Tembakau Cerutu Besuki NO menjadi salah satu tembakau yang mengharumkan nama negara di mata dunia, termasuk mengangkat perekonomian bangsa.
Sejak tahun 1863, pengembangan tembakau bahan cerutu di Indonesia terpusat di tiga areal Tembakau yaitu di Deli (Sumatera Utara), di Klaten (Jawa Tengah), dan di Eks Karesidenan Besuki (Jawa Timur) (Dutch Tobacco Growers, 1951).
Tentunya pemilihan lokasi areal pengembangan tersebut didasarkan pada kondisi agroekologi yang sesuai untuk memproduksi tembakau bahan cerutu. Namun demikian dalam sejarahnya, ternyata pemilihan pusat-pusat penanaman tersebut semula ditujukan untuk memproduksi tembakau rajangan bahan baku rokok putih (Dutch Tobacco Growers, 1951).
Dalam perkembangan selanjutnya, areal terluas penanaman tembakau cerutu (sekitar 80% dari total areal penanaman) berada di daerah Eks Karesidenan Besuki, terutama di Kabupaten Jember. Di Deli dan Klaten, seluruh areal tembakau cerutu dikelola oleh perkebunan besar Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedangkan sebagian besar tembakau cerutu di Eks Karesidenan Besuki dikelola oleh petani.
BUMN hanya mengelola tembakau cerutu di daerah Jember Utara, yang hasil utamanya adalah tembakau untuk pengisi cerutu (filler) dan untuk pembalut cerutu (omblad). Jenis tembakau tersebut dikenal sebagai tembakau besuki na-oogst (Besno). Sedangkan tembakau cerutu rakyat, sebagian besar dikembangkan di daerah Jember Selatan. Di daerah Jember Selatan, tembakau cerutu ditanam pada akhir musim hujan dan dipanen pada musim kemarau.
Oleh karena itu jenis tembakaunya dikenal dengan sebutan tembakau cerutu besuki tanam awal (Besnota). Hasil mutu utamanya adalah tembakau omblad dan dekblad. Harga tembakau mutu dekblad dan omblad lebih tinggi daripada tembakau mutu filler. Dekblad dari tembakau Besnota walaupun persentasenya kecil, mempunyai sifat aromatik karena ditanam pada lahan terbuka sehingga memperoleh intensitas sinar matahari tinggi.
Oleh karena itu pengembangan tembakau cerutu besuki NO berkembang ke daerah Jember Selatan Proyeksi areal tembakau cerutu besuki saat ini mencapai 5.000 ha yang terdiri atas 4.000 ha tembakau Besnota di daerah Selatan, dan 1000 ha Besno di daerah Utara. Selain itu, di Jember juga ditanam tembakau cerutu TBN (Tembakau Bawah Naungan), yang menghasilkan mutu pembalut cerutu dengan karakteristik rasa netral. Kebutuhan TBN saat ini menurun dari 1.200 ton menjadi 720 ton, karena konsumen banyak beralih ke cerutu cigarillos.
Tembakau cerutu kecil ini memerlukan mutu dekblad Besnota dengan rasa yang kuat dan mempunyai karakter aromatik. Dengan demikian peranan Jember Selatan sebagai penghasil tembakau dekblad pada lahan terbuka makin penting, karena tembakau yang dihasilkan mempunyai rasa dan aroma yang lebih kuat. Namun demikian daerah Jember Selatan yang merupakan daerah pengembangan baru, memerlukan dukungan teknologi yang sesuai dengan karakteristik kondisi agroekologinya. Ketersediaan teknologi dari daerah Utara yang sudah lama berkembang, kurang sesuai diterapkan di Jember Selatan, karena kondisi wilayahnya yang berbeda.
Dalam tulisan ini diuraikan tentang pengembangan tembakau besuki NO di daerah Jember Selatan, permasalahan pengembangan di daerah baru, dan perlunya teknologi yang sesuai dengan kondisi agroekologi di wilayah pengembangan. Mengingat tembakau cerutu besuki NO merupakan komoditi ekspor, tulisan ini mungkin dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi untuk meningkatkan hasil dan mutu tembakau cerutu besuki NO di Jember Selatan.
