logo boleh merokok putih 2

Menyelisik Cengkeh Lereng Muria

menelisik cengkeh lereng muria

Dahulu kala, cengkeh menjadi salah satu tumpuan hidup masyarakat di lereng Muria. Kini, sejarah keemasan itu seperti tak pernah ada sama sekali.


Secara geografis, lereng Muria berada di kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sebuah kabupaten di mana Haji Djamhari menemukan racikan cengkeh dan tembakau, sehingga kini banyak orang mengenalnya sebagai kretek.

Kudus memang dikenal orang sebagai kota kretek, tetapi tidak banyak orang yang tahu bahwa cengkeh juga pernah tumbuh subur dan menopang kehidupan warga Kudus, khususnya yang hidup di lereng Muria. Di lereng Muria ini, cengkeh tumbuh subur dan turun temurun dilestarikan oleh generasi penerus.

Sebab didorong oleh rasa penasaran soal seluk beluk cengkeh lereng Muria, saya bersama kawan bertandang ke-kediaman seorang petani yang tinggal di sebuah dusun Kambangan, kecamatan Gebog. Desa ini terletak di lereng Muria bagian barat. 

Di desa Kambangan mayoritas masyarakatnya adalah petani. Menjadi petani di sini sepertinya amat menjanjikan karena dianugerahi dengan tanah subur yang menumbuhkan berbagai macam tanaman. Walaupun petani di daerah itu dituntut untuk adaptif terhadap kondisi pasar, karena tidak semua tanaman yang produktif pada saat itu dapat menghasilkan cuan yang produktif juga. Sudah menjadi hal lumrah jika mereka beralih dari satu tanaman ke tanaman lain dengan alasan nilai jual yang lebih menguntungkan. 

Saya berbincang dengan Pak Rumadi (49), seorang petani di desa Kambangan. Ia menuturkan bahwa dulu cengkeh sudah turun-temurun ada di kebun para petani. Hal itu terjadi karena hasil dari cengkeh waktu itu dapat menyokong kebutuhan rumah tangga mereka. “Dulu waktu kepemimpinan Gus Dur, Harga cengkeh sempat melambung tinggi. Harganya sampai 80 ribu per kilonya,” kenang Rumadi. 

80 ribu ini bukanlah harga yang kecil. Nilainya hampir setara harga satu gram emas, yang waktu itu berada di kisaran harga 90 ribu. Melambung tinggi harga cengkeh ini akibat Gus Dur membubarkan BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh, sebuah lembaga bikinan Orde Baru yang secara spesifik memonopoli harga cengkeh.

Sekadar informasi, pada 1992 melalui keputusan presiden dibentuklah  Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dikepalai oleh Tommy Suharto, anak kesayangan Presiden Soeharto. Melalui BPPC, segala urusan terkait jual-beli cengkeh dikontrol oleh rezim. Semua cengkeh hasil panen petani harus dijual ke koperasi Unit Desa, yang nantinya akan dibeli oleh BPPC. Tentunya dibeli dengan harga yang sangat murah, dan akan dijual kembali oleh BPPC kepada pabrik kretek dengan harga semahal-mahalnya. Hal itu terjadi karena BPPC adalah satu-satunya pihak yang boleh membeli dan menjual cengkeh. Maka BPPC pun bebas memainkan harganya.

Menurut Rumadi, cengkeh sebenarnya masih banyak diminati oleh para petani untuk tetap ditanam. Disamping tidak ribet dari segi perawatan pohonnya, buah hasil panennya pun bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama, sehingga tidak khawatir membusuk jika tidak segera laku dijual. Namun, karena harga yang belakangan ini makin tidak stabil, akhirnya banyak para petani di daerah Kambangan beralih untuk menanam jambu air jenis citra yang nilai jualnya lebih menjanjikan. “Turunnya harga cengkeh bisa  drastis anjlok, berbanding terbalik dengan naiknya harga cengkeh yang relatif lambat,” terang Rumadi.  

