Penderitaan petani tembakau adalah bukti jika pemerintah Indonesia hanya mampu mengambil keuntungan dari darah dan keringat orang-orang yang memperjuangkannya.
Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa hidup di kota kecil seperti Temanggung menjadi pilihan membahagiakan untuk menghabiskan masa tua saya kelak. Udara sejuk, lingkungan yang tenang serta dikelilingi kota-kota wisata seperti Jogja, Solo atau Semarang yang bisa ditempuh hanya sekitar 2 sampai 3 jam di kondisi lalu lintas ramai.
Malam ini pikiran tentang hidup hari tua di Temanggung melintas begitu saja saat sedang menyetir mobil mengantar 2 orang teman yang sedang melakukan penelitian di Temanggung. Sepanjang jalan dari Jogja menuju Temanggung saya terus berpikir tentang kondisi hidup yang saat ini sudah semakin kegencet kebijakan pemerintah yang katanya untuk kebaikan warganya.
Anda tentu tahu kenaikan harga BBM sudah membuat warga negara ini menjerit tidak karuan melalui kanal-kanal media sosial, disusul kemudian beberapa aksi mahasiswa di kota-kota besar, salah satunya Malang. Dan anda tentu merasakan bagaimana riuhnya berita tentang pemerintahan kita selama beberapa bulan terakhir, dimulai dari kisah Kominfo, Sambo, dana pensiun PNS.dsb.
Belum lagi bagaimana pemerintah kita selama beberapa tahun terakhir tanpa lelah membuat rakyatnya kesal bahkan sampai marah dengan kejadian-kejadian seperti Omnibus Law, rezim yang dianggap semakin menekan dan mengikis kampus, dan segala subsidi yang disebut-sebut adalah langkah bagus pemerintah pasca chaos Covid 19 di awal tahun 2020, yang rasa-rasanya warga negara seperti dibiarkan bertahan hidup sendiri saat pandemi. Apa hal paling bombastis yang dilakukan pemerintah saat awal pandemi? meramaikan tagar #DiRumahAja, dan #AyoPakaiMasker sambil bagi-bagi tips membuat masker kain agar tidak rebutan masker di lapangan.
Begitu perekonomian dianggap membaik lalu kemudian cukai seksi seperti cukai rokok dinaikkan dengan dalih yang tidak masuk akal juga. Sudah terlalu sering juga ditulis tentang dalih konyol tentang kenaikan cukai rokok itu di berbagai media, silahkan anda baca beritanya yang bisa dicari di Google dan pahami sendiri, apakah alasan itu apa masuk akal?. Termutakhir, alasan cukai rokok yang rencananya dimulai tahun depan adalah menurunkan prevalensi perokok anak. Berdasarkan perhitungan statistik siapa?, Jelas-jelas sejak 2018, perokok anak menurun setiap tahunnya hingga tahun 2022 ini.
Mirip seperti BBM, alasan yang muncul dengan kenaikannya juga karena hal konyol; subsidi salah sasaran. Terbaru, muncul berita VIVO “dipaksa” naik harga oleh kementerian ESDM karena BBM yang mereka jual di pom milik mereka lebih murah dari Pertalite dan Pertamax. Pun begitu dengan kenaikan cukai rokok, 2 hal tentang kenaikan tarif ini seperti orang yang sedang merogoh tabungan karena kebutuhan dapur semakin banyak atau guna membayar hutang yang mulai ditagih orang-orang sekitar.
Kita lupakan tentang negara yang pemerintahnya miskin dan kemudian meminta paksa kepada warga negaranya untuk membantu keuangan. Kembali lagi ke Temanggung, kota sejuk yang jauh dari hiruk pikuk warga kota yang berebut jalanan berangkat dan pulang ke kantor, berebut parkiran di lokasi wisata tengah kota atau berburu tempat-tempat kuliner untuk kemudian diunggah ke kanal medsos.
Temanggung, sesederhana kopi yang dinikmati kala masih hangat dengan Djarum 76, tidak istimewa tapi cukup. Temanggung sesederhana menikmati bakso pedas lalu ditutup dengan es teh dan sebatang Gudang Garam Merah atau Wismilak Spesial. Temanggung sesederhana menikmati malam di alun-alun dengan jagung bakar dan wedang jahe lalu ditemani sebungkus Rider Kretek atau V.I.P, bukan Marlboro merah karena kemahalan dan ga cocok dengan suasana kota.
Tentu semua tidak sederhana, masih ada biaya hidup lain yang tentu tidak sedikit. Tapi kita tidak perlu memacu waktu untuk bekerja, toh ini angan-angan di hari tua, tentu sudah harus siap tabungan atau minimal usaha hari tua yang sanggup membiayai operasional seperti listrik, pajak, sembako dan tentu hiburan sederhana, menemani cucu keliling naik odong-odong mungkin?
