Pencarian Edy Supratno terhadap jejak Haji Djamhari yang tersohor sebagai penemu kretek menempuh jalan berliku. Nama Haji Djamhari banyak disebut dalam berbagai literatur yang membahas rokok khas Indonesia tersebut.
Tetapi, literatur yang ada hanya menyebut Haji Djamhari secara sekilas bahwa ia terkena bengek lantas mencampur cengkeh dalam lintingan tembakaunya, kemudian dari isapan demi isapan tersebut nyatanya mampu menyembuhkan sakit bengek.
Rokok yang ditemukannya lantas populer dan sekarang menjadi satu-satunya produk yang bisa disebut sebagai sokoguru perekonomian Indonesia karena dari industri ini menyatukan berbagai sumber daya dalam negeri dan memiliki nilai tambah yang besar bagi bangsa.
Upaya Edy Supratno dalam mencari jejak Haji Djamhari membuatnya membuka data kolonial yang berkaitan dengan keberangkatan Djamhari ke tanah suci sehingga mempunyai gelar ‘Haji’.
Di Jaman kolonial gelar haji tidak sembarangan diberikan karena sebelum berangkat ke tanah suci seseorang yang hendak pergi berhaji meski melapor dahulu kepada Bupati. Ini merupakan upaya pemerintah Belanda untuk melakukan kontrol orang-orang yang pergi berhaji sekaligus sebagai upaya memajukan bisnis pelayaran ke Tanah Suci oleh Pemerintahan Belanda yang dimulai sejak 1873.
Walaupun Edy Supratno tidak menemukan jejak Haji Djamhari dalam catatan perjalanan yang tercatat di arsip Belanda. Namun, dia berhasil mengungkap fakta menarik yang dikutip dari M. Shaleh Futuhena dalam buku ‘Histiografi Haji Indonesia’ di mana jamaah haji yang berangkat di masa-masa itu sangat dipengaruhi oleh hasil pertanian.
Jamaah haji dari Jawa-Madura memperoleh biaya dari padi dan tembakau. Sedangkan dari Sumatera dari hasil padi dan ada, serta kopi khusus wilayah Sumatera Timur. Jamaah dari Sulawesi membiayai haji dari hasil menjual kopi, kelapa, dan kopi. Dari Maluku, mereka yang berangkat haji dari hasil menjual pala dan cengkeh. Pada tahun itu yakni 1989 biaya berhaji hanya setara 10 kilogram cengkeh. Sementara harga sekilo cengkeh dihargai f.50.