penjualan rokok eceran
OPINI

BPOM Dorong Larangan Jual Rokok Batangan Serta Simplikasi Cukai Tidak Berdasar, Menyesatkan dan Menzalimi Rakyat

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif, Mayagustina Andarini mendorong simplifikasi tarif cukai dan pelarangan penjualan rokok batangan. Usulan ini tidak berdasar dan ngawur.

Usulan BPOM tersebut, bodoh aja belum apalagi pintar, masih jauh. Tindakan bodoh itu menunjukkan bagaimana BPOM tidak paham atau gagal memahami regulasi pertembakauan, terlebih produk olahannya berupa rokok. Kalau yang disasar rokok ilegal (tak berpita cukai) masih bisa menjurus dan diterima. Itupun tidak hanya batangan, tetapi rokok bungkusan pun tak boleh dijual bebas.

Rokok yang berpita cukai adalah legal dan diatur pemerintah dalam UU cukai secara rigid dan dilindungi dalam pemasarannya. Mau ecer atau batangan ataupun bungkusan. Sebab pengenaan cukai rokok per batang. Artinya, tiap satu batang rokok terkena ketentuan pajak cukai sesuai kelasnya. Orang tiap mengeluarkan satu batang rokok, dia sudah membayar pajak sekalipun belum dinikmati. 

Orang yang mempunyai kebiasaan merokok adalah pembayar pajak paling taat. Belum menikmati barangnya selama sudah terbeli sudah menyumbang pendapatan negara berupa pajak. 

Tentang ini harusnya BPOM paham, kalau sampai tidak paham menunjukkan orang-orang  BPOM  kurang belajar tentang regulasi pertembakauan dan hasil olahannya berupa rokok. 

Andaikan BPOM sudah paham, tentunya usulan larangan menjual rokok batangan adalah usulan yang tak berdasar. Sebaliknya, jika memang tidak mengerti regulasi pertembakauan dan olahannya, usulan BPOM sangat menyesatkan.

penjual rokok

Nyebats dulu, BPOM….

Apalagi landasan dasar logika yang dibangun BPOM merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2021 yang mengatakan belanja prioritas dalam keluarga setelah beras adalah rokok. Yang kemudian menurut BPOM perlu ditekan guna menjaga ekonomi keluarga miskin. (CNN tanggal 13/04/2022)

Pembacaan data BPS kalau pakai logika cerdas, maka konsumsi beras harusnya juga dikendalikan karena penyebab kemiskinan nomor wahid. Tentunya tidak akan bisa karena beras saat ini masih sebagai budaya makan mayoritas masyarakat Indonesia. 

Begitu juga yang terjadi pada rokok menjadi budaya konsumsi sebagian masyarakat Indonesia yang mempunyai akar sejarah kuat. Merokok tidak sekadar aktivitas tanpa manfaat. Banyak sekali manfaat yang diperolehnya. Minimal ada dua hal yang bermanfaat yaitu sebagai rekreasi dan relaksasi. 

Pertanyaan selanjutnya, apakah orang miskin tidak boleh merasakan gembira dan bahagia dengan merokok? Karena dengan merokoklah mereka mendapatkan kebahagian dan rileks dengan mudan dan murah. Mereka tidak harus mengeluarkan biaya besar untuk bertamasya misalnya. Seperti halnya orang-orang kaya yang biasa dilakukan.  

Walaupun begitu, orang miskin yang merokok bukanlah orang yang bodoh. Mereka sangat paham kehidupannya sendiri. Tidak mungkin mereka merokok sebelum kebutuhan rumah tangganya terpenuhi.  Dengan kata lain, sebelum kebutuhan utama terpenuhi, yakin mereka tidak akan bunuh diri membeli rokok. 

Jelas logika dasar yang dibangun BPOM pengendalian peredaran tembakau dengan larangan jual batangan atau eceran terbantahkan dengan realita. Lain itu, secara bersamaan BPOM juga ternyata mendorong simplifikasi  tarif cukai. Hal ini ada pertanyaan besar, ada apa dengan BPOM ikut ikutan dorong simplifikasi tarif cukai?

Yang dimaksud simplifikasi tarif cukai tak lain adalah menyamakan semua tarif cukai rokok. Sehingga tidak ada kelas dan perbedaan rokok. Selanjutnya harga rokok sama. Sementara saat ini pemerintah menggolongkan tarif cukai rokok. Di mana rokok putihan (tanpa cengkeh) dan bukan produk asli Indonesia tarif cukainya lebih tinggi dibanding tarif cukai rokok kretek (bercengkeh) khas dalam negeri. 

Ini bukti, BPOM melakukan pembelaan terhadap produk luar berupa rokok putih, dan mengebiri produk dalam negeri (rokok kretek) cermin ekonomi mandiri dan berdaulat.

Kretek ditemukan putra bangsa, diproduksi anak bangsa, dengan bahan dasar dari petani nasional dan penyumbang APBN melalui pungutan pajak berupa cukai.      

Cukai sendiri merupakan salah satu komponen pendapatan negara yang mempunyai peran penting terlaksananya tugas negara untuk kepentingan rakyat. Pungutan cukai kali pertama di zaman Kolonial diatur dalam Staatsblad N0. 517 Tahun 1932. Setelah merdeka cukai tembakau diatur dalam UU No. 28 Tahun 1947, selanjutnya diatur pada UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, pungutan cukai tembakau dikenakan untuk barang yang mempunyai sifat tertentu.

pedagang tembakau asongan

Tembakau adalah berkah bagi jutaan orang.

 Menjadi tidak sinkron dan terjadi lompatan, di saat ghirah cukai di awal untuk penguatan keuangan negara, namun kekinian cukai ditumpangi kepentingan pembatasan dan kontrol peredaran pemakaian.  Selanjutnya UU No. 39 Tahun 2007 menjadi peluang meningkatnya tarif cukai tiap tahunnya. 

Aturan cukai inilah, bukti peredaran rokok bercukai baik bungkus maupun ecer batangan adalah legal. Usulan dan dorongan BPOM untuk melarang menjual batangan hanyalah mana suka tanpa dalil jelas. Lebih lanjut BPOM secara bersamaan mengusung juga pembelaan/muatan kepentingan asing dengan juga mendorong simplikasi/penyederhanaan tarif cukai. Alih-alih memberikan perlindungan produk dalam negeri, netral aja tidak dilakukan. 

Sebetulnya masih banyak pekerjaan krusial di lapangan yang urgen harus cepat tertangani seperti maraknya makanan ringan sejenis ciki-ciki yang banyak mengandung bahan tidak baik bagi tubuh anak-anak, atau makanan yang banyak mengandung bahan pengawet tinggi masih bebas berkeliaran di lapangan dan masih banyak lagi masalah atau kasus makanan yang harus segera ditangani BPOM. 

BPOM harusnya menjadi lembaga yang profesional melindungi rakyat terlebih generasi muda dari makanan yang menjadi sumber penyakit yang marak beredar seperti ciki-ciki. BPOM jangan sampai ikut-ikutan menjadi alat politik dagang kepentingan asing. Karena tindakan/kelakuan seperti itu telah mencederai dan menzalimi rakyat dan bangsa sendiri.