Yayasan Lentera Anak adalah satu organisai yang membungkus diri melindungi anak-anak Indonesia. Tetapi sebenarnya mereka adalah wadah dan alat antitembakal global menyerang IHT dalam negeri?
Saat ini, industri hasil tembakau (IHT) terancam dua regulasi pemerintah, dimana keduanya sebetulnya beda tetapi bertujuan sama. Tidak Lain pengamanan dan kontrol peredaran tembakau, yang ujungnya perlahan dan pasti IHT akan tumbang.
IHT jangan dimaknai sempit, IHT itu sendiri meliputi rentetan-rentetan dalam sektor pertembakauan. Ada petani tembakau, petani cengkeh, buruh tani, buruh pekerja, perusahaan produksi dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tembakau.
PP 109 saat ini didorong untuk direvisi dengan alasan yang dipaksakan dan tidak masuk akal yaitu menurunkan prevalensi merokok anak. Tidak ada bukti prevalensi anak di Indonesia meningkat, justru dari tahun ke tahun selalu menurun. Kemudian di lapangan sudah gencar kampanye larangan merokok untuk anak. Dari sekolah, lembaga pendidikan, orang tua yang sekalipun perokok, mereka melarang anaknya yang masih kecil merokok karena belum mempunyai penghasilan sendiri.
Mereka dalam kontrol perokok anak sangat ketat, bahkan lembaga pendidikan tidak segan-segan menghukum kejam anak didiknya yang ketahuan merokok. Misal disuruh berdiri di lapangan sekolah langsung terkena terik matahari dengan baju dibuka dan masih banyak lagi cara-cara yang digunakan para guru agar anak jera (tidak merokok). Kira-kira hukuman bagi anak macam itu kalau dilihat dari sistem pendidikan nasional Indonesia sudah sesuai apa tidak ya?. Tetapi para guru sudah biasa menerapkan hukuman seperti itu.
Anak kecil sekarang, sudah berani melarang orang tuanya yang merokok, bahkan di rumah, mereka tidak segan segan menempelkan tulisan “no smoking atau gambar tanda tidak boleh merokok” di ruangan dalam rumah. Ini menjadi bukti keberhasilan kampanye larangan merokok pada anak-anak.
Walaupun masih ada anak yang merokok, persentasenya sangat kecil dan minim. Anak usia sekolah yang masih merokok adalah oknum. Dalam logika aturan, harusnya anak usia sekolah yang merokok yang ditindak, bukan malah IHTnya yang mau dimatikan.
Di balik hiruk pikuknya Polri saat ini, aturan larangan anak sekolah naik motor sendiri harus diacungi jempol. Polri tidak melarangan peredaran motor, tetapi membuat aturan bagi anak dilarang naik sepeda motor sendiri di jalan raya sebelum memiliki SIM. ini logika aturan yang benar dan perlu dicontoh.
Dengan besar hati, sektor IHT mendukung gerakan larangan bagi anak sekolah, yang boleh merokok hanya umur 18+ sesuai aturan pemerintah. Jadi semua stakeholder baik dari kalangan IHT maupun tidak sepakat melarang anak usia sekolah dibawah 18 merokok. Hal ini sudah clear dari awal, semua sepakat menurunkan prevalensi anak.
Pertanyaannya, kenapa PP 109 harus direvisi dengan alasan untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Jelas-jelas PP 109 tanpa direvisi semua sudah sepakat, larangan merokok bagi anak usia sekolah. Hal ini yang harus dipahami oleh Yayasan Lentera Anak Indonesia (YLAI). Harusnya yang dibuat aturan itu bagi anaknya atau oknum anak yang merokok bukan aturan untuk IHTnya.
Yayasan Lentera Anak & Spirit Revisi PP 109
Jadi dorongan Yayasan Lentera Anak untuk merevisi PP 109 dengan alasan menurunkan prevalensi perokok anak sangat ambigu dan dipaksakan. Lebih diluar kepentingan substansinya. Ada kepentingan besar, sehingga Yayasan Lentera Anak mendorong revisi PP 109.
Kalau dirunut, munculnya PP 109 adalah intervensi asing bahkan lebih pada politik dagang kepentingan global. Singkatnya, PP 109 ada untuk politik dagang penguasaan bahan yang mengandung nikotin oleh WHO yang telah berselingkuh dengan industri Farmasi.
Memang seakan-akan larangan merokok ini pekerjaan yang mulia dengan dalil kesehatan. Tetapi dibalik itu, terjadi rekayasa besar dan kejahatan sistemik agar menjadi mulia dan benar. sudah banyak literasi yang membongkar kejahatan itu, seperti buku yang berjudul “nicotine war”, “Kretek Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia”, kedua buku ini berbasis data riil dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sangat tidak bijak, cacat pemikiran dan tidak beretika, ketika Lisda Sundari ketua Yayasan Lentera Anak ngotot untuk merevisi PP 109 dengan alasan menurunkan prevalensi perokok anak. Karena, pertama; argumen yang dibangun sebagai alasan sudah clear di awal bahwa semua sudah sepakat melarang perokok usia sekolah (<18+).
Kedua, lebih membela kepentingan asing, dari pada kepentingan pribumi. Apalagi berdasarkan data, mulai bulan Juli 2013 Yayasan Lentera Anak mendapatkan kucuran dana Bloomberg Initiative sebesar 43.010 US$ untuk advokasi larangan merokok. Sedangkan Bloomberg Initiative adalah agen pembawa kepentingan asing yang merasuk ke lembaga riset, lembaga pemerintah terlebih Departemen Kesehatan, forum parlemen, organisasi kemasyarakatan yang berdiri dan berkembang di Indonesia.
Kemudian Lisda Sundari juga mengatakan “tidak ada bukti bahwa adanya peraturan ini bisa mematikan pekerja industri rokok, karena kalau mereka di PHK bukan dari PP nya, Tapi dari mekanisme di pabrik rokoknya…….” Suara.com. Ini salah satu bagian logika ketua Yayasan LEntera Anak yang sangat keliru. Bagaimana mana bisa pekerja tidak berdampak jika industrinya di matikan?. Kalau nama status pekerja mungkin masih melekat, tetapi siapa yang akan menggaji, jika pabriknya tumbang gara-gara peraturan. Karena ghirah PP 109 tidak lain mengebiri hingga mematikan sektor IHT di Indonesia.