Artikel ini melanjutkan artikel sebelumnya, Farmasi Besar Bergelimang Dolar
Sejak 1997, ketika FDA melonggarkan pembatasan iklan radio dan televisi untuk obat-obatan resep, perusahaan-perusahaan farmasi besar semakin mengarahkan pemasarannya langsung kepada konsumen (DTC; direct to consumer) untuk mendongkrak laba.
“Perusahaan-perusahaan farmasi membelanjakan $1,8 miliar untuk iklan ‘langsung ke konsumen’, sebagian besar lewat televisi. Pengeluaran iklan pada 1999 meningkat sebesar 38,5% dari $1,3 miliar yang dikeluarkan pada 1998, dan 33 kali jumlah yang dikeluarkan untuk iklan media pada 1991.”Fred Charatan, “Prescription drug sales boosted by advertising,” BMJ, 321, Sept. 30, 2000, p. 783.
Dan tampaknya upaya itu membuahkan hasil. Sesudah perusahaan-perusahaan obat menggugurkan dana yang makin besar untuk iklan televisi yang langsung menyasar konsumen, belanja obat pun membengkak luar biasa, dan besarnya peningkatan itu disebabkan oleh peningkatan penjualan obat-obatan resep yang diiklankan dengan gencar.
Para dokter menulis resep 34,2% lebih banyak pada tahun 1999 dibandingkan tahun 1988 untuk 25 macam obat yang dipromosikan langsung kepada konsumen, yang menyumbang angka terbesar belanja obat keseluruhan. Para dokter hanya menulis resep 5,1% lebih banyak untuk obat-obatan resep selain yang di atas. Charatan, BMJ, Sept. 30, 2000. hlm. 783.
Namun, sejumlah dokter dan organisasi pemantau industri menjadi kian waspada terhadap pengaruh siasat industri obat yang beriklan langsung kepada konsumen itu. Mereka mengungkapkan, bukan hanya semua jenis obat—terutama obat resep—selalu memiliki efek samping negatif, namun bombardir iklan obat yang terus-menerus itu menciptakan kesan bahwa seolah-olah mengonsumsi obat itu “wajar”.
“Ini bahaya tersembunyi; perusahaan-perusahaan ingin Anda merasa ada yang tak beres pada diri Anda. Pada dasarnya yang mereka katakan, ‘Jika Anda punya masalah, cara mengatasinya adalah dengan minum pil.’ Ini juga berarti menjadikan sesuatu yang sebetulnya tidak jadi masalah bagi Anda, lantas ‘menjadi masalah medis’, seperti kebotakan yang biasa terjadi pada pria atau rasa malu. Sekali Anda tergoda mengonsumi obat, ia lantas menjadi masalah medis.”Dr. Joel Lex Chin, seorang dokter Toronto dan anggota Medical Reform Group. Dikutip dalam Candis McLean, “The real drug pushers,” Report Newsmagazine, Mar 19, 2001.
Orang Amerika tampaknya selalu siap menenggak pil untuk meringankan apapun yang menurut mereka jadi masalah, dari rasa murung hingga rambut menipis atau berhenti merokok atau meningkatkan gairah seksual atau menurunkan berat badan atau mendiamkan anak bandel. Walau tak satupun masalah itu yang sungguh-sungguh merupakan penyakit pada dirinya sendiri, iklan obat menyarankan bahwa hal-hal itu perlu “penanganan” dengan menggunakan salah satu “obat” mereka.
Selain menambah jumlah obat-obatan “gaya hidup” yang sangat menguntungkan itu, industri farmasi juga menanam modal pada fokus kedokteran saat ini, yakni pada pencegahan, dengan mengeluarkan lebih banyak obat yang dirancang untuk mencegah penyakit, seperti obat untuk menurunkan kolesterol dan tekanan darah dan sejumlah besar vaksin.
Walaupun sebagian obat-obatan itu memang membantu mencegah penyakit untuk sebagian orang, obat-obatan itu kadang diresepkan ketika tidak ada kebutuhan yang jelas dan mendesak untuk menggunakannya (atau ketika panel semi-pemerintah yang bersahabat dengan industri obat melonggarkan batasan tentang apa yang dinamakan tekanan darah tinggi atau kolesterol tinggi).
