tembakau bpom
OPINI

Makruh Karena Memikirkan BPOM di Bulan Ramadhan

Siang itu semakin bertambah panas rasanya bagi Rifqi setelah melihat berita di kanal-kanal media tentang PP 109. Hampir semua media arus utama memberitakan tentang PP 109 yang akan resmi diberlakukan beberapa bulan setelah saya dan Rifqi menghabiskan beberapa batang rokok kretek di sebuah warkop sederhana di utara Jogja.

Gelombang protes dari para stakeholder tembakau juga tidak kalah ramai muncul di media. Mereka memprotes dengan keras, penerapan peraturan itu akan berimbas sangat besar bagi banyak orang, bagi jutaan orang yang terlibat secara langsung di hulu-hilir industri pertembakauan.

Wajah Rifqi terlihat merengut, mungkin di kepalanya sedang terbayang efek jangka panjang dari PP 109 ini kepada banyak orang yang terlibat di sektor IHT. Belum lagi betapa menyebalkan kalau bungkus rokok harus terpampang gambar seram seperti yang kita lihat sekarang. Saat itu saya tidak tahu kalau gambar seram yang dimaksud adalah gambar yang kita lihat tiap hari di bungkus rokok seperti hari ini.

Saya pikir hanya orang yang sakit gigi karena dianggap akibat dari rokok atau mungkin bisulan? Tapi setelah peraturan itu diberlakukan, gambarnya cukup membuat saya pusing dan memilih untuk mencoret-coret di bagian gambar seram itu. 

Itu kali pertama juga saya tahu kalau Rifqi aktif sebagai orang yang rajin membela hak konsumen rokok atas diskriminasi yang terus muncul di tahun itu untuk melawan tembakau yang disebut sebagai sumber segala penyakit yang ada di negara ini.

Saya hanya bisa mantuk-mantuk, melongo, dan menjawab sekedarnya saat Rifqi menjelaskan siapa dia yang aktif dan ikut bergabung di Komunitas Kretek

Mendengar penjelasannya, amarah saya seperti naik-turun mendengarkan bagaimana kelompok anti rokok menggabungkan kampanye mereka di media, terbantu dengan lembaga-lembaga yang di kemudian hari ada yang terbukti didanai oleh “donatur” yang tidak suka dengan tembakau, ada juga lembaga yang ingin menguasai pasar tembakau menjadi produk olahan selain rokok dan sudah tentu akan menguntungkan pihak mereka. 

Bertahun-tahun kemudian saya yang sudah belajar perlahan tentang dinamika yang terjadi di Industri Hasil Tembakau sejak pertama kali mengenal Rifqi di tahun 2012, menemui banyak kejanggalan atau kelemahan dari setiap kampanye yang muncul tentang bahaya rokok. Ada alasan dari kampanye yang rasional, ada yang memaksakan sampai ada  narasi yang kemudian menjadi blunder, padahal narasi tadi sudah sedemikian rupa dibuat menggunakan bahasa ilmiah tapi kalau dicermati lebih dalam, hanya menggunakan dasar penelitian dan data yang itu-itu saja lalu kemudian dimodifikasi sesuai keperluan. 

Itu soal kampanye, belum lagi beberapa pejabat pemerintah yang menggunakan posisi dan jabatannya untuk mengambil keputusan dan membuat peraturan yang berpihak kepada kelompok anti rokok dengan tujuan membuat Industri Hasil Tembakau semakin dikerdilkan. Kalau kita cermati juga lebih dalam, maka irisan-irisan kepentingan akan kita temukan, entah itu didasari kepentingan politik, titipan atau sekedar jejaring “pertemanan” yang akan saling menguntungkan atau bahkan hubungan keluarga. Ini tidak asal ngomong, ya. Kalau kalian mau gali lebih dalam, di soal hubungan keluarga, ada kok pejabat pemerintah yang entah itu kebetulan atau tidak, berstatus sebagai suami-istri dengan salah satu tokoh anti rokok.

Ketidakpercayaan saya terhadap banyak hal mengenai isu-isu kesehatan terutama soal rokok ada dasarnya, dan sangat banyak. Yang saya sampaikan tadi itu hanya sebagian kecil dari dinamika kampanye anti rokok sepanjang saya mulai belajar mengenai isu tembakau ini. Posisi saya juga tidak berada terus menerus di salah satu pihak, kalau memang yang pro rokok salah, ya saya bilang mereka salah.

petani tembakau

Sebaliknya juga begitu, kalau anti rokok memang memiliki landasan kuat dan punya data yang benar, saya akan akui itu benar. Bukan terus ditutupi lalu tidak peduli dengan apa yang dilakukan kedua belah pihak tadi. 

Hanya saja sampai hari ini, ada saja “kelucuan” yang muncul dari orang atau lembaga yang tidak suka dengan produk olahan tembakau. Dalam hal ini tentu yang dibahas adalah rokok.

Satu contoh gampang yang baru terjadi seminggu ini adalah sebuah statement dari BPOM yang disampaikan oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM, Ibu Mayagustina Andarini tentang pelarangan menjual rokok eceran oleh seluruh retail di Indonesia.

Alasan Ibu Mayagustina kemudian menjadi kutipan dan disebarluaskan oleh salah satu media akhirnya sempat ramai menjadi perbincangan di media sosial, Ibu Mayagustina mengatakan; “Karena kan daripada membeli satu bungkus, membeli eceran lebih murah.

Jadi bagi orang miskin dan juga anak-anak yang uang sakunya terbatas bisa lebih terjangkau, sehingga dia mampu untuk membeli. Padahal kan sudah jelas bahwa merokok untuk anak-anak tidak boleh, tapi karena murah dan ingin coba-coba, ini memberikan peluang.”

Agak aneh kalau tiba-tiba BPOM mengurus segala hal sampai sejauh itu, padahal masyarakat bisa mencari dengan mudah di internet tentang tugas kerja dan kewajiban dari BPOM, dan mengurus soal rokok eceran itu bukan kewenangan mereka, lagipula ada lembaga lain yang bisa mengerjakan, kenapa BPOM harus mengurus soal rokok eceran dan bahkan mendukung soal wacana simplifikasi tarif cukai rokok di Indonesia. 

Saya yang sedang menikmati rasa haus di siang hari karena berpuasa dan sedang membayangkan berbuka dengan kolak pisang bercampur es batu lalu kemudian ditutup dengan nyebat, mendadak sedikit terganggu dengan kemunculan berita mengenai dukungan BPOM di 2 hal tadi. Sambil mengenang pertemuan saya dengan Rifqi, saya mencoba menebak ada angin apa tiba-tiba BPOM bersuara mengenai rokok. Dugaan A, B dan C kemudian muncul berbarengan dengan imajinasi kolak pisang tadi. Makruh.