tradisi adu bako masyarakat
REVIEW

Sejak Era Siliwangi, Tradisi “Ngadu Bako” Masyarakat Sunda Tetap Lestari

Tradisi Ngadu Bako lestari sejak dulu hingga kini.

Memang tidak populer, jadi wajar kalau banyak orang tidak tahu tentang budaya “ngadu bako”. Kalau anda jalan-jalan ke Bandung di sudut jembatan Cikapundung tepatnya pada Jalan Karapitan pas di pinggir selatan jalan akan anda temui salah satu tempat untuk “ngadu bako”. Ternyata budaya ini punya akar sejarah kuat bagi masyarakat Sunda. 

Sederhananya, “ngadu bako” banyak masyarakat sunda memaknai “saling mencicipi daun tembakau”. Memang terjadi pergeseran makna saat ini dengan kali pertama muncul istilah “ngadu bako”. Akan tetapi saling mencicipi tembakau menjadi tradisi masyarakat Sunda yang tetap lestari hingga sekarang.

Sekitar tahun 1950-an istilah “ngadu bako” muncul bersamaan istilah “pastur”. Dua istilah yang berbeda, tetapi saling berkorelasi. 

Jelasnya begini, pada tahun tersebut batalyon Siliwangi mengirim prajuritnya pergi ke kampung-kampung. Tentunya sudah terbagi tiap prajurit mendapatkan tugas ke kampung mana. Prajurit yang mendapatkan tugas pada umumnya bertempat tinggal di teras atau serambi depan rumah salah satu penduduk. Dalam bahasa Sunda teras depan rumah disebut “tepas”, sehingga mereka terkenal dengan sebutan “pastur” atau “tepas batur – serambi rumah tetangga”. 

Saat menjadi pastur tugas utamanya berkeliling ke rumah-rumah warga untuk menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan penduduk setempat. Tujuan utamanya tak lain menjaga keamanan dan keselamatan  warga kampung dari ancaman pemberontakan DI/TII yang saat itu menggeliat.

Saat bertugas, para prajurit ternyata membawa tembakau sebagai media pendekatan dengan penduduk setempat. Ternyata penduduk pun demikian, sudah terbiasa menyediakan tembakau di rumahnya. Sehingga saat prajurit datang yang kali pertama disuguhkan tak lain adalah tembakau sebelum suguhan lainnya. 

Mereka –prajurit dan warga– terjadi saling menawarkan tembakaunya masing-masing. Kemudian terjadilah saling tukar dan saling mencicipi tembakau. Nah, kejadian inilah sehingga muncul istilah “ngadu bako” dikalangan obrolan prajurit Siliwangi. 

membeli tembakau

Dan benar, dengan ngadu bako antara prajurit dan warga masyarakat Sunda terjalin komunikasi dengan baik, terjalin hubungan erat penuh kekeluargaan. Dengan mudah prajurit Siliwangi mendapatkan banyak informasi tentang pergerakan dan kekuatan DI/TII. 

Walaupun DI/TII secara resmi sudah dibubarkan pemerintah, namun istilah “ngadu bako” ternyata masih melekat di hati warga. Ada nilai-nilai tersendiri dalam praktek “ngadu bako”, tidak hanya sekedar saling mencicipi, akan tetapi ukhuwah basyariyah –  mempererat persaudaraan-  terjalin dengan baik. Nilai inilah yang memperkuat tradisi “ngadu bako” tetap lestari hingga sekarang.

Istilah “ngadu bako” saat ini,  digunakan masyarakat untuk berkumpul bersama tanpa sekat. Yang muda, tua, kaya, tidak kaya berkumpul di warung, toko kelontong, bahkan di depan supermarket pinggir jalan saat ketemu dan nongkrong, mereka saling tukar tembakau dan saling menghisap tembakau sambil ngobrol dan bercanda gurau. 

Uniknya, ternyata aktivitas “ngadu bako” yang dilakukan dipinggir jalan ini, juga terjadi transaksi jual beli tembakau. Sehingga orang yang datang di Jln. Karapitan ini, ada tiga karakter. Ada yang berniatan berjualan tembakau beserta kawung – daun sebagai media pembungkus tembakau–, ada yang berniat membeli untuk dibawa pulang, ada juga yang hanya nongkrong menikmati tembakau sambil ngobrol. 

Sebagai penjual tentunya sudah menyiapkan beberapa jenis tembakau untuk dicicipi warga. Pembelipun demikian, sebelum memastikan dan memantapkan pilihannya, ia harus mencicipi beberapa tembakau. Baru setelah jatuh pilihan, ia akan membeli tembakau dan dibawa pulang. 

Bagi orang yang hanya ingin nongkrong dan ngobrol sama sekali tidak dilarang untuk mencicipi. Sampai-sampai mencicipi berulang kali pun tidak dipermasalahkan. Justru keberadaan mereka menambah manfaat menjadi ramai sehingga bisa menjadi media pemikat orang lain untuk datang dan meramaikan situasi ngadu bako.

Lain itu, ramainya orang datang dan ngobrol menambah wawasan dan informasi bagi yang datang dalam segala hal, terlebih informasi terkait perekonomian dan perkembangan politik daerah hingga nasional bahkan internasional. 

Perdebatan kecil pun terkadang tidak terelakkan. Dengan bahan dan argumen yang dimiliki menjadi tambah seru. Bagusnya perdebatan tersebut hanya sebuah perbedaan pandangan dan wacana saja. Tidak ada perdebatan yang memunculkan perselisihan menuju pertengkaran. Mereka sudah paham betul bahwa di area “ngadu bako” adalah tempat untuk hiburan. Bahkan tidak jarang ditemui obrolan-obrolan atau celetukan-celetukan lucu yang membahagiakan.

Kalaupun ada pergeseran ritual tradisi “ngadu bako” dulu dengan kekinian, namun semangat silaturahmi, semangat kebersamaan, semangat saling tukar informasi atau sharing pendapat tetap ada. Dengan budaya“ngadu bako” komunikasi lebih cair dan membahagiakan bagi masyarakat Sunda.