Kurun waktu 5 tahun belakangan ini, harga cengkeh terparah sampai di angka 50 ribu. Sedangkan harga paling tingginya di kisaran 120-130 ribu per kilonya. harga segitu sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan waktu kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2000-an awal yang mencapai harga 70-80 ribu perkilonya, selisihnya cuma 10 ribu dengan harga emas per-gramnya yang waktu itu harganya 90 ribu per-gram. Sedangkan jika dibandingkan dengan harga emas sekarang ini. Bisa dilihat, berapa ratus persen selisih harganya?

petani memetik cengkeh

Di sepetak kebunnya, Rumadi mempunyai sekitar 20 pohon cengkeh produktif. Dan Baru-baru ini Rumadi mulai mencoba untuk menanam pohon jambu citra, seperti yang dilakukan para petani sekitarnya yang sudah memulainya sejak 3 tahun yang lalu. 

Awalnya, Rumadi tetap bertahan dengan tanaman cengkehnya, karena ia masih berharap untuk hidup sejahtera dengan hasil cengkehnya seperti dulu yang pernah ia rasakan. Namun, karena ia melihat petani di sekitarnya sudah banyak yang beralih untuk menanam jambu, akhirnya ia juga tertarik untuk mengganti sebagian tanaman cengkehnya dengan tanaman jambu jenis citra, yang tampaknya lebih menjanjikan. Kelak jika tanaman jambunya dirasa lebih menguntungkan dari pada cengkeh, ia akan betul-betul beralih pada tanaman jambu dan membabat habis tanaman cengkehnya seperti yang dilakukan para pertain disekitarnya.

Berbeda dengan petani di kawasan lereng Muria bagian timur, tepatnya di desa Japan, kecamatan Dawe, kabupaten Kudus. Mereka tidak pernah menjadikan tanaman cengkeh sebagai tanaman utama mereka. Kebanyakan dari mereka sejak dulu memenuhuni kebunnya dengan pohon kopi. Ada sebagian petani  yang sebagian lahannya ditanam cengkeh, dan sebagiannya lagi  ditanam kopi. Namun kebanyakan petani-petani di  kawasan lereng muria timur ini memprioritaskan kebunnya untuk menanam kopi, lalu di sela-sela lahan kosongnya baru ia tanami cengkeh sebagai tanaman selingannya. 

Selang dua hari dari perjumpaan saya dengan Rumadi, saya berkesempatan untuk berjumpa dengan Rif’an (49) seorang petani sekaligus tengkulak cengkeh lokalan (lingkup desa) di kawasan lereng Muria bagian timur ini. Dalam kesempatan itu, saya bertanya “mengapa harus kopi? Mengapa bukan cengkeh saja?” kepadanya. Ia pun mejawab, jika cengkeh sebenarnya lebih menguntungkan dari segi ketahanan buahnya. Cengkeh bisa disimpan sampai bertahun-tahun tanpa mengurangi kualitas aroma dan rasanya. Setiap musim panen cengkeh, Rif’an berkeliling ke rumah-rumah tetangganya guna meminang cengkeh untuk ia simpan sebagai bentuk tabungan, jika dikemudian hari ada kebutuhan mendesak, ia bisa menjualnya kembali kepada tengkulak yang skalanya lebih besar dari dirinya.

Walaupun belakangan ini harga cengkeh semakin tidak stabil, namun hal itu tetap ia lakukan karena ia merasa dengan mempunyai tabungan cengkeh yang bisa disimpan dalam jangka waktu yang relatif  panjang, ia merasa terbantu ketika suatu waktu ia mempunya kebutuhan mendesak. Kadang ia untung, karena saat membeli cengkeh dari petani sekitarnya masih relatif murah, dan saat ia membutuhkannya untuk dijual kembali harganya sedang naik. Namun tak jarang ia merugi, karena saat membeli harganya lebih tinggi dari pada saat ia membutuhkannya untuk dijual kembali. Itulah nilai plus cengkeh dari pada tanaman lain termasuk kopi, menurut Rif’an. Namun lagi-lagi karena alasan ketidak stabilan harga yang membuat petani di desa Japan lebih memilih untuk bertani kopi daripada bertani cengkeh. 

