ragam bahan baku rokok
PERTANIAN

Ragam Bahan Baku Jenis-jenis Rokok

Permintaan pabrik-pabrik rokok terhadap bahan baku (tembakau dan cengkeh) tidak semata ditentukan oleh volume semata tetapi juga oleh jenis rokok yang diproduksi. Dalam produksi rokok kretek baik tangan maupun mesin, memanfaatkan bahan baku yang sebagian besar dari hasil kerja rakyat Indonesia. 

Sigaret kretek tangan (SKT) diolah dengan keterampilan tangan para pengrajin kretek. Pengolahan dengan mekanisme tradisional ini menempatkan industri kretek sebagai industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja di sekitar lokasi pabrik. Sebagian besar tenaga pengrajin kretek tangan merupakan perempuan. 

Sigaret kretek mesin (SKM) dibikin dengan menggunakan mesin modern. Pertama kali digunakan di Indonesia pada tahun 1974 yang membuat kretek mampu bersaing dengan perusahaan rokok multinasional asing dari segi kualitas. 

Sigaret putih mesin (SPM) merupakan produksi pabrikan asing. Bahan bakunya hanya terkandung tembakau tanpa ada tambahan cengkeh. 

Cengkeh per batang rokok

cengkeh diserap petani tembakau

95% serapan cengkeh untuk produksi kretek, sisanya untuk produk lain seperti minyak, kosmetik, dan lain sebagainya.

Beberapa jenis kretek membutuhkan gramasi cengkeh yang bergam. Bahkan setiap merek mungkin menggunakan cengkeh sesuai kebutuhannya. 

Berikut gambaran kebutuhan gramasi cengkeh untuk setiap jenis rokok.

Jenis Kebutuhan cengkeh
Sigaret Kretek Tangan 0.70
Sigaret Kretek Mesin 0.40 gram
Sigaret Kretek Mild 0.25 gram
Sigaret Putih 0.00 gram

 

Kretek menggunakan bahan baku lokal

data produksi rokok

Industri kretek merupakan salah satu industri yang pertama kali lahir di negeri ini. Dan selama lebih satu abad lamanya, industri ini tetap bertahan melewati berbagai gejolak krisis perekonomian dunia. Secara teoritik, industri dengan muatan impor yang tinggi akan mudah goyah saat terjadi krisis ekonomi. Ini terbukti ketika krisis ekonomi kawasan (Asia Timur dan Tenggara) pada paruh kedua 1990-an, mengakibatkan kemerosotan nilai tukar rupiah yang anjlok sampai 800 persen. Sehingga banyak industri besar yang bermuatan impor tinggi benar-benar goyah, bahkan sebagian ambruk. 

Hal sebaliknya terjadi pada industri kretek yang memang bermuatan impor sangat rendah yakni hanya sekitar 4 persen. Karakter industri kretek kebal terhadap gejolak pasar internasional menjadikannya lebih mampu meredam guncangan pada keseluruhan mata rantai produksi dan pemasarannya, termasuk berbagai industri yang terkait mulai dari hilir sampai ke hulu. 

 

Data diambil dari berbagai sumber.