Di Temanggung, semua kericuhan kota-kota besar bisa disingkirkan dengan hal-hal sederhana yang ditemukan di kota ini. Bisa saja, punya kebun sayuran, kolam ikan dan kandang ayam yang dinikmati di hari-hari biasa serta keliling kota menggunakan motor bebek 90-an di akhir pekan. Ke pasar Legi 2 kali seminggu sekedar membeli stok kebutuhan pokok untuk rumah, atau mencari tembakau sebagai selingan lintingan di akhir pekan.
Saya yakin, banyak orang yang melihat kekacauan negara ini karena ulah pemerintah pasti ingin pergi sejenak meninggalkan kota besar tempat mereka tinggal, sekadar mengalihkan perhatian dari berita-berita di media, “mematikan” media sosial untuk berhenti mendengarkan keriuhan dan tentu meninggalkan stress di pikiran. Tapi perlu diingat, Temanggung bukan kota pelampiasan orang kaya dari kota besar untuk membuang uang, tapi tempat tenang untuk berpikir jernih menyiasati banyak tantangan hidup di hari-hari depan.
Lalu apakah di sini tidak ada demo? Tentu ada, bahkan jauh lebih besar dari kota-kota lain. Penyebabnya? Mudah saja, kalau sampai pemerintah menaikkan harga cukai rokok tahun depan, maka kota ini bisa saja mendadak marah, melakukan aksi besar untuk memprotes kenaikan cukai rokok. Jangan heran, cukai naik bukan berarti petani juga untung. Semua komponen yang ada di Industri Hasil Tembakau akan terkena dampaknya. Di sisi lain, itu membuat tabungan negara semakin besar jumlahnya.
Di Temanggung, masyarakat tembakau di desa manapun adalah orang-orang sederhana yang dengan senang hati menerima orang luar bertamu ke rumah mereka. Tapi itu dulu, sekarang setelah sering didatangi jurnalis atau peneliti dari pihak anti rokok, mereka sangat berhati-hati kalau mau bercerita tentang kehidupan mereka kepada orang baru, bahkan hanya sekedar bercerita tentang hasil pertanian mereka; tembakau.
Di Kabupaten ini, kisah tentang masyarakat tembakau-nya selalu menjadi bahan hangat untuk dimanipulasi. Contoh; tahun ini petani mengeluh dengan kerugian hasil tanam mereka, berita itupun disebarluaskan sehingga orang yang tidak paham akan menerima kisah itu dengan sebuah kesimpulan bahwa menanam tembakau itu tidak menguntungkan, hanya membuang-buang uang modal, tenaga dan waktu.
Padahal, sang petani yang bercerita soal itu sebenarnya mengeluh tentang panen 2 tahun ini merugi karena cuaca, pandemi, ditambah mahalnya harga pupuk untuk tembakau mereka. Yang lebih konyol, pupuk dengan merek sama yang biasanya mereka gunakan harganya dinaikkan khusus untuk petani tembakau, bukan petani atau tanaman yang lain. Heran? Saya saja yang mendengarkan pembicaraan 2 teman saya dengan salah seorang petani itu meninggalkan sebuah tanda tanya besar.
Di Temanggung, kesederhanaan masyarakatnya membuat saya jatuh hati untuk menetap di sini, apalagi saat sedang musim panen tembakau, hal-hal yang belum pernah saya lihat sebelumnya banyak saya temui di sini. Sayang kesederhanaan masyarakat tembakau tadi seringkali diubah menjadi berita buruk yang terdengar di telinga orang-orang di luar Temanggung.
Banyak persoalan yang ditemui para petani tembakau di Kabupaten ini dan mereka kebingungan mencari solusinya. Meminta bantuan pemerintah, mereka hanya akan digunakan sebagai amunisi politik dan kekuasaan, mau protes sampai ke level elite di Jakarta mereka tidak tahu harus bagaimana dan seperti apa, mau meminta tolong media, liputan yang dihasilkan justru membuat mereka semakin terlihat sebagai petani pesakitan yang tidak berguna dan sebagai awal mula dari masalah kesehatan seperti peringatan di bungkus rokok; Merokok Membunuhmu.
Di Temanggung, di sebuah tempat duduk di pinggir jalan Jenderal Sudirman, saya menghabiskan sebatang rokok sembari menunggu 2 teman saya memesan nasi goreng gerobak yang kebetulan sedang berhenti di depan Indomaret, pikiran saya melayang, merasakan ketenangan Temanggung yang ternyata di dalamnya terdapat sebuah persoalan rumit yang tidak disadari banyak orang masih dialami oleh masyarakat tembakau di Temanggung, atau bahkan para petani tembakau di seluruh Indonesia.
Masyarakat tembakau di Temanggung yang sedang memasuki masa panen sedang ditunggu oleh mereka yang ingin mengambil keuntungan dengan cara culas. Dan pemerintah adalah salah satu pihak yang ingin mengambil keuntungan sekaligus memberi kerugian kepada para masyarakat tembakau di Temanggung.