hukum ganja mui dan nu
OPINI

Hukum Ganja: Melihat Arah Fatwa MUI dan NU

Hukum Ganja menjadi perbincangan hangat di jagad Indonesia setelah Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, KH. Ma’ruf Amin yang mengamanatkan pembuatan fatwa pengecualian hukum ganja kepada MUI.

Ma’ruf Amin secara spesifik mendorong MUI membuat hukum pengecualian melalui fatwa baru yang mengatur kriteria kebolehan mengonsumsi ganja untuk kesehatan.

“Saya minta MUI nanti segera membuat fatwanya untuk dipedomani, jangan sampai berlebihan dan menimbulkan kemudharatan. Masalah kesehatan itu, saya kira nanti MUI membuat pengecualian. MUI harus membuat fatwanya, fatwa baru pembolehannya. Artinya ada kriteria,” jelas KH. Ma’ruf yang banyak dikutip oleh media.

Hukum ini nantinya dapat dipergunakan DPR sebagai pedoman dalam menyikapi wacana ganja untuk kebutuhan medis. 

MUI Buka Kemungkinan Bolehkan Ganja

MUI, seperti yang dikutip detik.com, membuka kemungkinan kebolehan menggunakan ganja pada konteks kebutuhan medis. Hukum ini dinisbatkan pada sikap MUI terhadap nikotin.

Sebagai informasi, pada 2012 MUI melalui Keputusan Ijma Ulama Komisi Fatma Se-Indonesia IV tentang Nikotin sebagai bahan aktif produk konsumtif untuk kepentingan pengobatan. MUI sebenarnya menghukumi nikotin sebagai barang haram, kecuali sebagai obat dan terapi penyakit.

Selain itu, pendapat Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH. Ma’ruf Khozin menarik sebagai kajian lebih lanjut terkait hukum ganja ini. Beliau menerangkan melalui perspektif fikih dan mengutip hadis Nabi Muhammad, bahwa Allah tidak menjadikan obat untuk manusia di dalam hal-hal yang diharamkan.

Tidak ada keperluaan memanfaatkan barang haram untuk obat, misalnya karena ada benda lain yang suci dan berfungsi sama, maka barang itu tidak boleh digunakan. Begitu keterangan dalam kitab Al-Majmu’ Juz 8, hal:53.

“Jika bahan yang terdapat dalam ganja sudah menjadi satu-satunya, maka masuk kategori darurat,” terang KH. Ma’ruf Khozin dikutip NU Online.

NU Sedang Mengkaji Hukum Ganja

Terkait hukum ganja ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Yahya Cholil Staquf meminta Lembaga Bahtsul Masail PBNU mengkaji penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.

Senada dengan Gus Yahya, Ketua PBNU, KH. Ahmad Fahrurrozi memberikan pandangan lebih mendalam. Menurutnya, ilmu fikih membolehkan menggunakan zat tertentu yang dilarang untuk kebutuhan medis.

Gus Fahrur saat diwawancara Kompas TV menyebut, ada lima syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kebutuhan pasien terhadap ganja telah mencapai titik sangat diperlukan. 

Kedua, adanya petunjuk dokter ahli yang dapat dipercaya memberikan rekomendasi jika ganja tersebut mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh pasien.

Ketiga, penggunaan ganja wajib hukumnya dibatasi pada dosis kebutuhan pasien.

Keempat, penggunaan ganja bersifat khusus. Maksudnya boleh digunakan jika sulit mendapatkan obat lainnya.

Kelima, penggunaan ganja tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar kepada pasien.

Saya sendiri sepakat, jika segala perkara yang menyangkut kebermanfaat masyarakat banyak perlu dikaji lebih mendalam. Saya juga sepakat, bahwa apa yang telah ditumbuhkan oleh Allah selalu mengandung manfaat.

Semoga dengan adanya wacana ini, ganja untuk medis bisa menjadi jembatan penolong bagi orang-orang yang membutuhkan.