Saat memotret, saya sempat kepikiran, gimana ya jika Farid Stevy tiba-tiba gak ngeband lagi karena fokus ngurusin pepohonan di Gunungkidul? FSTVLST bakal vakum gak, ya? Mandeg?
FSTVLST ini salah satu grup band yang saya suka kalo lagi manggung. Selain asyik difoto, Farid juga begitu dekat dengan penonton.
Saat manggung pada acara Tribute to Kretek kemarin malam di Asha Akasa, Farid sebenarnya baru mencabut jarum infus di punggung telapak tangannya. FSTVLST kemudian memberikan semangat dan gairah saat dia berada di atas panggung.
“Awaku ki jane iseh ora penak. Udud wae rasane ora penak,” katanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok. Artinya, badanku sebenarnya masih belum fit. Merokok rasanya tidak enak.
Rokok memang jadi indikator bagi seorang perokok untuk merasakan tubuhnya. Jika merasa badan gak enak kemudian membakar rokok terasa hambar, maka sudah bisa dipastikan badan sedang tidak baik-baik saja. Makanya rokok itu buat orang yang sehat.
Seorang penonton barisan depan kemudian mengacungkan sebungkus rokok.
“Jajal iki wae. Yakin enak,” sambil tangannya mengacungkan sebungkus Djarum 76 Madu Hitam.
“Ora enak,” jawab Farid. Tapi kemudian maju mendekati penonton itu sambil berkata, “kene tak jajal sik.”
Dia mengambil sebatang lalu menyalakan. “Kok enak, ya… “
Panggung kembali semarak oleh nyanyiannya.
“Kok malah krasa sehat, ya. Kemringet. Saiki Folk ganti Festivalis.”
Penonton bersorak. Pemain gitar dan bas mengganti alat yang sebelumnya akustik dengan gitar dan bas elektrik.
Lagu demi lagu dinyanyikan bersama penonton. Saya menikmatinya sambil sebat, sambil sesekali memotret.
Farid memang magnit FSTVLST. Penggemarnya militan.
Namun sepertinya dia sedang mencari keheningan; ke dalam dirinya. Bisa saja tiba-tiba Farid minandita dan hidup hanya bersama anak dan istrinya; berdaulat pangan dalam kehidupannya di sebuah tempat yang entah.
Farid kemudian tiada. FSTVLST juga tiada. Penggemarnya tiada. Kita semua tiada. Karena kelak, bukankah semua yang ada bakal tiada.