Pengembangan Tembakau Cerutu Besuki di Jember Selatan
Di Kabupaten Jember, semula sentra penanaman tembakau besuki NO adalah daerah Jember Utara. Daerah ini dikenal dengan penghasil tembakau bahan cerutu dengan mutu filler, yang sangat dibutuhkan oleh pasar Eropa (Lembaga Tembakau, 1999, Damberger, 2000). Mutu filler yang dihasilkan mempunyai sifat aromatik, elastistas tinggi, dan rasa ringan (Rachman et al., 2000).
Namun dalam perkembangannya, penanaman tembakau besuki NO di daerah Jember Utara mulai berkurang dan bergeser ke daerah Jember Selatan. Beberapa penyebab bergesernya areal penanaman tembakau besuki NO, antara lain 14 Volume 7 Nomor 1, Juni 2008 : 12 – 19 adalah menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya infestasi penyakit (Rachman et al., 2001).
Hal ini dapat dimengerti karena usahatani tembakau di daerah ini sudah dilakukan hampir selama satu setengah dekade, disertai dengan pengolahan lahan dilakukan dengan intensif dan pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. Namun demikian masih belum terdapat informasi kuantitatif mengenai laju penurunan kesuburan tanah dan meningkatnya infestasi penyakit tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa observasi laju produksivitas lahan dan serangan penyakit, belum mendapat perhatian dalam budidaya tembakau cerutu besuki NO.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa pengolahan tanah yang dilakukan secara terus menerus secara intensif telah menurunkan kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah.
Contohnya, pengolahan tanah yang dilakukan lebih dari sekali sampai tiga kali meningkatkan aliran permukaan, dan menurunkan kadar C organik tanah dan stabilitas agregat tanah pasir di New South Wales, Australia (Packer et al., 1992), sehingga tanah mudah tererosi. Demikian pula, pengolahan tanah yang dilakukan secara terus menerus telah mengakibatkan penurunan bahan organik tanah dan menyebabkan partikel tanah menjadi lebih halus pada enam jenis tanah di Queensland bagian Selatan (Dalal dan Meyer, 1986), sehingga memungkinkan tanah menjadi padat dan mengeras. Sedangkan penggunaan bahan kimia secara terus menerus untuk pengendalian penyakit, kemungkinan akan meningkatkan resistensi pada berbagai bakteri dan jamur penyebab penyakit (Dalmadiyo dan Yulianti, 2005).
Penurunan kesuburan lahan dan meningkatnya serangan penyakit di daerah Jember Utara menyebabkan rendahnya produksi tembakau yang dihasilkan, meskipun mutu filler yang dihasilkan masih lebih tinggi daripada mutu filler yang dihasilkan dari daerah Jember Selatan (Rachman et al., 2000). Rata-rata produksi tembakau di daerah ini kurang lebih hanya separuh (791 kg krosok/ha) dari rata-rata produksi tembakau yang dihasilkan di Jember Selatan, yaitu sebesar 1555 kg krosok/ha (Rachman et al., 2000).
Namun demikian, karena harga tembakau mutu filler lebih rendah daripada harga tembakau mutu dek-blad dan om-blad, menyebabkan petani di daerah Jember Utara kurang berminat menanam tembakau besuki NO (Santoso, 1992). Sebaliknya, tembakau besuki NO yang ditanam di daerah Jember Selatan berpotensi tinggi untuk menghasilkan mutu dekblad dan om-blad. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi agroekologi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tembakau untuk berproduksi dan bermutu tinggi. Daerah Jember Utara mempunyai topografi bergelombang dengan tingkat kemiringan lahan 8-15% (Rachman et al., 2002).
Dengan topografi yang demikian, bila pengolahan tanah dilakukan secara intensif secara terus menerus mungkin menurunkan stabilitas agregat dan mengurangi porositas tanah, serta meningkatkan erosi tanah, yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah. Total curah hujan di daerah Jember Utara lebih tinggi (1888 mm/tahun) daripada curah hujan di Jember Selatan (1230 mm/tahun) (Rachman et al., 2000). Curah hujan yang tinggi tersebut sangat dibutuhkan oleh tembakau besuki NO untuk mencuci zat-zat perekat dan garam-garam hasil sekresi yang menempel di permukaan daun (Hartana, 1978).