ritual tanam tembakau srintil
PERTANIAN

Ritual Tanam Srintil yang Menolak Punah

Salah satu kesuksesan menghasilkan tembakau srintil terletak pada ritual sebelum tanam, sebuah ritual untuk berwasilah kepada Sang Pencitpa.


Perjalanan menuju Dusun Lamuk Legok, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung ini akan disambut dengan hamparan luas lahan pertanian serta pemandangan Gunung Sumbing yang gagah menawan berada di depan mata, sehingga membuat siapapun akan takjub olehnya. 

Tak hanya memiliki kesejukan dan keindahan alam yang begitu menawan,Lamuk Legok dikenal dengan hasil tembakau srintilnya yang sangat bagus. Srintil merupakan tembakau berkualitas dengan kadar nikotin paling tinggi. Srintil memiliki tekstur yang berbeda dari tembakau lainnya, warnanya hitam kemerahan seperti habis disiram madu, serta memiliki aroma buah salak yang begitu pekat.  Sebab begitu berkualitas, Pada 2021, tembakau srintil dari Lamuk Legok bisa mencapai harga tertinggi, yaitu 1.250.000 per/kg.

Salah satu rahasia mutu terbaik tembakau srintil dari Lamuk Legok ternyata adalah adanya ritual dalam proses penanamannya yang masih dilakukan oleh petani hingga saat ini. Ritual tersebut dipercaya sebagai salah satu syarat dari keberhasilan petani dalam memproduksi tembakau srintil.

Ritual merupakan istilah yang merujuk pada suatu kegiatan berupa gerakan, nyanyian, doa dan bacaan, menggunakan perlengkapan, baik dilakukan sendirian maupun bersama-sama yang dipimpin oleh seseorang. Ritual yang digunakan dalam proses penanaman tembakau srintil ini merujuk kepada kegiatan berupa doa yang dilengkapi dengan beberapa perlengkapan/ubo rampe. 

Biasanya masyarakat Lamuk Legok menyebutnya dengan istilah selamatan. Ritual dalam proses penanaman tembakau srintil ini dilakukan secara individu oleh setiap petani yang akan menanam tembakau srintil.

Seperti yang dilakukan Topo, salah satu petani tembakau srintil yang setiap tahunnya selalu berhasil menghasilkan tembakau srintil. Ia juga salah satu orang yang memperjuangkan serta masih melestarikan ritual srintil di Lamuk Legok. 

“Benar bahwa ada ritual atau selamatan-selamatan yang dilakukan sejak awal sebelum memulai menanam tembakau, dari mulai garap tanah hingga proses ngrajang tembakau srintil,” terangnya.

Di setiap proses ritual ini, biasanya petani di daerah Lamuk Legok akan memilih hari yang tepat dengan cara perhitungan Jawa berdasarkan hitungan hari dan pasarannya. Petani tidak menggunakan hari atau tanggal tertentu, seperti hari sangar tahun dan hari naas. “Petani tidak menggunakan hari sangar tahun dan hari naas. Hari naas itu adalah hari dimana orangtua atau mertuanya meninggal dunia,” jelas Topo. 

Hari tersebut dipercaya tidak baik digunakan untuk memulai sesuatu. Setelah menentukan hari dan tanggal maka selanjutnya akan dilakukan ritual di lahan pertanian pada hari atau tanggal tersebut. Ritual ini disertai beberapa perlengkapan atau ubo rampe yang dinamakan sego bakar (dalam bentuk tumpeng kecil yang dibakar), kecambah pethek (cabe, bawang merah, terasi, biji2an yang merambat/ biji taoge, ikan pethek), telur, awu/abu, kemenyan, wewangian bunga, tembakau dan sebatang rokok. 

ubo rampe ritual tanam tembakau

dokumentasi Inayah Putri Salisa

“Bahan baku ritualnya ini sangat sederhana dan murah, tetapi bagi kami para petani jika ingin menanam tembakau tapi belum melaksanakan ritual ini tuh rasanya ada yang kurang dan tidak lengkap” ucap Topo. 

Ritual yang menggunakan perhitungan hari serta uborampe ini dilakukan dalam beberapa proses penanaman tembakau srintil, yaitu proses awal tanam, panen, pemeraman dan ngrajang tetapi memiliki sedikit perbedaan dalam proses ritualnya. Nyecel atau nyamparbun merupakan ritual pertama yang dilakukan sebelum menanam tembakau. Sebelum petani menitipkan biji tembakau kepada bumi, petani akan melakukan ritual nyecel atau nyamparbun yang merupakan kegiatan kulanuwun (permisi/minta izin) terlebih dahulu kepada bumi. Petani percaya bahwa kulanuwun tersebut dilakukan untuk meminta izin kepada bumi, kepada embun-embun yang setahun sebelumnya sudah nyaman berada di lahan tersebut. Petani meminta izin bahwa mereka akan menitipkan bibit tembakau di lahan itu.

Setelah ritual tersebut dilakukan maka selanjutnya petani akan melakukan proses lekas nandur atau mengawali tanam. Perbedaannya ada pada perhitungan hari dan tanggalnya, biasanya pada ritual lekas nandur ini petani akan menghitung hari dengan “suku, watu, gajah, buto”. Dalam perhitungan itu petani biasanya akan menempatkan pada hari “gajah” karena filosofi gajah yang memiliki tenaga besar dan berjalan pelan sehingga bagus untuk memulai tanam tembakau.Petani akan menghindari hari “suku” karena memiliki arti kaki yang dipercaya bahwa kaki tersebut digunakan untuk berjalan- jalan sehingga tidak tepat jika digunakan untuk mengawali nandur/menanam tembakau. 

Adapun “buto” yang diibaratkan seorang raksasa besar serta rakus juga dihindari oleh petani, termasuk juga hari “watu” yang dalam Bahasa indonesianya adalah batu.Seperti yang kita ketahui bahwa batu itu sesuatu yang keras dan diam sehingga petani percaya jika dimulai di hari watu/batu akan membuat petani menjadi malas-malasan ketika merawat tembakau.

Selain itu, dalam memulai tanam juga menggunakan hitungan hari “Oyot, Uwit, Godhong,dan Uwoh”. Petani akan menempatkan pada hari “Godhong” yang dalam Bahasa Indonesia adalah daun. Petani memilih hari tersebut karena tembakau yang akan mereka tanam adalah tanaman yang akan dimanfaatkan daunnya. Sehingga dipercaya bahwa hari tersebut bagus digunakan untuk mengawali tanam tembakau. Jumlah bibit pohon tembakau yang ditanam di awal akan menyesuaikan hitungan hari dan pasaran, misalnya akan ditanam pada hari Jumat Pahing yang dalam hitungan Jawa hari tersebut jumlahnya 11 maka petani akan memulai tanam tembakau hanya dengan 11 bibit saja di awal. Setelah itu baru dilakukan penanaman semua bibit tembakau, yang bisa dilaksanakan di hari itu juga ataupun di hari lain.

Tak lupa juga adanya proses perawatan yang dilakukan dengan pembersihan rumput dan pengendalian hama. Dalam 1 hektar lahan biasanya pestisida tidak sampai 1 liter. Sehingga residu kimia dalam tembakau srintil tersebut dapat dikatakan sangat minim karena petani hanya akan fokus memberi pestisida kepada tembakau yang terkena hama wereng saja. 

Setelah daun tembakau siap panen, petani akan melakukan ritual lekas panen/ memulai panen yang juga menggunakan uborampe yang sama seperti ritual sebelumnya. Lekas panen juga menghitung hari jawa tetapi dengan istilah lain, yaitu hari “ratu, penghulu, raja, setan” yang biasanya petani akan memilih hari “raja” karena diibaratkan raja merupakan orang terhormat, bijaksana dan bisa mengayomi. Sehingga menurut petani hari raja tersebut bagus digunakan untuk memulai kegiatan panen atau lekas panen.

Lekas panen dilakukan untuk mengawali panen pertama yang diawali dengan memetik daun tembakau sesuai jumlah hitungan awal saat petani mulai tanam. Setelah proses pemetikan pertama selesai maka daun tembakau dibawa pulang. Daun tembakau yang awal petik tadi akan digantung di atas pintu utama rumah petani. Hal tersebut dimaksudkan bahwa petani sangat menghargai dengan alam semesta, tembakau yang mereka rawat mulai dari awal biji hingga menjadi daun besar, “wujud syukur petani terhadap tuhan yang maha esa yang telah memberi penghidupan bagi petani melalui daun tembakau” ucap Topo. 

Selain itu petani juga percaya bahwa tembakau yang sudah dirawat dengan lahir dan batin, yang sudah diberi ritual selamatan sejak awal tanam tersebut jika diletakkan di atas pintu utama bisa menyapa pembeli atau pedagang yang masuk rumah supaya mau membeli hasil panen petani. Seperti yang diucapkan oleh Topo bahwa “Tanaman pada dasarnya bisa berkomunikasi, tetapi caranya berkomunikasi dengan manusia itu berbeda”.

petani tembakau turun gunung

Setelah itu akan ada panen raya yang dilakukan di hari itu juga ataupun di hari selanjutnya sesuai perhitungan petani beserta kesepakatan dari keluarganya berdasarkan banyak pertimbangan. Panen raya dilakukan untuk memanen semua daun tembakau yang ada di lahan pertanian. Selanjutnya akan dibawa pulang untuk diproses pemeraman atau diimbu

Proses pemeraman adalah menyimpan daun tembakau dengan perlakuan khusus. Salah satunya dengan dialasi papan atau rigen (anyaman bambu), yang mana di bawah alas tersebut akan diletakkan uang koin dan dan kunir. “Diletakkannya uang koin dan kunir di bawah alas tembakau itu adalah penggambaran bahwa kemuliaan daun tembakau ini sama dengan logam mulia/ emas. Pada dasarnya daun tembakau sama halnya dengan daun-daun lainnya, tetapi bagi kami para petani daun tembakau sama halnya dengan emas yang sangat berharga” ucap Topo.

Biasanya dalam proses pemeraman inilah daun tembakau dapat ditentukan bisa menjadi tembakau srintil atau tidaknya. Daun tembakau yang akan menjadi srintil nantinya dalam proses pemeraman ini akan timbul “jamur kuning”. Jamur tersebut muncul secara alami dari tembakau pada malam ke 4 pemeraman dan akan menghasilkan bau wangi yang menjadi ciri khasnya tembakau srintil. 

Proses pemeramannya pun biasanya dilakukan paling lama selama 9 malam saja, karena jika lebih dari itu maka tembakau menjadi tidak bagus atau menjadi over fermented atau dalam istilah jawanya kedalon. Kemunculan jamur kuning ini juga ditentukan oleh segi lokasi dan perlakuannya, sehingga tidak semua daerah di Temanggung dapat menghasilkan tembakau srintil. 

Berdasarkan segi lokasi, daerah Lamuk Legok merupakan daerah yang bisa menghasilkan tembakau srintil terbaik di Temanggung. Setelah proses pemeraman selesai maka selanjutnya akan ada proses yang dikenal dengan “ngrajang”. Ngrajang adalah proses mengiris daun tembakau yang sudah melalui proses pemeraman, ngrajang dilakukan menggunakan alat iris/ pisau baik secara manual atau mesin. Malam hari sebelum proses ngerajang dilaksanakan, biasanya para petani akan mengadakan selamatan jenang dengan membuat makanan yang dikenal dengan nama jenang candil.