Rif’an mengajak saya kembali ke tahun 2014. Waktu itu di desa Japan juga sempat ada program penghijauan cengkeh dari pabrik kretek besar di kudus. Para petani diberi bibit cengkeh sekaligus ada pendampingan terkait penanaman dan perawatan pohon cengkeh agar membuahkan hasil produktif. Hal itu sempat membuat petani cengkeh semangat untuk menanam cengkeh kembali dan kebun-kebun petani kawasan lereng muria ini menjadi banyak ditumbuhi pohon cengkeh. 

Namun hal itu tidak mampu bertahan lama, pohon cengkeh yang ditanam sejak bibit dalam jangka waktu 4-5 tahun baru bisa berbuah, buah pertama kalinya ini juga menjadi yang terakhir kali karena setelah itu kebanyakan pohon-pohon cengkeh hasil dari penghijauan itu banyak yang ditebang, dan digantikan kembali dengan tanaman kopi. Hal itu terjadi karena harga cengkeh yang makin tak stabil. Alhasil, para petani di daerah Japan ini banyak yang membabat pohon-pohon cengkehnya dan kemudian beralih kembali ke tanaman kopi. 

Tanaman kopi sendiri menjadi alternatif tanaman yang dipilih oleh para petani desa Japan ini, karena selain harganya cenderung stabil dibanding cengkeh, dan jika harganya sedang kurang bersahabat dengan mereka, masih ada alternatif lain yaitu  kopinya bisa mereka olah sendiri menjadi produk hasil rumahan dalam bentuk kopi bubuk yang bisa mereka jual sendiri ke pasar, atau ke warung-warung kopi

cengkeh rokok kretek

Ini logis jika dibandingkan dengan cengkeh yang hanya bisa mereka jual ke tengkulak dengan harga yang mau tidak mau harus manut dengan harga yang sudah di patok oleh tengkulak, karena sudah tidak ada alternatif lain selain dengan menjualnya ke tengkulak yang mendatangi rumah-rumah mereka. karena akan sangat sulit jika mereka menjualnya ke pasar dengan harga ecer, dan akan tambah sulit lagi ketika mereka mencoba menjualnya ke pabrik langsung.

Rumadi maupun Rif’an mengaku tidak mengetahui apa  yang menyebabkan harga cengkeh menjadi tidak stabil. Padahal menurut Rif’an cengkeh dari lereng Muria ini kualitasnya lebih bagus jika dibandingkan dengan cengkeh dari daerah Temanggung. Jika berdasarkan standar idealnya petani, harga kulaknya 120 ribu per kg. Nominal itu sudah dianggap ideal oleh petani, walaupun masih jauh dari kisaran harga saat kepemimpinan Gus Dur. Namun beberapa tahun belakangan ini harga cengkeh kering dari petani sangat jauh dari ideal. 

Tahun 2018 lalu harga cengkeh kering dari petani berada dikisaran 90 ribu per-kg. kemudian di tahun 2019, harga cengkeh semakin memburuk, per-kg-nya melorot sampai di angka 70 ribu untuk cengkeh kering. Bukannya semakin membaik, di tahun selanjutnya, pertengahan 2020 harga cengkeh kering semakin terpuruk, sampai diangkat 60 ribu per-kg. 

Di tahun 2021 cengkeh mengalami kenaikan harga yang cukup fantastis dari tahun sebelumnya, mencapai angka 120-130 ribu per-kg. Namun hal itu bukan merupakan kabar gembira bagi petani. Harga cengkeh sesuai dengan yang mereka inginkan, namun hasil panennya nihil. Petani cengkeh gagal panen. Harga kembali naik karena cengkeh sedang langka. Kenaikan harga seperti itu sama sekali tidak menguntungkan para petani, walaupun harganya relative tinggi, namun apa yang akan mereka jual jika hasil panennya nihil. 

Maka menjadi wajar jika petani desa Kambangan lebih memilih membudidayakan jambu air jenis citra yang saat ini sedang bisa dinikmati hasilnya oleh para petani di daerah itu. Dan petani desa Japan yang memilih membudidayakan kopi yang mempunyai berbagai macam alternatif moda penjualannya sehingga harganya cenderung lebih stabil. Ketibang cengkeh yang katanya adalah tamanan rembah paling diburu dunia tapi harganya makin tak karuan saja.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis