Kita mungkin tidak menyangka kalau seorang Ibu Megawati juga berbakat dalam hal demo memasak. Bukan berarti kita menganggap ibunya Puan Maharani ini tidak bisa memasak. Boleh jadi, masyarakat akan lebih percaya kalau beliau melakukan ‘demo’ turun ke jalan, untuk menyuarakan keberpihakannya pada wong cilik.
Namun, demo yang dilakukannya pada beberapa waktu lalu, bukan merujuk kepada aksi unjuk rasa yang lazim dilakukan para aktivis atau pula mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Demo memasak beliau layaknya seorang juru pemasaran produk yang menawarkan peralatan masak dan alat pemadam api ringan (APAR).
Secara komunikasi politik, saya menafsir motivasi dari demo memasak itu, yang berkaitan dengan respon lanjutan dari pernyataan Ibu Mega seputar isu minyak goreng. Warganet pasti masih ingat, isi pernyataan Ibu Mega di dalam video viral yang menyindir keresahan para ibu se-Indonesia terkait kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga barang pokok tersebut.
Dia berupaya memberi alternatif dari aktivitas memproduksi makanan olahan selain dengan cara menggoreng. Lucunya, di tengah kondisi masyarakat yang sedang resah itu, bukannya berempati kok ya malah beliau yang digoreng warganet sebagai akibat dari pernyataannya yang sama sekali bukan solusi. Bahkan cenderung mencederai batin masyarakat.
Entah didorong oleh keinginan bersaing dengan kehebatan chef Renatta Moeloek yang dikenal sebagai juru masak kece nan eksentrik, tontonan demo memasak menggunakan penggorengan hemat minyak yang dilakukan Ibu Mega kok ya malah menyindir perokok.
Di dalam pernyataannya pada kesempatan tersebut, dia menekankan soal pentingnya penyediaan APAR di dapur, bapak-bapak disindir lebih mementingkan membeli rokok ketimbang membeli produk penangkal kebakaran itu. Di sini titik absurdnya.
Merokok sebagai sarana rekreatif masyarakat, kok ya dibandingkan dengan pembelian perabot yang sebetulnya tanpa dikaitkan dengan belanja rokok ya pastinya mampu dibeli. Alih-alih peduli pada persoalan bencana kebakaran, Ibu Megawati kok jadi seperti juru promosi sebuah produk.
Sungguh, saya tuh nggak ada tendensi politik terhadap ibu sebagai mantan presiden, apalagi partai yang ibu asuh, notabene masyarakat juga tahu adalah partai penguasa yang menjadi kendaraan politik bagi munculnya seorang hebat yang memimpin negara ini. Dengan kata lain, ibu dikenal juga sebagai mentor politik dari presiden Indonesia, Joko Widodo.
Masyarakat selama ini kerap ingat, kalau Ibu Mega adalah sosok yang berpihak pada persoalan wong cilik. Kita semua tahu, rakyat yang selama ini resah soal kenaikan harga minyak goreng, kenaikan harga bahan bakar minyak, kenaikan tarif dasar listrik, itu semua adalah persoalan riil; problemnya wong cilik.
Masyarakat bawah yang dilabeli wong cilik ini sebagian besar adalah perokok. Tidak berarti rokok itu identik dengan kebiasaan orang miskin, ataupula golongan tani yang Bung Karno sebut dengan istilah Marhaen. Bukan. Bukan itu.
Rokok adalah produk legal. Produk tembakau ini menjadi medium relaksasi yang terjangkau di masyarakat. Merokok sering dijadikan sebagai sarana pelipur penat di tengah kondisi yang serba menekan. Di tengah persoalan tuntutan kebutuhan hidup yang terus meningkat dan sedikit banyak bikin stress. Rokoklah penetralnya.
Artinya, merokok adalah salah satu alternatif untuk mengeliminir potensi bencana yang lebih serius yang disebut depresi sosial. Bukan berarti bencana kebakaran di pemukiman bukan masalah yang pantas diabaikan. Perkara kebakaran itu di antaranya terjadi akibat dari keteledoran penggunaan kompor. Itu satu hal.
Katakanlah, jika semua masyarakat sudah punya perangkat APAR di dapurnya masing-masing. Apakah dengan begitu potensi kebakaran akan tereliminasi? Tentu tidak juga. Perkara kebakaran itu yang paling mendasar harus diatasi dengan sikap yang tenang. Termasuk halnya dalam penggunaan alat penangkal kebakaran.
Misalkan nih ya, kebakaran terjadi di rumah saya akibat kebocoran gas melon, amit-amit deh jangan sampai ah, di rumah saya sudah siap dengan sekurangnya karung basah atau keset basah untuk menangkal potensi api.
Tetapi, ketika menghadapi kecelakaan saya malah terbawa panik. Emosi saya tak karuan. Haiya percuma saja toh. Alat secanggih apapun tanpa disertai kesiapan mental yang terukur, seketika malah malfungsi. Boleh jadi, perangkat APAR itu sendiri malah menambah beban lain.
Terus terang, saya nyatakan ini bukan berarti mendiskreditkan fungsi dari APAR maupun itikad baik Ibu Mega. Justru, lebih didasarkan pada ketakjuban saya atas pernyataan Ibu Mega yang absurd itu. Menyindir perkara belanja rokok bapak-bapak membandingkannya dengan urusan membeli alat pemadam api ringan.
Wajar dong kalau saya kemudian menilai, sudahlah Ibu Mega tidak memberi solusi terkait isu minyak goreng, saya jadi berpikir konyol; sebetulnya ibu ini politisi atau juru promosi sih?