“Biasanya kita akan mengundang tetangga atau saudara untuk selamatan jenang, bisa 5 sampai 11 orang disesuaikan dengan kemampuan kita” ucap Topo. 

Selamatan tersebut dimaksudkan untuk meminta doa bahwa akan dilaksanakannya “memboyong round kencono seko tegal kepanasan ning gedong kuning” agar lancar dan bisa menjadi rezeki yang berkah serta bermanfaat. Selain itu, adanya jenang candil juga dimaksudkan supaya dalam proses ngrajang nanti diberi keselamatan untuk para pekerja serta kelancaran untuk alat-alat yang digunakannya agar tidak ada kendala apapun.

petani sedans ritual tanam tembakau

Documen ribadì Inaya Putri Salisa.

Seperti yang dikatakan oleh Topo “Selamatan tersebut dilakukan untuk keseimbangan terhadap alam semesta, bahwa semesta telah memberikan kesuburan dan lain sebagainya. Kita juga hidup berdampingan, manusia tidak bisa hidup tanpa ada semesta yang hidup juga. Kemudian juga rasa syukur kami terhadap sang pencipta”. 

Setelah selamatan selesai maka selanjutnya akan dilaksanakannya proses ngrajang tersebut. Dalam proses ngerajang inilah jamur kuning juga berperan untuk tembakau srintil, bahwasannya ketika tembakau yang ada jamur kuningnya ini dirajang maka nantinya tembakau akan membentuk karakternya sendiri, tembakau akan saling mengikat satu sama lain sehingga akan menjadi gumpalan – gumpalan kecil tembakau srintil. 

Setelah dirajang maka selanjutnya juga akan ada proses pengeringan/ dijemur yang dalam istilah jawanya dikenal dengan mepe. Dalam proses penjemuran ini tembakau srintil juga akan membentuk karakter lagi, dimana akan terjadi proses ceneng-ceneng atau tarik menarik antara tekstur tembakau yang masih memiliki serat dan yang sudah tidak memiliki serat untuk saling mengikat. Selain itu juga akan menghasilkan warna yang berbeda, bisa warna hitam pekat atau coklat kemerahan.

“Semua ritual atau selamatan tersebut dilakukan hanya kami tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami tidak menyekutukan atau menduakan bahwa yang memberikan rezeki dan kehidupan serta penghidupan ada di luar Tuhan Yang Maha Esa, kami tidak sedikitpun berpikir seperti itu” ucap Topo.

Adanya ritual dalam proses penanaman tembakau srintil khususnya di dusun Lamuk Legok ini menjadi salah satu kebudayaan masyarakat Temanggung yang masih dipegang erat. Bahkan ritual tersebut secara otomatis juga diterapkan oleh petani muda di Lamuk Legok, itu karena mereka juga sangat menghargai dan mempercayai ritual tersebut. Masyarakat khususnya petani di Lamuk Legok sangat berharap kebudayaan ini akan terus berlanjut dan tetap dilestarikan hingga anak cucunya nanti. 

“Jangan sampai anak cucu kita nanti hanya mempertanyakan tentang seberapa fenomenalnya tembakau srintil ini, tetapi mereka juga harus merasakan dan melestarikannya,” harap Topo. 

Adapun kendala yang dihadapi oleh petani di Lamuk Legok saat ini adalah adanya hujan yang muncul tidak sesuai musimnya ataupun prediksi petani, sehingga petani menjadi ketar – ketir atau khawatir karena hal tersebut bisa mempengaruhi hasil tembakaunya. 

Petani berharap ada pawang hujan yang bisa menyingkirkan hujan di musim tembakau, sama halnya yang dikatakan oleh Topo “Kalausaja di Temanggung ada orang yang benar- benar bisa mengendalikan hujan seperti Mbak Rara,mungkin petani di Lamuk Legok ini siap iuran untuk membayarnya demi mengusir hujan saat musim tembakau”.