sejarah cukai
CUKAI

Perbedaan Perlakuan Cukai Masa Kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru Hingga Sekarang

Sejarah cukai di Indonesia terbagi menjadi tiga masa yang menjadi pembeda. Sebelum Orde Baru ada dua masa yaitu saat masih zaman penjajahan dan setelah merdeka atau disebut Orde Lama. Selanjutnya, pada masa orde baru, masa reformasi dan hingga sekarang cukai tujuannya hampir mirip dan tambah menyengsarakan masyarakat.

Pertama; Masa Kolonial (penjajahan)

Pada tahun 1858, pungutan pajak sudah diperlakukan sebagai sumber pemasukan keuangan pemerintah kolonial Belanda. Giroh pungutan pajak saat itu tembakau menjadi tanaman eksotis dan primadona hingga di ekspor produk olahannya. Yang kemudian dikenal dengan sebutan “cukai rokok”.

Cukai rokok masa kolonial, resmi diatur sekitar pertengahan abad 20 dalam Staatsblad No. 517 Tahun 1922, Staatsblad No. 560 Tahun 1932 dan Staatsblad No. 234 Tahun 1949 Tentang Tabaks Accijns-Ordonnatie. Pada Staatsblad ini, semua mengatur pita cukai bea ekspor dan impor beserta ketentuan besaran jumlah yang diterima pemerintah kolonial. 

Sebagai catatan, aturan pungutan cukai terhadap tanaman tembakau dan olahannya masa kolonial berdasar dua hal, yaitu sebagai komoditas yang bernilai tinggi dan hanya memungut biaya ekspor maupun impor. Sehingga, pada Staatsblad masa kolonial ini tidak ditemukan pungutan peredaran tembakau dan olahannya dalam negeri. 

Kedua: Masa Orde Lama 

Setelah merdeka, pemerintah tetap melanjutkan pungutan cukai tembakau dan olahannya. Diatur dalam Undang-undang (UU) Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. Dalam UU darurat ini, mengatur harga jual eceran (HJE), penurunan biaya cukai  ekspor maupun impor, penggolongan pengusaha tembakau yang wajib bayar. 

Pada tahun 1951, muncul Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 yang baru mengatur tentang penempelan pita cukai beragam (warna warni) sesuai golongan. Saat itu, hanya mengatur pungutan bagi hasil olahan tembakau berupa Cerutu dan rokok yang diproduksi memakai mesin (saat ini disebut sigaret kretek mesin: SKM). Munculnya SKM, mengakibatkan industri kecil skala rumahan sedikit demi sedikit mengalami kebangkrutan. 

Yang paling menarik, melihat situasi dan kondisi industri kecil semakin melemah, Pemerintah Orde Lama mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan UU No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Pada aturan ini dimaksud untuk mengurangi dampak bagi industri tembakau skala rumahan, dengan memberikan subsidi cukai selama setahun (tax holiday). 

Ketiga: Masa Orde Baru Hingga Sekarang

sejarah cukai rokok indonesia

Tumbangnya orde lama (1966) dan kemunculan orde baru, banyak campur tangan asing (intervensi), tak terkecuali aturan tentang cukai yang semakin ribet, komplek dan semakin mematikan industri secara perlahan.

Dugaan intervensi asing terhadap aturan cukai sangat berdasar. Pada tanggal 12 Mei 1995 WHO menerima usulan World Health Assembly (WHA) tentang pengendalian tembakau sebagai instrumen pengembangan internasional. Di Indonesia muncul UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Dimana tembakau dan olahannya disamakan dengan barang kena cukai lainnya. Artinya tembakau dan olahannya tidak diatur tersendiri, tetapi disamakan dengan barang lain yang berdampak negatif dan harus diatur, dikontrol dan diawasi.   

Dari UU No. 11/1995 ini, kemudian muncul aturan baru berupa banyak PP, yaitu; PP No. 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Bidang Cukai, PP No. 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, PP No. 55 Tahun 1996 tentang Tindak Pidana Bidang Kepabeanan dan Cukai. Aturan cukai tiap tahun direvisi dan bermunculan aturan baru yang semangatnya pengendalian.

Tumbangnya orde baru, menuju reformasi, tidak disertai tumbangnya aturan cukai. Sebaliknya, aturan yang muncul makin membunuh pertembakauan dan hasil olahannya. Di awal-awal reformasi, pada tahun 1999, Presiden BJ. Habibie justru mendirikan “Forum Komunikasi Nasional (FKN) yang diinisiasi Badan Obat dan Makanan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan. Forum ini sebagai tempat konsolidasi NGo yang fokus pada pengendalian tembakau. Hasil dari forum ini, menerbitkan PP. No. 81 Tahun 1999 yang mengatur tentang iklan, level tar dan nikotin serta promosi. 

Puncaknya, masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012 menandatangani PP. No. 109 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Dimana pasal-pasalnya mengadopsi ketentuan framework convention on tobacco control (FCTC). FCTC sendiri adalah wadah hukum internasional dalam pengendalian tembakau yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum internasional (internationally legally binding instrument). 

Tentang pemberlakuan cukai tembakau, terjadi perbedaan perlakuan. Masa kolonial, pungutan cukai dilakukan karena tembakau sebagai komoditas unggulan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi ekspor dan impor, sehingga pemerintah kolonial memungut untuk pemasukan keuangan. 

Masa orde lama, juga sebagai pungutan pemasukan keuangan pemerintah, tetapi pemerintah juga memberikan perlindungan terhadap tembakau dan hasil olahannya terlebih pada industri skala kecil rumahan. 

Masa reformasi, juga tetap sebagai pungutan pemasukan keuangan negara, namun tidak ditemukan aturan pemerintah yang melindungi sektor pertembakauan dan hasil olahannya. Sebaliknya, ada intervensi asing yang didominasi farmasi dan rezim kesehatan untuk membunuhnya. Sehingga niatan pungutan cukai setinggi-tingga tidak lain sebagai salah satu alat pembunuh tembakau dan hasil olahannya. 

Dan itu terbukti, makin kesini industri tembakau makin sedikit dan banyak yang gulung tikar terlebih industri skala kecil (rumahan) karena keberadaan pungutan cukai sangat memberatkan bagi industri lokal yang memproduksi rokok kretek (asli Indonesia). Sebenarnya tak hanya cukai, banyak aturan-aturan yang diberlakukan hasil intervensi asing berkedok kesehatan. Rezim kesehatan sebagai alat pembunuh industri kretek, alat pembunuh ekonomi saudara sebangsa, dan sebagai alat adu domba antar anak bangsa oleh kepentingan asing. Masihkah belum sadar tentang hal ini, saudaraku sebangsa dan setanah air?.