rokok perempuan tegar
OPINI

Sebatang Rokok Perempuan Tegar

Sebatang rokok dan perempuan tegar.

Sepertinya memang tidak ada orang yang bermimpi mengarungi samudera kehidupan seorang diri. Terlebih, apabila ia telah mengikat janji sudah dan senang bersama-sama dengan seorang yang dicintainya. Tetapi kenyataan berkehendak beda padanya. Suaminya telah meninggalkannya terlebih dahulu.

Lelaki yang  tiga-empat tahun lalu aroma tubuhnya memenuhi setiap relung ruang jiwanya, yang tatapan matanya adalah sambutan hangat, kini serupa kerak lumut di rongga dada. Kehilangan suaminya seakan-akan badai yang datang tiba-tiba lantas menyisakan kekacauan di sana-sini. Ia terpukul. Setelahnya, hari-harinya berlalu lambat.

Hanya dari menatap wajah orang-orang yang mengembalikan ingatannya ia kelelahan. Dan semua kelelahan itu terakumulasi, karena ia meski memenuhi keinginan mereka agar menjalani hari-hari secara wajar.

Ia pemilik segala luka. Bila saatnya ia sadar dari pelarian panjangnya, ia gemetar, sebab hari yang dilaluinya benar-benar berbeda. Ia memahami hari depan yang mau tak mau meski ia lalui. Sebuah jalan yang dengannya segenap energinya membeku, dan hitungan matematika sama sekali tidak bisa memberi kepastian. Ia telah membiarkan sebuah kisah mengalir, memulihkan dendam yang lama terpendam.

Di punggung hari, biasanya ia hiasi dengan saling bertukar kisah, kini berganti riwayat perjalanan yang teramat melelahkan. Sebuah perjalanan dari keberangkatan, tapi rindu pulang. Sebuah persimpangan. Tapi persimpangan itu terang oleh ingatan, di dalamnya berbagai peristiwa berulang-ulang. Di senyap malam, langit di kepalanya menukar warna hitam dengan jingga, kuning, dan ungu. Di awal sebuah hari, atau di pucuk hari, ia tak pasti. Seakan baru setengah memulai perjalanan, cerita tiba-tiba dihentikan secara paksa oleh keadaan.

sebatang perempuan tegar

Ia terdiam sejenak memperhatikan sekitar, menatap sekeliling, seakan tengah membaca sesuatu di antara orang-orang berlalu lalang. Ia menengadah, menatap sebuah puncak gedung tinggi, bias sinar kacanya yang berpendaran dengan sekelompok bentuk yang tak kau mengerti. Hingga ia beralih menatap batu-batu trotoar yang bersusun-susun di dekat kakinya. Dalam kesendirian ia kerap jatuh, kemudian bangkit lagi. Dari seluruh warna di hidupnya, hanya satu yang tak lepas, dari jepitan jari-jemarinya. Sebatang rokok yang saat mulai tandas segera ia menyulut batang lainnya.

Rokok telah jadi separuh jiwanya. Ia tak begitu peduli dengan berbagai anggapan rokok yang selalu melekat di jemarinya. Ia tak risau berbagi kisah dengan kepulan asap yang menghembus dari sela bibirnya, segumpal asap putih yang kemudian menguap ke udara. Ia memendam bacaan lain, bacaan yang hanya ia sendiri mengerti, bacaan itu dalam dirinya. Bacaan itu ia maknai sebagai imaji yang selalu tertawa dalam mimpi.

Dalam pada itu, ia teringat suaminya, ketika menghembuskan asap putih dari sebatang rokok yang dihisapnya. Sepertinya suaminya dalam benaknya tak pernah merasa suntuk dengan persoalan pekerjaan di luar rumah. Ia tak pernah merasa risau jika pendamping hidupnya dalam hubungan yang meruncing, akibat perselingkuhan dengan teman sekantornya telah ketahuan. Suaminya ia pahami mengartikan hembusan asap rokok dari sela hidung dan bibir sebagai pelepasan, pelepasan dari sesuatu yang penat di rongga dada.

Menghabiskan malam, selepas menemani sang buah hatinya belajar, adalah hal yang teramat indah. Biasanya setelah buah hatinya tidur ia lantas menghidupkan televisi, menyeduh kopi dan menyambar sebungkus rokok.

Menyaksikan siaran televisi seperti itu, ada senyum kecil menyungging di bibirnya. Baginya, kebijakan pemerintah, atau berbagai peraturan yang menyertainya, tak sebanding dengan rencana dan harapan-harapannya yang ia bangun untuk terus melanjutkan hidupnya. Tapi ia tahu setiap peristiwa yang berkelindan di luar kehidupan nyatanya sewaktu-waktu dapat memperdayanya. Maka dari peristiwa-peristiwa, ia maknai ribuan gumam hening, yang datang dari sunyi hidupnya yang lahir dari rimbun pikiran dan perasaannya.

Ketika itu larut malam merayap. Ia mengusap kening si buah hati. Ah, maafkan ingatan-ingatan ini, nak. Dalam pengakuannya, ia hanya teringat lelaki yang telah diusirnya itu sesaat setiap membelai kening putri kecilnya. Ingatan itu seperti terpantul dari kening pualam yang ia sentuh. Lalu merayap melalui jemari hingga pergelangan tangannya. Tapi ia bersumpah tak akan pernah memimpikannya. Menurutnya, dia hanya sebongkah batu-batu hitam, di mana air menetes sepanjang waktu, dan tinggal waktu yang akan memberitahu, kapan saatnya batu itu rekah dan lebur menjadi pasir.

Biasanya, malam seperti itu akan kandas bersama dirinya yang mengukuhkan harapan esok hari dalam menjalani kehidupan. Untuk suatu sebab yang diyakininya begitu rupa hingga bertaruh nyawa, karena ada bekas luka lain di jiwanya.

Ia, perempuan rasional. Ia memaknai hidup bersama televisi dan kepulan asap rokok di ruang tengah rumahnya. Dengan jari-jemarinya yang selalu lekat di bibirnya sendiri membuka jalan pada pintu-pintu ya g kerap tertutup. Ia tidak berharap banyak. Ia hanya ingin menanamkan kebanggan dari lubuk hati yang paling dalam. Dengan hembusan asap rokok terakhir dari sela bibirnya Ia menatap hari depan dengan lebih tegar.