dampak kenaikan cukai rokok
OPINI

Meluruskan Kesalahpahaman Dampak Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Lagi-lagi Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan tarif cukai sebesar 10% yang akan berlaku pada tahun 2023 & 2024 mendatang. Kebijakan ini pasti akan berdampak terhadap stabilitas ekonomi petani tembakau dan cengkeh khususnya, pendapatan buruh dan sektor lain umumnya. 

Menjadi persoalan, ternyata Sri Mulyani Selama 8 Tahun menjabat Menteri Keuangan telah menaikkan tarif cukai sudah 87,99% hampir 90%. Angka yang sangat fantastis. Kedua, Kebijakan kenaikan cukai untuk tahun 2023, sekaligus mengunci kenaikan cukai 10% untuk tahun 2024. Jadi 2 tahun mendatang (2023 dan 2024) cukai naik.

Kenapa 2 tahun sekaligus naik? Diduga inilah trik Sri Mulyani, pada tahun 2023 nanti adalah tahun politik. Semua mata pejabat negara walaupun non partai, akan menatap tajam kepentingan politik. Minimal kuda-kuda mengamankan posisinya masing-masing. Disinilah akan terjadi kekosongan karena sibuk dan fokus persiapan pilpres. Keadaan ini, diduga dimanfaatkan Sri Mulyani untuk menaikkan cukai 2 tahun sekaligus. 

Kenaikan cukai bukan masalah turun menjadi 10% jika dibandingkan dengan kenaikan tahun 2022 mencapai 12%. Tetapi selalu naik tiap tahunnya dua digit. Misal dihitung mundur 8 tahun dari tahun 2022, maka kenaikan cukai rata rata 10,99% pertahunnya. Begitu juga jika dihitung mundur 10 tahun dari 2024 hampir sama rata-rata pertahun kenaikannya 10,799.  

Secara kumulatif, selama 10 tahun menjabat Menteri Keuangan dihitung mundur dari tahun 2024, Sri Mulyani telah berhasil menaikkan cukai rokok totalnya 107,99%. Capaian yang luar biasa, sesuai target persyaratan kerjasama dengan asing. 

Di balik keberhasilan Sri Mulyani tersebut, telah mengorbankan masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya langsung dan tidak langsung terhadap sektor pertembakauan di Bumi Pertiwi ini. Terdapat 6,1 juta jiwa tenaga kerja dari hulu hingga hilir yang menggantungkan hidupnya langsung pada sektor pertembakauan. Meliputi pertanian tembakau dan perkebunan cengkeh, data diadaptasi dari presentasi Kementerian Pertanian, 16/05/2017. 

Menurut data Statistik Perkebunan Indonesia 2016, pertanian tembakau tersebar di 15 Provinsi, sedangkan perkebunan cengkeh tersebar di 30 Provinsi. Sehingga diketahui jumlah petani tembakau berkisar 2 jutaan, petani cengkeh 1,5 juta. Sedangkan buruh tani dan industri berkisar 600.000 an jiwa dan pedagang tembakau dan kretek berkisar 2 jutaan jiwa. 

Walaupun tidak langsung, ada sekitar 24,4 juta jiwa yang penghasilannya dipengaruhi sektor industri hasil tembakau (IHT). Misalkan, pedagang pasar, titipan sepeda motor, alat transportasi di sekitar IHT, dan percetakan. Ini yang terdeteksi, dan dimungkinkan masih banyak lagi sektor lain yang ada irisannya dengan IHT dan belum terdeteksi. Yang terdeteksi totalnya berkisar 30,5 juta jiwa hidupnya tergantung pada sektor IHT baik langsung maupun tidak langsung. 

Dampak langsung kenaikan cukai pertama kali akan dirasa oleh konsumen, industri, petani tembakau dan cengkeh, baru kemudian dirasa oleh sektor lain. Konsumen akan mengalami lonjakan harga rokok. Tiga hal yang bisa dilakukan konsumen, mengurangi merokok, tetap merokok sesuai selera walaupun harga naik, menurunkan selera rokok dengan harga yang terjangkau. 

Dari tiga hal tersebut yang paling banyak dilakukan konsumen dan paling mungkin adalah membeli rokok dengan harga yang terjangkau bahkan bisa jadi “tingwe” (linting dewe, melinting sendiri). Celakanya, bisa jadi konsumen membeli rokok non cukai (tanpa pita cukai). Karena sudah menjadi kebiasaan, begitu cukai/harga rokok naik, dibarengi dengan membludaknya rokok ilegal di pasaran. Jadi bagi konsumen masih banyak alternatif untuk bisa merokok, walaupun kenikmatannya terusik. 

Cukai naik, pasti diiringi harga rokok naik, akibatnya pasar rokok menurun, karena banyak yang beralih yang bisa terjangkau harganya. Keadaan inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh oknum pengusaha membuat dan mengedarkan rokok ilegal (non pita cukai). Pastinya dengan rokok non pita cukai, oknum pengusaha tersebut dapat menjual rokoknya dengan harga sangat murah dan masih untung. 

