kebijakan pengendalian tembakau
OPINI

Kebijakan Pengendalian Tembakau di Indonesia Era 90-an

Kebijakan pengendalian tembakau tidak pernah menjadi prioritas kebijakan kesehatan publik pemerintah sebelum tahun 1990an. Menteri Kesehatan di masa Suharto menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah tidak memiliki niatan untuk mengatur tembakau dalam payung hukum. Konsekuensinya, industri tembakau tumbuh subur di masa Suharto. 

Pergantian kepemimpinan dari Soeharto ke B.J. Habibie di tengah kekacauan politik dan ekonomi pada Mei 1998 membawa angin perubahan dalam isu kontrol tembakau. Pemerintahan BJ Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional dibawah naungan Badan Obat dan Makanan, Kementerian Kesehatan sebagai wadah konsolidasi antara LSM dan staf pemerintah dalam isu kontrol tembakau. Lebih lanjut, regulasi pemerintah pertama untuk kontrol tembakau ditetapkan tahun 1999. Aspek isu yang diatur dalam kebijakan pengendalian tembakau pemerintah adalah sebagai berikut.

Kebijakan Keterbukaan (disclosure) Kandungan Rokok 

Pemerintah Indonesia tidak memiliki peraturan perundangan yang mensyaratkan industri tembakau/rokok untuk memberitahukan secara terbuka kandungan adiktif atau bahan kimia yang ditambahkan dalam rokok. Hal ini bahkan dianggap sebagai ‘rahasia perusahaan’ yang menjadikan produk rokok suatu perusahaan tertentu menjadi terkenal sehingga melindungi rahasia merupakan sebuah praktik yang dianggap wajar. 

Kebijakan Iklan, Promosi, dan Sponsorship 

Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999 mengatur mengenai larangan iklan di media elektronik serta kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan dalam iklan. Inilah debut kebijakan pengendalian tembakau. Secara spesifik, peringatan kesehatan tersebut harus mudah dibaca, memiliki pesan kesehatan, dan menyebutkan kandungan tar dan nikotin dalam kemasan rokok. Pasal aturan produk menetapkan level maksimum tar dan nikotin sebesar 1,5 mg (tar) dan 20 mg (nikotin), seiring dengan kewajiban untuk melakukan testing dan menetapkan batas waktu untuk mematuhi aturan perundangan yang berlaku, yakni sepuluh tahun bagi perajin rokok buatan tangan skala kecil. 

Industri rokok besar memiliki waktu 5 tahun untuk mengadopsi aturan baru tersebut. Hal lainnya yang diatur dalam PP tersebut adalah larangan merokok di tempat umum tertentu, misalnya fasilitas kesehatan, tempat mengajar dan yang dekat dengan anak-anak, serta transportasi publik. Peraturan pemerintah juga membatasi penjualan rokok melalui vending machine di tempat yang mudah dijangkau anak-anak di bawah umur sekaligus melarang pembagian sampel rokok gratis. Pelanggaran pasal tentang iklan dan peringatan kesehatan dikenai sanksi khusus.

kebijakan pengendalian iklan rokok

Presiden Wahid mengamandemen PP 81/1999 menjadi PP/38/2000 tahun 2000. Perubahan signifikan dalam peraturan pemerintah tersebut terutama terkait dengan iklan dan batas waktu implementasi pasal tentang kandungan tar dan nikotin dalam kemasan rokok. Peraturan perundangan yang baru mengizinkan iklan di media elektronik antara jam 21:30 malam sampai 5:00 pagi. Sementara itu penetapan pasal level tar dan nikotin tidak lagi berdasarkan besarnya skala perusahaan namun berdasarkan jenis produk rokok yang diproduksi. Batas waktu 2 tahun hanya berlaku bagi jenis rokok putih yang dibuat oleh mesin (machine-made), sedangkan rokok jenis kretek yang dibuat oleh mesin diberikan batas waktu sampai 7 tahun. Perajin rokok tangan memiliki waktu 10 tahun untuk beradaptasi. 

Amandemen peraturan tentang industri tembakau yang ketiga diadopsi tahun 2003 melalui PP 19/2003 oleh Presiden Megawati. Amandemen ini menghilangkan pasal tentang kandungan tar dan nikotin. Sebagai gantinya, setiap produk rokok harus melalui uji coba di laboratorium terakreditasi. Aturan pemerintah ini juga mewajibkan pencantuman kandungan tar dan nikotin di setiap iklan dan kemasan rokok di samping kewajiban peringatan kesehatan. Ukuran peringatan kesehatan di kemasan rokok untuk pertama kalinya diatur dalam peraturan pemerintah, yakni 15% dari kemasan. Amandemen legislasi tersebut bertepatan dengan negosiasi FCTC, yakni negosiasi Intergovernmental Negotiating Body (INB) di Jenewa. Lemahnya PP 2003 menuai kritik dari NGO yang menyoroti mengenai ketiadaan transparansi serta konsultasi terkait dengan amandemen legislasi tersebut. 

Di samping aturan-aturan yang bersifat nasional di atas, kebijakan anti tembakau akhir-akhir ini justru secara gencar dilakukan oleh pemerintah pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), yang justru sering lebih kuat di level implementasinya. Ini dimungkinkan dengan adanya penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang dilaksanakan dengan gencar di era Pasca Soeharto. Bab 6 akan membahas secara khusus topik ini, dengan mengaitkannya dengan kepentingan-kepentingan internasional yang secara jelas terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan anti rokok di level nasional maupun daerah.