Bahkan obat beracun yang mahal seperti obat-obatan kemoterapi kadang dipakai tanpa alasan yang memadai, walaupun sudah jelas dampak sampingnya.
“Banyak pasien kanker yang menjalani kemoterapi pada saat-saat akhir hidupnya, bahkan walaupun jenis kankernya sudah diketahui tidak responsif terhadap obat-obatan, demikian menurut kajian yang dilaporkan pada pertemuan tahunan American Society of Clinical Oncologists baru-baru ini di San Francisco.” Gottlieb S, “Chemotherapy may be overused at the end of life,” BMJ, 322, May 26, 2001, p. 1267. Dr. Ezekiel Emanuel, penulis utama kajian itu, juga mengatakan bahwa kemoterapi sangat mahal, $38.308 untuk menangani pasien pada saat-saat terakhir hidupnya, dibandingkan dengan $27.567 untuk pasien yang tidak berada di saat-saat terakhir hidupnya.
Walaupun upaya mengatasi kanker yang sudah diketahui tidak responsif terhadap kemoterapi itu dengan obat-obatan mungkin tidak membuahkan hasil apapun untuk membantu pasien yang menderita, namun tindakan itu jelas membuahkan laba bagi perusahaan farmasi yang menyediakan obat.
Faktanya adalah bahwa semua obat, bukan hanya obat kemoterapi, memiliki potensi dampak sampingan yang serius, dan tidak satupun obat yang boleh diresepkan kecuali benar-benar diperlukan bagi kesehatan
dan keselamatan pasien. Bahkan juga tak boleh diberikan walaupun si pasien bersikeras meminta obat itu dikarenakan ia melihat ceceran iklan televisi dan merasa yakin bahwa obat ajaib yang diiklankan itu akan menyembuhkan semua rasa sakit dan kecemasan.
Efek samping dan salah obat “Obat resep… bertanggung jawab atas lebih banyak kematian setiap tahun dibandingkan semua kasus pembunuhan, kecelakaan mobil dan kecelakaan pesawat digabungkan jadi satu. Diperkirakan, 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat dampak merugikan obat resep, dan 1 juta menderita sakit parah sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Thomas Moore, “Prescription drug risks are too high,” The Miami Herald, April 12, 1998, p. 6L.
“Diperkirakan bahwa akibat fatal yang secara langsung disebabkan oleh reaksi obat yang merugikan menempati peringkat keempat hingga keenam penyebab utama kematian di berbagai rumah sakit di AS, melampaui kematian yang disebabkan pneumonia dan diabetes. Beban ekonomi
yang timbul karena kondisi tidak sehat dan kematian ini juga signifikan dan menurut hitungan konservatif diperkirakan mencapai $US 30 miliar per tahun, dan bisa melampaui $US 130 miliar pada skenario yang terburuk.” White TJ, Arakelian A, Rho JP, “Counting the costs of drug-related adverse events,” Pharmacoeconomics, 15(5): 445-58, May 1999.
“David Lawrence, CEO Kaiser Permanente, HMO (Health Maintenance Organization) tertua di negeri ini, menyebut salah obat merupakan ‘risiko kesehatan publik nomor satu di Amerika Serikat, di atas tembakau, alkohol, obat-obatan [terlarang], atau senjata api.” Ted Sandoval, “Cutting Medication Errors Requires Proactive Steps,” Web MD, Medcast, June 20, 2000.
Semua obat memiliki efek samping negatif, bahkan aspirin juga. Namun, obat-obatan resep memiliki potensi yang jauh lebih berbahaya daripada obat-obatan bebas. Kebanyakan orang yang memakai obat-obatan itu sesuai petunjuk dokter tidak mengalami efek samping serius, namun sebagian orang lain mengalaminya.
Sebagian orang mengalami reaksi alergi yang parah, sebagian mengalami serangan jantung atau kejang, dan sebagian lagi mengalami kerusakan organ dikarenakan obat resep yang mereka gunakan. Salah satu masalah serius paling umum yang disebabkan obat adalah kerusakan liver karena kebanyakan obat yang dikonsumsi lewat mulut akhirnya akan diproses melalui liver. Selain dampak samping negatif yang ditimbulkan setiap obat, sejumlah obat berinteraksi negatif dengan beberapa makanan atau dengan obat-obatan lain.