Bayangkan, satu batang rokok keuntungan terbesar itu pemerintah dengan pita cukai rokoknya sebesar hampir 70%. Sisanya baru keuntungan perusahaan yang kemudian dibagi untuk membeli bahan baku, membayar karyawan, biaya operasional dan membayar pajak daerah diluar pita cukai.

cukai rokok naik 2023

 Jika cukai selalu naik, tentunya menjadi beban industri rokok yang berpita cukai. Karena pita cukai tidak bisa dibeli belakangan, harus ditentukan pembeliannya di depan. Artinya, walaupun pajak rokok yang membayar konsumen saat membeli rokok, tetapi industri harus membayar pemerintah terlebih dahulu sebelum rokok diproduksi dan sebelum rokok terjual. Jika terjadi rokok melemah di pasaran, maka yang menanggung kerugian adalah industri, bukan konsumen atau pemerintah. 

Sehingga industri benar-benar harus jeli mengkalkulasi besaran untuk membeli jumlah pita cukai, ongkos membeli bahan baku, ongkos produksi dan kuat lemahnya pasaran rokok hasil produksinya. Dengan keadaan kenaikan cukai terjadi tiap tahun dua digit, pastinya kedepan banyak industri yang tidak mampu melanjutkan produksi. Walaupun masih mampu, pastinya memproduksi rokok dengan harga jual yang terjangkau oleh konsumen sesuai pasar. Yang bisa dilakukan industri hanyalah mengurangi pembelian bahan baku atau membeli bahan baku yang murah. Tentunya bahan baku yang kurang bagus. 

Dengan mengurangi pembelian bahan baku atau membeli bahan baku yang kurang bagus yang sangat dirugikan adalah petani tembakau dan cengkeh. Penghasilan dari panennya pasti menurun bahkan bisa merugi. Karena yang ada nilai ekonomi tinggi dan bisa menguntungkan adalah bahan baku yang bagus. 

Misalkan dalam panen tahun ini (2022), banyak petani tembakau merugi bahkan masih menyisakan hutang yang tidak sedikit. Imbas dari kenaikan cukai tahun kemarin, industri tidak mampu membeli bahan baku yang berkualitas yaitu pada great D ke atas. Hal itu karena pasar rokok melemah, dan rokok yang terbeli di pasaran hanya yang harganya murah. Sedangkan menurut petani tembakau great D ke atas adalah yang ada harganya dan yang bisa menutup biaya operasional hingga menyisihkan keuntungan untuk keberlangsungan hidupnya. 

Apabila tembakau yang berkualitas bagus tidak terbeli, sama saja membunuh ekonomi dan keberlangsungan hidup petani tembakau. Begitu juga yang terjadi pada petani cengkeh. 

Industri tidak bisa dipaksakan untuk membeli tembakau dengan harga mahal dan berkualitas. Karena industri juga mempunyai beban keberlangsungan hidup karyawannya. Lain itu, dalam hukum ekonomi dan dagang, kalau dirasa barang dagangnya tidak menguntungkan (merugi) sah-sah saja tidak dilanjutkan dagangnya dan beralih ke yang lain, karena kemungkinan besar masih punya modal.

Apabila industri hasil tembakau terjadi guncangan sampai gulung tikar akibat kenaikan cukai, maka karyawan dan petani sektor pertembakauan entah bagaimana nasib keberlangsungan hidupnya. Bermodal pas-pasan atau malah tidak ada modal sama sekali, yang ada hanya beban hutang, tidak ada yang bisa dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Mereka pasti merasakan penderitaan mendalam, merasa dibunuh dengan cara menyakitkan perlahan-lahan. Karena rata-rata lahan petani tembakau di area tandus atau di lereng gunung yang tidak ada tanaman bernilai ekonomis kecuali tanaman tembakau. 

Setelah pasaran kretek melemah, industri melemah, penghasilan karyawan, petani tembakau dan cengkeh melemah, maka pasti akan berdampak melemahnya siklus perekonomian di wilayah IHT. Sektor yang berhubungan dengan industri kretek melemah, daya beli melemah, maka roda perekonomian wilayah tersebut pasti melemah. 

Disadari atau tidak, kebijakan Sri Mulyani menaikkan cukai terjadi tiap tahunnya, sama saja membunuh masyarakat buruh, petani tembakau dan cengkeh secara perlahan. Kebijakan kenaikan cukai hanya mempertimbangkan agenda pengendalian peredaran tembakau sesuai amanat kepentingan asing. Kebijakan kenaikan cukai bukti bahwa Sri Mulyani tidak pernah sama sekali membela atau keberpihakan terhadap “wong cilik” yaitu petani tembakau, cengkeh dan buruh. Kebijakan kenaikan cukai salah satu kebijakan yang dilakukan di atas meja tanpa melihat realita di lapangan terlebih terhadap kondisi petani sektor pertembakauan. 

Belum lagi pengelolaan hasil pungutan cukai (pajak) hasil tembakau yang selama ini tidak jelas kegunaannya. Hanya 2% dari hasil pungutan cukai dibagikan ke daerah (Gubernuran, walikota atau kabupaten), sisanya 98% entah kemana?. Dalam hal ini Sri Mulyani telah gagal menjadi menteri perekonomian yang harusnya bisa mensejahterakan seluruh masyarakat tidak tebang pilih, dan mengelola uang rakyat dengan baik, akuntabel, dan transparan.