dan cara kasus minyak goreng kelapa sawit di Indonesia, sepertinya diterapkan menghabisi rokok kretek. Tahapan-tahapan sangat mirip. Untuk menguasai pangsa pasar minyak goreng di Indonesia terlebih dahulu mematikan produk minyak goreng dalam negeri yang berbahan kopra, dengan kampanye negatif secara masif melalui keberpihakan pemerintah.
Kretek pun demikian, terjadi gerakan dan kampanye anti rokok dengan melibatkan oknum pemerintah dan berkedok kesehatan. Memang awalnya memakai bahasa kontrol peredaran bahan tembakau. Namun jika dilihat lebih dalam, dari beberapa kebijakan pemerintah mengarah mematikan industri hasil tembakau nasional berupa rokok kretek. Setelah industrinya mati, mereka dengan mudah menguasai perdagangan nikotin.
Jadi, kampanye anti rokok dan beberapa kebijakan pemerintah tentang rokok, bukan sekedar hanya pembatasan atau kontrol peredaran tembakau. Lebih dari itu, ada muatan politis yaitu politik dagang nikotin, untuk menguasai pasar. Kasus minyak goreng sawit tak boleh terulang kembali. Jangan sampai dibodohi kepentingan asing kedua kalinya. Apalagi kondisi kretek sangat menjanjikan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia dan menguasai pasar dalam negeri.
Andaikan saja di luar, kretek bebas beredar, pastinya juga akan menguasai pangsa pasar dunia. Karena, dahulu sebelum banyak aturan, kretek sempat menguasainya. Berhubung banyak pihak yang merasa khawatir, akhirnya khusus peredaran kretek dikebiri melalui kebijakan baik luar maupun dalam negeri.